Surat Kenangan (1)

114 6 0
                                    

Maaf, permintaanmu adalah hal mustahil yang takkan pernah bisa ku lakukan...

Bayangan hitam pun segera mencengkram penolakan yang telah ia terima. Memo singkat yang di tulis tangan, kini dalam genggaman kesedihannya. Dan hal itulah yang menjadi jawaban penentu dari semua rasa sakit yang kini ia rasa.

"Ul, makan dulu."

"Makasih mas." Jawabnya lemah, namun tak mengurangi rasa hormatnya pada seseorang yang lebih tua darinya ini.

Keadaan sang belahan jiwa yang begitu menghawatirkan, membuatnya merasa kerepotan. Pernah hadir suatu rasa dalam benaknya, jika ia merasa tak pernah di anggap oleh calon istrinya ini. Namun berkat bujukan kedua mertua, akhirnya ia pun melaksanakan titah yang kini di embannya dengan berlapang dada. Permitaannya yaitu menjaga dan merawat putri satu-satunya mereka agar lekas sembuh, dan melupakan semua kenangan menyakitkan dari seseorang yang bernama Muhammad Imam As-safi.

"Apa harus aku panggilkan Imam agar kamu mau makan?"

Bagaimana mungkin ia tahu?

Pertanyaan yang terlontar dari mulut lelaki ini pun membuat dinding hatinya bergetar kencang. Orang yang telah menjalin tali ta'aruf dengannya ini tahu akan seseorang dari masa lalunya ini. "Ma... maksud mas?"

Dengan menghela nafas panjang, ia pun mulai menjelaskan semua yang ia tahu dari kedua orang tua sang pujaan hati. Mulai dari perasaan terpendam yang hadir sejak pertama kali bertemu. Hingga saat perlombaan cerdas cermat yang semakin memantapkan perasaan cintanya. Dan perasaan yang harus ia akhiri dengan kuatnya, tak kala orang yang begitu ia cintai itu lebih memilih wanita lain di bandingkan dengan dirinya.

"Aku juga telah bertemu dengannya." Ucapnya seraya menyuapi bubur yang sedari tadi telah ia seduh seiring cerita pendek yang ia lantunkan. "Sudahlah ul, jangan menutup-nutupi hatimu lagi..." Sambungnya seraya menarik kembali suapan yang tak di terima oleh calon sahnya ini. "Aku sudah tahu semuanya."

Ia pun kaget mendengar penjelasan singkat yang memang merangkum seluruh perjalanan cinta tak terbalas yang di laluinya. Kini ia pun hanya tertunduk lemas menahan air mata kenangan yang tanpa ia perintah telah menyusuri lekukan antara pipi dan hidungnya ini. Seolah menjadi jawaban atas berbagai peluru yang telah ditembakan kepadanya.

"Kamu boleh suka dengannya... tapi, apakah harus kamu menunggunya sampai separah ini? Sementara ia telah bahagia dengan wanita lain?" Tanyanya tenang seraya mencoba kembali menyuapi pasien ini.

Ia pun menunduk lemas mendengar pertanyaan yang di tanyakan oleh calon imamnya ini. Ia sadar, bahwa dirinya memang salah. Namun, ia tak bisa mengelak dari perasaan yang telah tertancap dalam di altar cintanya.

"Kamu harus sadar ul, sekarang Imam sudah dimiliki oleh orang lain... kamu juga harus memiliki orang yang bisa menjaga dan merawatmu." Ucapnya seraya meletakkan mangkuk bubur itu dalam pangkuannya.

"Aku tahu... kamu juga tidak suka terhadap diriku, tapi aku mohon terimalah keberadaanku untuk mendampingimu. Walaupun kamu tidak suka aku sebagai calon imammu, tapi sukailah aku sebagai temanmu." Pintanya seraya meletakkan secarik kertas yang ia bawa dalam saku bajunya.

Akhirnya setelah melepaskan unek-unek yang ada di otaknya, ia pun segera beranjak meninggalkan pasien ini sendiri. Dia tahu bahwa seorang wanita akan membutuhkan waktu untuk menyendiri, tak kala ia dalam keadaan yang bimbang. Ia yakin, fikirannya akan kembali terbuka, saat semua masalah ia hadapi dengan kesendirian.

Nadzom-nadzom Cinta Jilid 2 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang