Di tempat berkumpulnya semua penumpang dengan jarak tempuh yang begitu jauh, yang sudah identik dengan berbagai kepadatan dan kepanasan didalam tempat umum ini. Namun ada satu hal yang pasti, kemacetan pasti akan mewarnai setiap persimpangan di jalanan ibu kota. Hingga dapat membutuhkan waktu berkali-kali lipat dari semua kendaraan beroda karet untuk menembus perjalanan di tengah kepadatan jalan raya. Takkan dirasakan oleh transportasi umum ini, dikarenakan ia yang sudah mendapatkan jalur spesial layaknya busway.
Dan pukul tujuh empat puluh lima, menjadi saksi bisu atas kepergiannya dan anaknya tercinta dari kota yang terkenal dengan berbagai banjir tahunan dan kiriman dari berbagai tempat ini. "Makasih pak telah bersedia merawat Imam selama ini." Ucap abah Ahmad di depan pintu stasiun Pasar Senin.
"Sama-sama pak, kita kan sesama muslim harus saling tolong-menolong." Ujar pak Ghofur yang tertahan pintu peron yang tak mengizinkannya masuk ke dalam stasiun selama tak membeli tiketnya.
Prasangka yang beliau duga akhirnya berakhir dengan sebuah dugaan yang tak di ridhoi oleh sang pencipta. "Tapi ngomong-ngomong Ratna ada dimana?" Tanya beliau melihat keadaan sekelilingnya untuk mencari sosok yang ia rasa ingin di temui oleh anaknya.
Perasangka yang sama juga di rasakannya, sebagai tuan rumah. Beliau juga ingin melihat putrinya mengucapkan salam perpisahan, agar tiada kesedihan lagi yang menghinggapinya hingga penyakit itu akan kembali menguasainya. "Ratna sedang tidak enak badan, sehingga istri saya yang menjaganya."
Sementara itu, hati kecilnya yang ingin bertatap muka menjelaskan semua kejadian yang selalu ia rahasiakan. Namun, ia tak akan pernah melakukannya seperti harapan yang telah ia tanam. Dengan segera, ia meninggalkan pesan singkat untuk kekasihnya seraya melangkah memasuki gerbong kereta ekonomi jurusan Jakarta-Kediri yang akan membawanya pulang. "Terima kasih pak atas semuanya. Dan maaf saya tidak bisa membalas semuanya." Ucapnya sambil berjabat tangan dengan kedua tangan orang yang telah berjasa dalam hidupnya.
"Sama-sama."
Tuutt... tuutt...
Rodanya pun segera beranjak meninggalkan daratan ibu kota Indonesia ini dengan gesekan yang tiada alat pelicinnya ini. Namun mampu bergerak begitu cepatnya menembus berbagai keadaan alam yang terkadang tak mendukung. Di dalam gerbong sendiri, ia masih tak bisa membayangkan apakah yang terjadi dengan seseorang yang telah ia tinggal tanpa meninggalkan salam perpisahan secara langsung. Ia hanya berharap, semoga kebaikan selalu menyertainya.
"Apa kamu yakin dengan keputusanmu?" Tanya si ayah menanyakan kesungguhan niat putranya atas tindakan yang beliau rasa dapat menyakiti hati seseorang yang masih dalam pencarian jati dirinya ini.
Pandangan yang sedari tadi ia lempar keluar mengikuti jalannya kendaraan besi yang begitu cepat, kini ia alihkan kepada seseorang yang tengah ragu padanya. "Insyaalloh bah.. inilah yang terbaik untuk kami." jelasnya singkat seolah tak ingin mengungkit lagi tentang tindakannya ini.
"Mam."
Imam pun kembali melihat abahnya yang tengah mengeluarkan sebatang rokok kretek yang sudah menjadi teman hidupnya selama ini. Menemani dalam berbagai keadaan yang telah ia lalui selama ini. Menjadi saksi bisu akan percakapan intens antara ayah dan anak ini.
"Dulu hubungan abah dan ummi juga seperti kamu, abah cemburu buta kepada ummimu yang akrab dengan seorang anak kyai besar. Anak itu jauh lebih cerdas dan lebih tampan di bandingkan abah, dan hal itu yang menyebabkan abah iri dan syirik kepadanya." Ujar beliau yang segera menyulut rokok dengan begitu tenangnya seraya melirik putranya yang tengah dalam keadaan penasaran tiada tara karena menyangkut ibunya yang tak pernah ia jumpai.
"Karena sifat abah yang temperamental, ummimu pernah abah marahi sampai menangis, hanya gara-gara menemani anak kyai itu ke perpustakaan sekolah." Sambungnya menceritakan sebab salah satu rasa takutnya kehilangan seseorang yang begitu beliau jaga perasaannya. "Tapi setelah itu, Ummimu malah jatuh sakit selama beberapa hari dan abah merasa bersalah dengan tindakan abah dulu."
Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.
Itulah kata-kata mutiara yang tergambar di benaknya yang mengingatkannya pada sifat yang telah abahnya wariskan kepada dirinya seorang. "Terus Abah bagaimana?" Tanyanya penasaran akan kelanjutan kisah cinta yang selalu ia impikan karena keindahan ketulusan rasa anugerah dari sang pencipta yang mampu terjaga kesuciannya hingga tali pernikahan menyatukan mereka.
"Dengan berbagai cara abah mencoba berkomunikasi dengan ummi, dari nulis surat, kirim salam, hingga abah menyelundup ke ndalem. Namun karena ummimu anak kyai, Punya pesantren pula. Membuat usaha abah selalu terganjal dengan ketegasan dari kakekmu." Ujarnya mengenang masa perjuangan yang begitu membekas dalam hatinya. "Tapi pada akhirnya, hanya dengan modal yang namanya cinta abah nekat."
"Nekat? Maksudnya abah?"
"Abah jauh-jauh datang ke rumah ummimu dari pesantren abah yang begitu bersaing dengan pesantren kakekmu, tak memberatkan kedatangan abah yang datang hanya dengan membawa iman dan cinta. Nah kamu tau sendiri kan kakekmu itu kayak apa?"
Ia pun mengangguk paham akan sifat kakeknya yang sebenarnya mempunyai watak baik, namun wajahnya yang berwibawa dengan menampakkan sinar ketegasan seorang imam yang mampu membimbing ma'mumnya. Menjadikan setiap mata yang menatapnya terasa sungkan untuk menolak bahkan menyanggah dawuh beliau.
Beliau pun segera menghisap kembali sebatang rokok di tangan kanannya menghentikan sejenak jalan ceritanya itu. "Pada saat itu keinginan abah cuma satu, yaitu bertemu dengan ummimu untuk mendapatkan maaf darinya. Abah datang ke depan pintu gerbang pesantren dengan gemetaran takut bertemu dengan kakekmu yang terkenal akan sifatnya yang begitu menakutkan. Dan Sepeda abah pun ikut bergoyang megikuti getaran abah yang tak kuat lagi mengayuh sepeda ontel yang abah pinjam dari teman abah." Senyumnya mengingat kejadian yang indah di masa lalunya.
"Jadi abah datang ke rumah ummi naik sepeda?" Tanyanya kagum dengan sang ayah, yang rela berkorban dengan kondisi medan yang ia bayangkan sangat tak layak disebut sebagai jalan raya.
"He'em... untungnya ketika abah sudah sampai depan ndalem, ummimu sedang menyapu di halaman ndalem yang luas itu. Jadi abah langsung tancap gas menuju ummimu. Eh.. ketika sampai di depan ummimu abah kaget." Jelasnya yang terasa bagi imam begitu tanggung.
"Kaget kenapa bah?"
"Kakekmu ada di teras depan rumah."
"Terus abah bagaimana?"
"Ya abah mati langkah di situ. Tapi untungnya kakekmu belum pernah bertemu abah. Dan ummimu yang melihat peluang itu, pura-pura memanggil abah dengan sebutan kakak. Sehingga abah tak kesulitan menjelaskan maksud kedatangan abah yang di tanyai kakekmu seperti seorang polisi yang mengintrogasi tawanannya."
Imam pun tertawa pelan mengikuti tawa abahnya yang memancarkan semangat remajanya kembali. Membayangkan kakeknya yang begitu tegas, bahkan untuk cucunya sendiri. Menanyai ayahnya yang sudah pasti beliau tahu ada udang di balik batu.
"Akhirnya abah bisa meminta maaf pada ummimu di depan kakekmu." Ucapnya mengakhiri dongeng indah hidupnya. "Jadi, mungkin kamu mau berfikir ulang mam." Pintanya kepada anak semata wayangnya agar tak memenangkan nafsu amarahnya yang begitu cepat meledak.
Ia pun menunduk mendapatkan hikmah dari kisah itu dan merenungkan perbuatannya seraya mencoba berfikir akan akibat kedepannya jika ia terus mendiamkan Ratna. "Insyaalloh bah, Imam yakin akan keputusan imam." Ujarnya yang masih bersikukuh akan keputusannya.
"Ya sudah... kalau begitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadzom-nadzom Cinta Jilid 2 [Completed]
SpiritualContact: via WA only: 085224018565 Kehidupan kota Jakarta yang begitu berbeda dengan kehidupan pedesaan, banyak membuat anak-anak mudanya berkembang menjadi momok yang menyeramkan. Namun di antara itu semua, terseliplah seorang wanita cantik yang ma...