Selepas sholat jamaah isya di masjid putra yang di wajibkan bagi semua penghuni pesantren, ia pun kembali ke kamar tempatnya untuk segera merebahkan tubuhnya. Matanya pun melihat jam dinding yang menunjukkan jam delapan malam. Kini pemandangannya berganti tertuju pada layar handphone yang sedari tadi tak boleh ia keluarkan selain di tempat ini. Karena aturan pesantren yang begitu tegas tentang adat pemakaian alat telekomunikasi ini. Dalam layar wallpapernya, terlihat wajah seorang wanita yang mengispirasi hidupnya dengan senyum polos yang menghiasi ketulusan raut wajahnya.
Dan ia kembali teringat caranya bisa sampai pesantren ini, saat ia dengan sengaja menyelinap kantor sekolah untuk mengintip data kepindahan wanita yang begitu ia cintai. Tak kala ia akhirnya memperoleh alamat sebelum wanita itu pindah ke tempatnya sekarang. Dengan tekat ingin menyembuhkan penderitaan sang kekasih dan membayar kesalahannya, ia memberanikan diri untuk mendatangi sang rival agar mau membujuk sang pujaan hati agar mau kembali lagi ke tempat awal mereka berdua berjumpa.
Tok... tok...
Bunyi pintu yang tertutup itu telah memberi pesan padanya agar ia segera beranjak menuju ruang pertemuan karena ada yang sedang mencari dirinya. Dengan malasnya ia beranjak menuju tempat pertemuan itu, seraya menerka-nerka siapakah yang akan ia temui nanti. Dengan pakaian yang sedari tadi masih menempel di badan, ia sampai ke tempat yang diberitahukan oleh salah seorang santri tadi.
Hiks... hiks....
Itulah suara yang pertama kali ia dengar tak kala mendekati ruangan umum itu. Dilihatnya sejenak sosok wanita yang tengah duduk di kursi roda itu. Dalam prasangkanya, ia yakin bahwa wanita itu tak menyadari kedatangannya. Menurutnya, orang tersebut tengah terlarut dalam kesedihan yang tak ia tahu penyebabnya. Langkahnya pun perlahan mendekat untuk mengetahui wajahnya yang tertutup jilbab. Tangis tersedu-sedu wanita ini mengundang rasa simpatinya, dengan perasaan iba ia pun menyentuh kursi roda wanita itu.
"Mba, kenapa nangis?"
Terangkatlah wajah yang suci ini. Perlahan ia menghapus air matanya seraya menegakkan kepala ini. Ia ingin menjawab pertanyaan seseorang yang kini ada di depannya. Dengan seluruh rasa yang tengah bergejolak tak menentu di dalam hatinya.
"Ratna..."
Alangkah terkejutnya ia, melihat sosok mar'ah di depannya yang jauh berbeda dan telah pancarkan kesedihan yang tergambar di wajahnya. "Kenapa kamu bisa ada disini?"
Langkahnya yang baru menyadari kendaraan keluarga yang tak asing baginya, membuat hatinya kian berdegub kencang bagai mesin yang digenjot mencapai batas maksimalnya. Dengan ketakutan yang ada, ia pun menyembunyikan diri di balik tembok aula. Mengintip ke dalam mobil yang ia tahu kalau kedua orang tua dari wanita itu berada di dalamnya. Matanya merasa khawatir kalau kedua orang dalam mobil itu, mengetahui keberadaannya disini.
Rasa khawatir kalau wanita yang ia cintai bertemu dengan rivalnya, tiba-tiba menyerbak dalam aliran nadi yang tengah melaju kencang. Dalam hatinya, ia takut kalau bidadarinya itu akan semakin jauh dari dirinya. Dan rencana yang susah-susah ia jalankan, mulai usahanya mencari seseorang di pesantren ini untuk membujuk sang kekasih pun kini terasa sia-sia. Hanya dengan hitungan menit, ketika mereka berdua bertemu. Semuanya yang telah ia korbankan dalam hidupnya akan berakhir menjadi kepingan yang tak berharga.
"Apa yang kamu katakana pada Imam?"
Pertanyaan yang ia tangkap dalam telinganya, segera menolehkan hatinya untuk kembali mendekat. "Anu... anu..." Ucapnya gugup tidak bisa menjelaskan alasannya. Lidahnya tiba-tiba terasa kelu tak nampakkan kata-kata yang sedari tadi ingin keluar dari otaknya.
"Apa yang kamu katakan?"
"Aku... aku..."
"Jawab Tofa..." Serunya meninggikan suaranya yang telah melemah. "Atau kita tidak akan pernah bertemu lagi!!!" Timpalnya tegas seraya memperlihatkan kesedihan yang begitu dalam, di kedua kaca kelopak matanya.
"Aku cuma bilang..." Ucapnya membuang wajah, agar tak menatap kesedihan itu. "Kalau kamu itu menyayanginya."
"Bohong!!!"
"Bener rat, itulah yang aku katakan."
Betapa hancur hatinya saat ini. Setelah ia telah kehilangan seseorang yang begitu dicintai, kini ia menerima kenyataan yang lebih pahit. "Aku sudah tahu semuanya dari Imam. Mulai sekarang jangan temui aku lagi." Ucapnya menelan kekecewaan atas sikap sahabat yang sedarinya dulu telah ia coba untuk memaafkan. Namun karena pedihnya kekecewaan yang semakin tak kuasa ia bendung. Tangannya pun pergi mengayuh kursi roda yang sejatinya telah setia dengan kebisuan ini.
"Tunggu dulu rat."
Lelaki itu pun bergegas mencegahnya, kemudian ia tersungkur di hadapannya seraya melihat kedua bola mata yang telah mengucurkan cairan hangat. "Aku cuma bilang, hanya dia yang bisa membujukmu." Sambungnya mengungkapkan kejujuran yang begitu mencekik lehernya.
"Untuk apa?"
"Untuk... untuk..." Ucapnya yang tak mampu memberikan alasan yang sebenarnya. Bahwa harapan kecil di hatinya untuk memiliki wanita bersahaja ini kian hari kian menguat.
Meledaklah amarahnya kini. Ia benar-benar sudah tidak mempercayai sahabat yang selama ini menemaninya mengarungi hidup untuk saling mengingatkan, saling berbagi, dan yang selalu menyuport ketika jatuhnya badan ini. Dengan segenap kekuatan yang ia miliki, ia mencoba menyingkirkan penghianat ini dari hadapannya. Ia sudah muak melihat serigala berbulu domba ini, jika terus berada di sekitarnya.
Terhempaslah tubuhnya seiring hancurnya kuatan batin itu, dengan perasaan bersalah dan tak menentu. Ia memberikan jalan kepada wanita yang tengah bersedih ini. Pada akhirnya dengan pasrah ia melihat kepergian pujaan hatinya tertelan deruan angin yang menyapu keheningan sang malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadzom-nadzom Cinta Jilid 2 [Completed]
SpiritualContact: via WA only: 085224018565 Kehidupan kota Jakarta yang begitu berbeda dengan kehidupan pedesaan, banyak membuat anak-anak mudanya berkembang menjadi momok yang menyeramkan. Namun di antara itu semua, terseliplah seorang wanita cantik yang ma...