Kini harapannya mulai muncul kembali bagai terbitnya sang fajar di ufuk timur sana. Menyambut kehadirannya di kota yang sudah begitu tersohornya di ranah dunia dengan kain khas yang di lukis dengan penuh kesabaran dan ketelitian. Sehingga kota kelahiran sang pujaan hati seraya menambah rindu kepadanya.
Selamat Datang
Di Pesantren Pesantren Al-Fattah
Desa Sumbersongo Kec. Kluwek Kab. Pekalongan
Tulisan itulah yang muncul menyambut kedatangan keluarga kecil dari jabodetabek ini dalam wilayah yang masih terbilang sebagai sumbernya ilmu agama. Rumah kayu itupun ikut serta menyambut kedatangan mereka, beserta bangunan pesantren yang masih begitu tradisional dan terjaga kebersihannya. Dengan keeksotisan berbagai bangunan yang menjadi saksi bisu perjuangan melawan pemberontak gerakan 30 September.
"Assalamu'alaikum."
Sosok yang bersahaja yang sedang beristirahat di kediamannya ini pun segera menuju ke sumber suara dari tamu yang telah datang jauh dari kediamannya. "Wa'alaikumsalam.. eh, pak Ghofur." Jawabnya lembut menyambut uluran tangan dari elaki ini. "Silahkan masuk." Sambungnya seraya di iringi langkah yang masih kuat dengan di tunjang usia yang masih berkepala empat ini.
"Silahkan duduk.."
"Terima kasih pak.."
"Rul.. Nurul.." Ucapnya memanggil-manggil seorang santriwati yang tengah di ndalem untuk membereskan dapur yang terasa asing baginya.
Dengan tergesa-gesa, santriwati itupun segera menuju ke ruang tamu yang tengah berkumpul gurunya dengan tamu beliau. "Dalem bah.." Jawabnya menghampiri sumber suara, seraya menundukkan pandangannya sebagai tanda ta'dimnya. Namun ia sekilas melihat wanita sebaya dengannya yang terlihat begitu pucat.
"Tolong buatkan minum."
"Njih bah.."
Pandangannya yang sempat teralihkan untuk menambah kenyamanan tamunya, kini beliau arahkan kembali ke tiga tamu yang tengah berada di depannya. "Jadi selain silaturrahmi, apa maksud kedatangan bapak dan ibu kemari?" Pertanyaan yang seolah mengetahui maksud kedatangan tamunya ini.
"Begini.. kami kan lagi silaturrahmi sama saudara di jogja. Nah kebetulan kami lewat sini jadi sekalian mampir." Jelasnya tersenyum lebar seraya mencoba menyembunyikan rasa sungkannya.
"Oh.. iya.. iya.. terima kasih mau datang ke kediaman kami yang sederhana ini."
Sementara itu sebagai yang dituakan, beliau masih memikirkan bagaimana caranya memulai pembicaraan mereka. Mata yang mulai memutari pemandangan sekitar, seolah menjadi tanda bahwa beliau tengah memfikirkan cara. Bagaimana agar kedatangan mereka untuk mempertemukan kembali putri mereka dengan putra sohibul bait berjalan lancar.
"Maaf.. Imamnya mana?"
Sejenak, nuansa inipun telah menjadi seperti tempat di padang gurun yang begitu sepi tiada makhluk hidup selain cahaya sang mentari. Seolah mendengar suara fatamorgana yang tiada tahu asalnya. "Em.. Imam.. dia sudah berangkat ke pesantren." Jawabnya melihat kedatangan nampan berisi teh manis.
"Kenapa secepat itu? Padahal Ratna cuma mau minta maaf." Sesalnya melihat penuturan yang ia dengar. Dengan berkaca-kaca, kedua bola mata ini seolah berbicara jika hal itu tidak mungkin. Seseorang yang ingin ditemui, malah tidak ada di tempat yang ia dapati. Namun, ia menemukan setitik harapan baru.
Beliau pun segera menjelaskan alasan kepergian putra tunggalnya yang begitu cepat. Walaupun ia masih ragu dengan kondisinya, yang masih labil atas kejadian yang sempat merengut masa sehatnya. Namun, dengan kekukuhannya untuk mengejar pelajaran yang sempat terbengkalai. Membuat beliau harus mengalah dengan sikap keras kepala putranya, yang di warisi dari umminya.
Sementara itu, dibenaknya terbayang-bayang sosok yang masih marah terhadapnya, akan kesalahfahaman yang belum sempat ia jelaskan sepatah katapun. Sekarang dia telah merasa kepergian sosok itu, menjadi pelengkap bumbu sakit hati yang telah di rencanakan oleh sang kekasih. Dan mungkin, sosok itu pula sudah tahu kemana jalan fikirannya, sehingga ia telah menduga kalau dirinya pasti datang ke kampung halamannya.
Disisi lain, telinga yang telah mendengar pembicaraan itu merasa penasaran dengan siapakah sosok wanita itu.
Kenapa dia sampai seperti itu, memfikirkan mas Imam?
Kenapa pula dia jauh-jauh datang ke tempat ini hanya untuk bertemu dengan mas Imam?
Siapa dia?
Ia pun merasa cemburu terhadap wanita yang lemah itu. Dengan sikap kecewa yang tergambar jelas di wajahnya, membuat ia harus menelan pil penasaran bercampur sirup cemburu yang menemani langkahnya meninggalkan ruangan ini.
"Silahkan pak.. bu.. maaf hanya ini yang bisa kami sediakan."
"Tidak apa-apa, pak. Ini sudah lebih dari cukup."
Dalam pelariannya meninggalkan tempat bercengkrama sang kyai. Ia hanya bisa menghembuskan nafas beratnya untuk mengeluarkan rasa cemburu yang telah bersarang cepat di tubuhnya. Menjadikan setiap langkahnya seperti terbelenggu oleh besi besar, layaknya seorang narapidana pada zaman penjajahan dulu.
Di tempat yang lain, ia yang melihat kedatangan sahabat yang begitu menghitam, membuatnya terfikir ingin tahu kejadian apakah yang telah terjadi. "Ada apa sih rul?" Tanyanya mendekat pada nurul yang sibuk mengatur alur langkah fikirnya.
"Ngak ada apa-apa." Jawabnya langsung melanjutkan membersihkan gelas dan piring yang sejenak ia tinggal untuk memenuhi dawuh.
"Masa?"
Tadi sebelum keluar dia terlihat gembira. Kenapa sekarang sedih?
Ia hanya mulai mengidentifikasi rentetan kejadian dari kasus sahabatnya ini. Kenapa setelah mengantar minuman, ekspresinya berubah kusut tak memiliki gairah yang menjadikannya berbeda seperti hari-hari sebelumnya. "Rul..." Ujarnya meninggikan suaranya.
"Hm."
"Kamu kenapa sih? Kok jadi kusut gitu?"
Sekilas, ia pun mengarahkan pandangan ke arah sahabatnya ini. Namun, tak ada ekspresi dari wajah ini, selain mata kosong yang terbakar api cemburu. "Tidak ada apa-apa kok wi... aku baik-baik saja..." Jawabnya tersenyum kecut.
Ia tahu, sahabatnya kini sedang menjalankan drama yang tersetting buruk. Sehingga ia tahu, wajah penuh kegusaran darinya. "Ya sudahlah..." Ucapnya memahami keadaan sahabat yang mencari ketenangan di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadzom-nadzom Cinta Jilid 2 [Completed]
SpiritualContact: via WA only: 085224018565 Kehidupan kota Jakarta yang begitu berbeda dengan kehidupan pedesaan, banyak membuat anak-anak mudanya berkembang menjadi momok yang menyeramkan. Namun di antara itu semua, terseliplah seorang wanita cantik yang ma...