(13) Halaman luar

7.6K 425 107
                                    

Cerita ini akan diupdate 2 atau 3 kali dalam satu minggu. Itupun tergantung respon peninggalan jejak kalian pada tiap part yang di-up.
Thankyou

_____________

Hari itu, senja yang menurut kata orang menjadi saat-saat yang penuh romansa, nyatanya tidak bagi Anneth. Dadanya masih sesak atas peristiwa penghianatan dari genta. Jika sudah begitu, lawan mainnya pun sejujurnya merasakan kelimbungan yang sama. Selama perjalanan pulang ke rumah, hampir beberapa menit sekali deven menoleh ke arah anneth. Ada rasa khawatir, kasihan dan tentu tidak tega melihat anneth yang biasa penuh semangat mendebatnya, kali ini hanya diam merenung menatap ke luar jendela. Ingin sekali deven mengajaknya bicara atau sekedar memberi signal peduli untuknya, tapi ia juga tidak mau mengganggu anneth yang masih berusaha menguasai diri.

Alunan musik yang terdengar sangat lirih di antara mereka hanya untuk mengisi kesenyapan yang terjadi. Deven yang biasanya uring-uringan dengan kemacetan juga menjadi sabar tanpa protes. Ia tidak mau semakin memperkeruh hati anneth untuk saat ini.

Lebih dari tiga puluh menit menempuh kemacetan jalanan petang itu, akhitnya mobil deven memasuki gerbang besar rumah keluarga Tanuwijaya.

"Ayo masuk ke rumah" ajaknya halus setelah membukakan pintu mobil pertama kalinya ia lakukan untuk anneth.

Satu tangannya sudah merengkuh lembut bahu anneth , lembut namun menguatkan. Anneth sendiri masih seperti komputer yang blank, melangkah namun seperti tanpa kesadaran. Semakin meyakinkan bahwa anneth benar-benar tengah patah hatinya.

"Yaampun anak dua ini....". Deven memberikan isyarat telunjuk di depan bibirnya saat mamanya tergopoh menyambut mereka. Sontak saja, wajah khawatir mamanya tak bisa ditutupi melihat kondisi anneth yang lemah dan sangat menyedihkan.

"Mama tunggu di bawah aja ya, deven bawa anneth ke kamar dulu. Nanti deven ceritain ke mama deh, janji" ucapnya lembut pada mamanya yang hanya mengangguk menatap melas ke arah anneth.

Deven terus membimbing langkah anneth sampai pada kamarnya, merebahkan anneth dan mengambil tasnya yang ia letakkan sembarangan.

"Neth..."

Anneth masih tak bergeming pandangannya hampa, namun matanya terus berkaca-kaca.

"Gak ada penghianatan yang gak sakit neth. Tapi juga gak ada ketulusan yang pantas disanding penghianat" ucapnya mengelus pipi anneth dengan penuh kasih.

"Bebersih ya , habis itu ke tempat biasa, aku tunggu di sana, okey ?" pintanya menatap anneth penuh pengertian. Namun anneth menggeleng lemah, satu air matanya sudah jatuh kembali.

Deven tersenyum menghapus titik bening yang jatuh dengan sapuan ibu jarinya. "Katanya sayang aku ?" tanyanya lembut.
Anneth berusaha menatap mata deven yang terhalang bayangan air matanya sendiri.

"Kalau sayang berarti harus kuat, aku tunggu di bawah ya ?" pintanya kembali. Bukan anggukan yang deven terima, tapi justru sebuah hentakan dari tubuh anneth yang luruh dalam peluknya. Anneth kembali terisak sedih disana, membuat deven kembali berusaha menenangkan dengan sentuhan-sentuhan lembutnya untuk anneth.

"Aku tunggu di bawah ya ? Udah dong nangisnya nanti bunda khawatir, ya ?" ucap deven membisik di telinga anneth. Akhirnya ada titik kelegaan yang membayar kesabarannya, anneth mengangguk lemah sebelum melonggarkan rengkuhannya. Reaksi yang membuat deven tersenyum dan menepuk puncak kepala anneth sebelum berlalu keluar.

"Maaa...." panggil deven berlalu ke arah dapur setelah mengganti kaosnya yang basah karena tangis anneth dan berganti mengenakan celana basket sebagai setelannya.

"Sayang, jadi kenapa tadi? Ada apa kok sampe nangis-nangis gitu tadi mama liat?" tanya mamanya membawa sepiring buah-buahan yang baru dibersihkan.

"Mama ngintip ?" timpal deven bersiap menggoda mamanya.

Damn you, doctor !!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang