Pagi yang tengah murung, di selimuti kabut awan hitam. Seolah menampakkan kesedihan yang tengah ia rasa begitu mendalam dalam setiap detiknya. Dan keberadaannya telah memulai merasuk menutupi cahaya sang surya. Cahaya yang sedarinya tak mampu lagi menerangi hati yang telah kehilangan setiap inci kebutuhannya. Kebutuhan untuk melakukan fotosintesis yang akan menghasilkan buah kebahagiaan.
Namun di sisi lain, hal itu bukan menjadi alasan bagi beliau untuk tidak mengajar para santrinya, yang begitu haus akan siraman rohani yang telah mulai kering setiap harinya. Jiwa yang selalu haus akan ilmu-ilmu ulama terdahulu, dalam lembaran-lembaran kitab salafussalih yang bernuansa klasikal bertabur warna kuning.
Sorogan adalah pilihan tepat yang di ambil oleh beliau, selaku pemimpin tunggal warisan sang guru tercinta agar tetap hidup menghembuskan penerus warisan al-musthofa. Dan dampak positif yang di dapati antara lain, untuk mendisiplinkan santri-santrinya agar tidak melanggar salah satu al-hadist. Hadist yang telah banyak di riwayatkan oleh ahluhadist, yang telah bertabur kisah karomah beliau semuanya dalam kisah-kisah islami dari negeri padang pasir.
Langkah kaki beliau pun segera mendekati rumahnya, tak kala kegiatan rutin di pesantren telah di selesaikan seperti biasannya. Tapi, langkahnya hari ini kian terasa berat melihat salah seorang tamunya sedang melamun di teras rumah. Ia bagai bunga mawar yang telah kehilangan duri, padahal hakikatnya duri itu untuk melindungi dirinya dari tangan-tangan yang hanya ingin menikmati lekuk tubuhnya. Bukan untuk merawat dan memetiknya dengan perlahan dan tanggung jawab untuk di persembahkan pada Sang Pencipta. "De Ratna kanapa?"
"Tidak ada apa-apa bah."
Ia tak sadar sedari tadi, ada orang yang sedang mengawasi. Dan kini telah duduk di sampingnya. Dengan tergesa-gesa ia menghapus air mata kenangan yang di keluarkannya, untuk menghapus setiap perasaan pilu dalam setiap rindunya.
Sebagai seseorang yang telah banyak memakan garam laut, beliau terasa memahami perasaan yang di rasakan oleh dua sejoli ini. "Em... pasti gara-gara Imam ya?" Tanya beliau seraya melirik remaja yang masih sibuk merapihkan dirinya.
"Mboten bah... bukan masalah itu."
Tak jauh berbeda hal yang ia tangkap sekarang dengan keadaan sang putra bungsu di kala malam telah menginjakkan terangnya bintang. Pertanda bahwa waktu sepertiga malam yang terakhir telah di mulai. Di awali dengan menarik nafas panjang dan dikeluarkan dengan kuat, beliau pun mulai menceritakan sebuah rahasia. "Begini de Ratna... Imam itu anaknya memang seperti itu. Mohon di maklumi, dia kan tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu."
"Maksudnya bah?"
"Ibunya meninggal setelah melahirkannya."
Tak ia sangka, ternyata sang kekasih telah menjadi seorang piatu di kala ia menapaki dunia fana ini untuk pertama kali. Sejenak ia merenung, mengapa sejak lama ia berhubungan dengannya. Tak pernah sedikit pun sang pujaan hati menceritakan perihal al-marhumah ibundanya tercinta. "Maaf, kenapa abah tidak menikah lagi? Biar mas Imam mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu lagi?" tanyanya yang tak sadar dengan apa yang ia ucapkan, karena itu merupakan hal yang spontanitas.
Beliau pun sedikit terkejut dengan pertanyaan dari wanita muda ini. "Abah sangat cinta kepada umminya Imam." Jawabnya seraya meletakkan kitab yang sedari tadi di dekap di dada dalam pangkuannya. "Abah ingin menjadikannya, satu-satunya bidadari abah di surga sana." Sambung beliau mengenang wajah sang tulang sulbi yang menghadap kepadaNya dengan khusnul khotimah. "Nah... sebagai buktinya, abah merawat Imam sebatangkara."
Ratna pun termenung kembali melamunkan setiap contoh yang telah di berikan orang tua sang kekasih. Dalam benaknya, ia berfikir. Ternyata sang kekasih termasuk seseorang yang perlu di beri kasih sayang. Sejak lahir dia tidak pernah mendapat kasih sayang dari seseorang yang telah melahirkannya. Namun, Ketika ia mulai memberikan rasa kasih sayangnya kepada seseorang, malah kasih sayang itu dibuangnya jauh-jauh.
Kini betapa tambah rasa bersalah kepada orang yang menyayanginya. Sehingga butiran air mata itu keluar tanpa permisi melewati pipi indahnya. Seolah-olah ia yang dulu memberikan benda yang di butuhkan seorang kekasih, malah sekarang ia sendiri yang mencabut dengan begitu sakitnya. Tanpa memfikirkan keadaan psikis sang kekasih.
"De ratna yakin tidak apa-apa?" Tanya beliau cemas melihat keadaan tamunya ini. Karena dari pandangan beliau, ia menangkap rentetan kesedihan yang telah menjamur di kedua bola mata wanita muda ini. Dalam hatinya beliau hanya berharap satu hal, semoga saja bukan putranya lah yang menjadikan pemandangan kesedihan ini terjadi.
"Maaf bah... bolehkah Ratna sendiri? Ratna butuh waktu sendiri untuk merenungi semua." Tegurnya seraya menenggelamkan wajah manisnya dalam lautan kesedihan yang begitu gelap, tanpa kehadiran sebuah cahaya pun.
Dengan segera, beliau pun mengiyakan permintaan itu. Beliau juga sadar, seseorang akan lebih mampu berfikir jernih tak kala ia sedang merenung dan memfikirkan semua masalahnya. "Abah mengerti... pertimbangkanlah semua kembali, teguhkan niatmu untuk memperbaiki tali silaturrahmi. Insyaalloh pasti akan ada jalan keluarnya." Ujar beliau beranjak dari samping seseorang yang tengah bersedih ini. "Ya sudah... abah masuk dulu ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadzom-nadzom Cinta Jilid 2 [Completed]
SpiritualContact: via WA only: 085224018565 Kehidupan kota Jakarta yang begitu berbeda dengan kehidupan pedesaan, banyak membuat anak-anak mudanya berkembang menjadi momok yang menyeramkan. Namun di antara itu semua, terseliplah seorang wanita cantik yang ma...