Rumah Kenangan (2)

166 9 0
                                    

Rasa kesepian pun mulai menemani hari-harinya yang dulu begitu hampa dengan kepergian orang yang paling ia sayangi. Tersudut hatinya dalam lembayung kesepian tiada suatu sosok pun yang mampu melihatnya. Namun, di mulai dari malam yang telah lalu, ia mulai merasa ada titik terang di balik perubahan sang kekasih. Dan kini ia tahu apa yang terjadi sebenarnya, hingga membuat sang pujaan hati pergi begitu cepatnya.

Hadirnya dalam sebuah taman yang begitu syahdu, seraya mampu menenangkan jiwa yang sedang gundah gulana bak lautan yang terterjang badai Catrina. "Ada yang inginku bicarakan sama kamu." Jelasnya dengan nada yang agak misteri seraya memandang album foto di dalam telfon genggamnya.

Orang yang baru datang itu pun segera duduk di tempat yang telah mereka janjikan sebelumnya. "Ada apa, rat?" Tanya seseorang yang bukan muhrim dengan wanita ini.

"Aku mau kamu jujur sekarang."

"Maksudnya?"

Melihat lelaki yang di depannya masih begitu sulit untuk memahami maksud hatinya, membuatnya harus merubah cara penyampaiannya. "Sebenarnya apa yang kamu bicarakan dengan ma Imam?" Tanyanya yang sudah terasa tipis kesabarannya.

"Aku tidak bicara apa-apa."

"Jangan bohong!!! Ini apa?" Bentaknya sambil mengeluarkan secarik kertas yang ia temukan di dalam buku diarynya.

Dan ia rasa sang pujaan hatilah yang telah menyisipkan surat itu, sebelum ia pergi meninggalkan langah kaki dari tempat tinggalnya. Penemuan kertas itu menambah ribuan prasangkanya akan benda inilah yang membuat hubungan yang ia idam-idamkan mendadak sirna bak terhapus oleh deburan ombak. Terlebih dengan fakta yang ia dapati dalam lembaran ini, semakin membuat hatinya tertusuk untuk kedua kalinya.

"Apa maksudmu?"

"Sudahlah jangan berpura-pura lagi, Aku sudah tahu semua. Apa harus aku baca isi suratnya biar kamu paham!!!" Ancamnya yang hanya disambut diam membisu oleh lelaki yang mencoba menutupi sesuatu darinya.

Lelaki itu pun hanya mengangkat kedua alisnya sebagai jawaban atas ketidak tahuannya. Ia sungguh tak bisa mengetahui maksud dari wanita yang tengah dalam kondisi tak stabil itu.

"Kepada M. Imam As-Safi. Mam.. perkenalkan.. namaku Mustofa, Ahmad Mustofa. Aku adalah salah satu orang dari sekian banyak orang di dekat Ratna yang begitu mencintainya. Dan dari kecil, aku itu sudah dekat dengan Ratna saat sedih dan senang kita selalu bersama hingga waktu yang harus memisahkannya."

Lelaki yang akrab di panggil Tofa ini berubah ekspresinya menjadi seperti buronan yang begitu terpojokkan oleh introgasi pada dirinya. Layaknya seorang mata-mata yang sudah tertangkap basah oleh pihak lawan, dan sedang di hujani berbagai fakta tentang dirinya. Tiada raut kegembiraan yang mampu terpancar dari wajah tampannya yang begitu banyak di lirik oleh setiap wanita yang ia temui.

"Waktu demi waktu telah kita lalui bersama, dari anak-anak hingga dewasa. Dan tanpa kita sadari, hal itulah yang dapat menumbuhkan rasa sayang ini. Di sekolah, ratna begitu cerdas mengungguli semua teman-temannya. Hingga banyak lelaki yang mengidamkannya sebagai pacarnya. Namun, ia lebih memilih menjaga perasaanku dan perasaannya yang begitu tulus.

Tapi karena hal itu pula, ada beberapa orang yang membencinya hingga ia di fitnah oleh seseorang, hingga ia harus rela tuk meninggalkan sekolahan kami. Dan akhirnya dia harus pindah ke pesantrenmu.

Jadi maksud suratku ini, aku dan ratna masih saling mencintai hingga saat ini. Aku harap kamu mau mengerti tentang perasaan ini. Dan aku mohon kepadamu, biarkanlah ratna memilih keindahan rasa ini. Terima kasih atas keikhlasmu akan pilihan Ratna." Jelasnya panjang lebar membaca surat yang ada di tangannya.

Sementara itu, lelaki ini hanya bisa tertunduk lesu dan hanya dapat meratapi semua perkataan yang telah keluar dari kedua bibir ratna. Nuansa itu terasa begitu menambah yakin akan tulisan yang telah di yakini di tulis olehnya. Membuatnya terasa begitu sulit untuk mengeluarkan sepatah kata pembelaan terhadap dirinya.

Rasa kecewa sudah begitu gamblangnya tergambar pada wajah manisnya, tertutupi oleh rasa amarah yang ia coba untuk meredamnya dengan untaian istighfar dalam hati kecilnya. "Aku tau dulu kita saling mencintai. Tapi kita sudah berkomitmen untuk berteman saja." Ujarnya membuang raut kesedihan yang bercampur aduk tak karuan.

"Tapi rat, ternyata aku dulu itu salah." Sesalnya meminta sebuah harapan yang dulu ia buang hanya karena sebuah ego yang begitu besarnya. Teringatlah masa di mana ia begitu memendam perasaan cinta kepada seseorang yang ada di depannya ini. Rasa yang dulu membuatnya tak dapat makan dan minum selayaknya orang yang begitu sehat, sakit yang dulu hanya sebuah ancaman pun mulai mengrogoti semua yang ia miliki.

Namun, untuk kebaikan orang yang dulu ia cintai ini. Ia mulai bangkit dan mencoba untuk mengikhlaskannya untuk orang yang ia tahu jauh lebih baik dari dirinya yang mempunyai jangka hidup yang tela di prediksikan oleh seorang dokter. "Kamu itu pinter, ganteng dan tajir. Kenapa kamu ngak nyari wanita yang sederajat denganmu?" Tanyanya yang memecahkan hati dan perasaannya. Mersakan bahwa kebahagiaan terakhir yang ingin ia rengkuh ternyata telah sirna jua.

Terdiamlah ia melihat cinta yang terlambat di sadari, kini telah memilih yang lain untuk menjadi pendamping hidupnya. Fikirannya dulu begitu indah untuk mengungkapkan hal ini, namun kejadian yang tak di harapkannya pun telah mengubur semua impiannya untuk bersanding dengan sosok indah di depannya ini. Kehadiran pihak ketiga yang telah membuatnya harus merasakan pil pahit akan semua mimpi dan harapnya. Hanya dengan jalinan persahabatanlah ia mencoba kembali untuk mendapatkan cinta yang telah ia buang begitu sia-sianya. "Maafin aku rat." Pintanya menyesali semua tindakannya yang begitu gegabah.

"Sudah terlambat.." Ucapnya menolak permintaan maaf dari lelaki yang sudah ia anggap sebagai kakaknyaini. "Sekarang Imam sudah pergi dan keinginanmu telah berhasil." Sindirnya menghapus air mata yang telah mewakili kekecewaan yang begitu mendalam di hatinya. "Baiklah.. sekarang mau kamu apa?" Tanyanya ingin mengakhiri dialog dengan orang yang ada di depannya ini.

"Maafin aku rat, Aku menyesal."

"Sudahlah fa.. Aku kira kamu itu teman yang baik, tapi ternyata aku salah besar.." Jelasnya emosi seraya melempar surat di tangannya ke arah lelaki yang mematungkan diri, pasrah menerima semua itu dengan begitu lemasnya.

Memang rencananya terasa berhasil dengan menyelipkan surat itu di meja rawat imam. Tak kala malam datang dan tiada orang yang mengetahuinya, karena ia tahu imam sendiri pun telah mulai sadar kembali di ranjangnya. Dan di hari pertamanya di rawat di rumah sakit itu, dapat dimanfaatkannya dengan begitu maksimalkannya.

Dengan hati yang hancur, ia segera meninggalkan lelaki gagah ini sendiri dalam duduk penyesalannya itu. "Mulai sekarang, jangan kamu dekati aku lagi.. luka ini pasti akan lama sembuhnya jika kau mendekatiku." Pintanya menghapus air mata yang sudah tak bisa ia bendung lagi.

"Rat.. tunggu rat.. kasih kesempatan lagi untukku.." Ujarnya mematung diri tak bisa mengerakkan tubuhnya yang tersihir dengan permintaan dari orang yang telah ia kecewakan untuk kedua kalinya ini.

Aku sungguh sangat mencintaimu, melebihi lelaki itu, Ratna...

Nadzom-nadzom Cinta Jilid 2 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang