Alhamdulillah (7)

182 9 0
                                    

Penyesalan memang selalu datang terlambat, itulah yang membuatnya terasa dalam dua jalan yang membuatnya harus memilih untuk tetap bertahan atau menerima untuk membahagiakan orang lain. Keputusan yang ia ambil tanpa mendengarkan penjelasan sang kekasih terasa membuatnya merasa bersalah. Sehingga ia berani melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan. Hanya berbekal seadanya, ia pun mulai mengarungi hiruk piruk rimba kota besar yang sanggup membunuh demi memenuhi sebuah ambisi.

Namun, semua yang ia lakukan terasa begitu bodohnya. Sikap sang kekasih yang melupakan suatu hal yang ia rasa sangat penting, malah dilupakannya dengan alasan tak tahu terselip dimanakah benda kecil itu. Membuatnya terasa ingin muntah dan waktu yang telah berputar begitu lama, terasa menambah beban batinnya yang tengah di uji ini. Bukti itulah yang ia yakini menjadi dasar atas semua kemarahannya yang membeludak bagai gunuk merapi yang dengan mudahnya dapat melakukan kegiatan vulkanismenya.

"Dek Imam.. ayo makan dulu."

"Baik pak." Jawabnya melepas renungan yang sedari tadi menjulur melewati setiap jaringan sel otaknya yang begitu rumit.

Senyum yang ia kembangkan tadi, ternyata tak bersambut dari orang yang duduk di depannya ini. Menjadikan makanan yang terasa begitu lezat itu, menjadi basi tak menimbulkan selera makan. Maafkan aku mas... ucapnya lirih dalam hati, yang hanya bisa melihat kekasihnya dari jauh tertembus kaca jendela.

"Lho.. ini ada apa? Baru keluar dari rumah sakit kok malah murung? tersenyum tho." Hiburnya mencoba menyairkan suasana yang sejenak menjadi kutub utara.

Agar tak mengecewakan orang yang telah berjasa kepadanya, Ia pun mencoba untuk membuat raut wajahnya agak lebih ceria. "Njih pak."

Tersenyum, memang sepertinya hal yang sepele. Namun sejatinya, senyuman itu memiliki banyak hal baik yang tak pernah terdatakan secara ilmiah. Salah satu penelitian yang mengatakan bahwa tersenyum dapat membuat seseorang lebih hidup lama dari pada orang yang selalu murung ataupun cemberut. Hal ini dikarenakan tarikan syaraf otot pipi dan bibir lebih banyak dibandingkan saat sedih.

Walaupun senyum itu terasa hambar dimatanya yang telah banyak menemui orang yang mengadukan segala keluh kesahnya pada saat ia sedang duduk di kursi kantor. "Nah itu bagus. Jadi tambah ganteng kan." Ucapnya menghargai usaha Imam. "Ayo masuk.. sudah di tunggu."

Di meja makan, sudah menunggu Ratna dan ibunya yang menyambut kedatangan mereka dengan masakan khas jawa yang menjadi kegemaran keluarga ini. "Ayo dek imam di makan." Ujarnya menyambut Imam dengan piring yang telah terisi dengan segunung nasi.

"Terima kasih, bu." Ucapnya menerima piring tersebut seraya melihat Ratna masih tertunduk lesu sejak kemurkaannya.

Suasana padang gurun yang begitu hening tanpa ada sedikitpun suara selain angin panas yang berhembus inipun serasa menghiasi ruang makan keluarga kecil ini. Sepasang suami istri yang merasakan hal ini, merasa sedih dengan sikap kedua anak remaja ini yang terdiam seakan tiada seseorang yang mampu di ajaknya berbicara.

"Dek Imam."

"Iya pak."

"Besok ketika orang tuamu datang, kami ingin mengajak kalian untuk jalan-jalan melihat kemegahan kota Jakarta. Berhubung ibu juga sudah lama ngak keluar ya bu..." Jelasnya seraya melirik sang istri. "Itupun kalau dek Imam mau, kami tidak memaksa." Sindirnya mencoba memecahkan suasana dengan sebuah rencana yang baru beberapa detik ia temukan dalam lembaran cairan otaknya yang masih dapat bekerja tak kalah dengan otak-otak produktif para remaja.

Ia pun segera melihat ke depan, yang ia rasakan ada seseorang yang mengharapkan kesediaannya untuk mengikuti rencana kedua orang tuannya. "Saya minta maaf pak. Tapi saya ada hal penting yang harus di bicarakan dengan abah." Ujarnya menolak tawaran itu dengan bahasa yang ia rasa adalah bahasa yang pantas untuk ia ucapkan.

"Kamu yakin, tidak mau melihat Monas atau Ancol?"

"Terima kasih pak, tapi lain waktu saja."

Nadzom-nadzom Cinta Jilid 2 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang