Pertemuan Kembali (4)

114 6 0
                                    

Kejelasan dari hubungan gelap sang kekasih, menjadikan hatinya terasa sakit melebihi tersayat-sayat pisau tumpul. Orang yang selama ini ia tunggu dan ia jaga kesetiaannya, ternyata dengan sadarnya memalingkan wajah ke orang lain. Penantian dari masa SLTP, kini hanya sebatas harapan kosong semata. Begitu kejamnya sang pujaan hati, melupakan janji yang dulu ia ucapkan di akhir perjumpaan mereka.

Mengingkari kalimat-kalimat indah yang seadari dulu terangkai mesra untuk dirinya seorang. Namun kini rangkaian kalimat itu telah menjadi luka yang menggores dada. Mengotori setiap bait-bait cinta yang telah tersusun rapi sejak beberapa waktu silam.

Kini apapun yang dilakukannya menjadi salah kaprah. Disuruh membatik malah lukisan anak taman kanak-kanak yang ia buat. Di suruh menyalin tugas sekolah, tapi kalimat puisi yang ia tulis. Disuruh masak lauk pauk, rasanya membuat perut mules.

Entah mengapa, hati kecil ini masih menyebutkan nama sang kekasih. Rasa cinta yang terpupuk bersiram air penantian, serasa menginginkan kejelasan dari semua masalah yang di terpanya kini. Ia sendiri tak mau untuk segera mengambil keputusan, seperti yang telah diajukan oleh sahabat karibnya. Karena ia masih begitu mempercayai sang kekasih, walaupun sekarang mereka tengah jauh terpisah oleh ruang dan waktu.

Tak kala sedihnya telah memuncak, hanya boneka teddy bear berkalung pita biru inilah yang selalu bersedia untuk menemaninya. Boneka yang dulu menjadi saksi bisu manis cintanya dengan sang kekasih. Serasa menjadi pelipur lara yang ia butuhkan, untuk sekedar mengobati gemuruh hatinya yang tengah berguncang hebat.

Soum yang kini rutin ia jalani sejak kepergian sang pemilik hati, ia niatkan tak jelas maksud dan untuk apa puasa itu di lakukan. Namun saat berbuka puasa, makanan yang menjelajah lidahnya terasa begitu pahit, minum pun ia rasa begitu memualkan perut. Hanya secuil roti dan setengguk susu dari sahabat setianya lah yang mampu masuk dalam tubuhnya, untuk sekedar menegakkan tulang berbalut kulit itu.

Orang-orang di sekitarnya pun tahu betapa dalam cintanya ia. Namun tiada hal yang mampu mereka lakukan, selain rasa kasihan dengan nasib dan kejatuhan mental ketua kamar mereka ini. Banyak usaha yang telah mereka lakukan agar ia dapat bangkit kembali. Namun semua itu sia-sia, tak kala orang itu sendiri tidak mengiyakan permintaan teman-temannya, merasa tak membutuhkan sesuatu hal apapun.

"Ri... ini gimana?" Tanya Joko khawatir memikirkan kondisi seseorang yang tengah heboh santer seantero pesantren.

"Aku juga ngak tau ko."

"Tadi aku tanya sama Dewi, katanya kondisi Nurul makin hari makin lemah saja." Celetusnya menceritakan pertemuan singkat di teras kelas tak kala lonceng istirahat telah berdentang dengan begitu nyaringnya.

"Kasihan si Nurul." Ujar Soleh ikut prihatin.

Mereka bertiga pun termenung mengingat awal misi makcomblang tempo dulu. Karena bantuan mereka pula lah, mereka berdua mampu bersatu menjalin sebuah ikatan yang belum mereka rasakan. "Eh, bagaimana kalau kita meminta Imam untuk membesuk Nurul?" Keluarlah ide gila itu dari Joko.

"Benar itu." Bela Soleh seceplosnya.

"Tapi, kalau kita suruh Imam pulang hanya njenguk Nurul pasti dia ngak mau." Bantahnya yang menghilangkan semangat juang sekejap mereka.

"Itu bener juga." Ucap Soleh lemas.

"Hah..." Ujarnya cemerlang, seraya melihat ke arah dua sahabatnya. "Bagaimana kalau kita bilang Soleh saja yang lagi terkena musibah?" Pintanya mengacungkan jari telunjuknya ke arah orang yang di maksud.

"Hah!!" Soleh pun terkaget mendengar ide dari sahabatnya ini. "Kenapa harus aku?" Tanyanya memprotes ide yang menurutnya tak masuk akal ini.

"Gini leh..." Ucapnya seraya mengalungkan tangan kanan ke pundak sahabatnya ini. "Dari kita bertiga, yang sering kena duka abah siapa?"

"Aku."

"Dan yang sudah sering di ta'zir siapa?"

"Aku." Jawabnya yakin. "Tapi, apa hubungannya dengan semua ini?" Tanyanya yang masih mencoba bersikukuh dengan pendapatnya.

"Coba... duka lan ta'zir itu musibah apa nikmat?" Tanya Joko mulai mengintimidasi sahabatnya yang kelihatannya masih belum mengetahui arah pembicaraannya ini.

"Ya jelas musibah to... masa nikmat? Ninimu dari hongkong?"

Senyum kemenangan pun telah tergambar jelas di wajahnya. Matanya pun segera mengarah pada sahabatnya yang lain mengisyaratkan idenya yang telah mengarah jalan yang ia kehendaki. "Jadi, intinya kamu kan yang sering mendapat musibah?"

"Iya sih... tapi..."

"Lah... ini juga usahamu untuk medapat simpatinya Dewi." Potong Ari menerapkan jurus yang sama dengan sahabatnya ini.

"Masa?"

"Iya lah... masa kita bohong... iyo gak ko?"

"Hu'um.."

Soleh pun hanya mengangguk-ngangguk menerima perkataan sahabatnya ini. "Iya deh, demi Nurul... eh... Dewi."

"Nah oleh karena itu, ketika Imam pulang. Kita suruh buat njenguk Nurul, gimana?" Ujar joko meminta dukungan.kedua sahabatnya ini.

"Tapi, apa Imam ngak akan murka ke aku?"

Mereka berdua pun saling melirik membicarakan solusi dari perkataan sahabatnya ini. "Leh... sudah jelas kita tanggung bersama... lha wong kita sahabatan." Ujar Ari meyakinkan sahabat yang paling polos ini.

"Oke, tapi aku di traktir makan yo?"

"Lah... kambuh lagi penyakitnya ri..."

Nadzom-nadzom Cinta Jilid 2 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang