Rumah Kenangan (6)

134 8 0
                                    

Kota pekalongan yang ada di dataran tinggi termasuk dalam wilayah yang sering berbeda barisan dengan jajaran kota besar yang di malam harinya terkadang masih terasa panas yang mempengapkan dada. Kondisinya yang mendukung, membuat daerah ini masih dapat merasakan sejuknya berbagai pohon-pohon yang masih rindang hampir disetiap sisinya. Termasuk pula di pesantren ini yang begitu dingin menusuk tulang, setiap santri yang ada di bawah lindungan langit malam yang berkabut ini.

"Hai.. hai.. kopinya sudah siap." Teriak Joko keluar dari kantin pesantren membawa empat cangkir kopi panas menuju pos ronda pesantren. Kedatangannya yang telah di nanti oleh teman-temannya sedari tadi yang telah meneteskan ingus hangat sebagai tanda dari hipopotermia.

"Asyiik.. cepetan ko.. keburu membeku kita ini." Perintah seseorang yang menutupi tubuhnya karena kedinginan, dengan memakai sarung seperti tiga kawannya yang lain. Anehnya mereka malah memakai kaos oblong, bukannya malah memakai jaket yang di jamin hangat pada udara yang sedingin ini.

"Iya iya sabaarr."

"Leh malam ini dingin banget ya." Keluhnya melihat seseorang yang tak seperti biasanya, yang sering mengeluh seperti dengan dirinya.

Dengan wajah yang begitu tenang, ia melihat kedua sahabatnya yang menggigil kedinginan seraya mengambil gelas cangkir kopi masing-masing. "Gak kok.. biasa saja." Jawabnya sembari membuka sarung yang menutupi tubuhnya.

"Lha.. pantes ngak dingin. Lha orang kamu kayak beruang kutub kayak gini."

"Ya.. kan. kita di suruh sedia payung sebelum hujan, mam." Elaknya cengar-cengir bangga dengan pakaian rangkapnya yang cukup hangat.

Sementara itu, ia yang sedari tadi telah mengutik-utik kantin untuk memesan air kehangatan ini. Mulai memfokuskan dirinya dengan rabaan setiap jari tangannya, pada setiap kantong di tubuhnya. "Mam.. ini ada titipan surat. Katanya sih dari Nurul." Ucapnya menyerahkan surat yang ia dapat dari sang penjaga kantin.

Imam pun segera menerima dan membaca surat tersebut dengan begitu santainya.

"Leh.. gimana hubunganmu dengan dewi? Masih di tolak gak?" Ejeknya seraya merebahkan pantat kecilnya di samping seseorang yang sedang asik memakan kacang kulit pendamping kopi, selain rokok tentunya.

"Heh perlu kalian tau ya.. walau pun diantara kita berempat aku yang paling jelek, tapi semangat cinta gua yang nomor satu." Jawabnya dengan penuh semangat seraya mengacungkan tangan ke atas yang masih memegang sebiji kacang.

"Alah lebay lo." Sanggah mereka berdua bersamaan.

"Eits.. jangan salah mas bro.. terkadang lebay itu di butuhkan di dunia ini cuuyy..." Tolaknya yang tak ingin kalah dalam sesi kali ini.

"Sok loo.."

Di sisi lain tatapan ketiga serangkai ini pun mengarah pada sosok putra tunggal gurunya yang tengah terbang entah dalam alam yang mana. "Heh mam, ngelamun aja.. apan sih isi suratnya?" Tanya Joko menebak arah lamunan sahabatnya ini.

"Hehe.. ni baca sendiri aja." Jawabnya cengar-cengir seraya menyerahkan secarik kertas yang ada di tangannya.

Tanpa basa basi, mereka bertiga pun membaca surat itu secara bersamaan agar terasa adil. Mata mereka pun mulai menyusuri setiap baris kata yang telah tertuang rapi dalam kertas ini.

"Cie.. mamas Imam." Goda Soleh seraya melirik manja.

"Oh pangeran lubuk hatiku..." Tambah Ari sambil memegang dadanya.

"Kekasih dalam mimpiku.. oh..." Timpal Joko memegang kepalanya yang berambut lebat.

Tertawalah mereka serentak dalam keheningan malam itu menyambut deraian angin malam yang semakin dingin. "Hehe.. biasa aja kali." Elaknya sambil melempar kulit kacang kepada ketiga temannya itu.

"Mam.. kamu mau ke pesantren kapan?" Tanya Ari yang mencoba mengalihkan perhatian imam dari surat yang di pegangnya.

"Mungkin seminggu lagi, memang kenapa?"

"Ngak, berarti besok lusa kita bisa nonton dangdut di rumah pak camat.. hajatan khitanan putranya." Jawab Joko gembira.

"Asyik tuh.." Serunya tertarik dengan hiburan yang jarang ia ikuti di peantrennya sekarang.

"Iya dooong.. jadi sepakat nih mau berangkat?" Tanya Soleh meyakinkan teman-temannya.

"Ya iya lah... harus bin wajib. Alias wajib'ain fardu kifayatin.." Gurau Imam menghanyutkan dalam canda gurau mereka di malam gelap ini.

Nadzom-nadzom Cinta Jilid 2 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang