Di sore mendung ini, mencoba melukiskan hati yang tengah berat mencoba meninggalkan kenangan indah bersama teman-temannya. Dimana ia telah menghabiskan masa-masa putih abu-abu. Kepergiannya yang di temani oleh sang sahabat, membuat hatinya terasa telah dapat melupakan sakit pada tubuh ini. Dan mampu membuatnya semakin merindukan tempat ini.
"Rat, kapan-kapan kalau kamu sudah sembuh. Main kesini lagi ya." Pintanya sambil mendorong kursi roda sahabatnya ini.
"Insyaalloh, kamu juga el. Kalau ada waktu, main ke rumahku donk." Jawabnya sambil tersenyum manis.
"Iya.. iya.."
Akhirnya mereka sampai di pinggir jalan raya. Di mana mereka telah berjanji akan bertemu dengan orang tua Ratna yang sedang mengambil mobil di tempat perbaikan yang tak jauh dari pesantren. Itulah yang menjadi kendala mengapa mereka jadi mengundur kepulangan mereka ke Jakarta.
"El, kamu mau nerusin kemana?" Tanyanya yang melihat ekspresi sahabat yang terkejut mendengar pertanyaan dari sahabatnya.
"Enggak tahu nih rat, masih belum ada gambaran. Kamu sendiri sih?"
"Sama el, aku juga masih binggung mau nerusin kemana."
"Rat.."
Terdengarlah di telinga mereka suara seorang lelaki yang begitu lirih. Mereka berdua pun segera melihat dari manakah suara itu berasal. Dan betapa terkejutnya mereka, melihat kondisi orang yang berada di depannya yang jauh berbeda saat terakhir mereka berjumpa.
"Imam? Kamu kok jadi seperti ini?" Tanya Ela khawatir akan kondisi temannya ini.
Tanpa mengubris pertanyaan dari sahabat wanitanya. Ia mencoba mengungkapkan maksud dari kedatangannya. "El, apa aku bisa berbicara berdua saja dengan Ratna?" tanyanya berharap.
Bertemulah tatap mata mereka berdua dalam satu peraduan bisu. Dan akhirnya Ela pun menyanggupi permintaan lelaki ini. "Sudah dulu ya rat. Aku balik dulu ke asrama. Salam ya buat orang tuamu." Ujarnya yang segera bergegas meninggalkan sahabatnya dengan pelukan perpisahan.
Kini, hanya tinggal ia seorang saja yang berhadapan dengan lelaki yang berada di depannya. Rasa takut dan minder pun hinggap di hatinya. Ia tak menyangka lelaki yang dulu begitu marahnya, kini malah datang menemuinya terlebih dahulu. Entah mau membicarakan apa, namun ia begitu bahagia. Karena niatnya untuk bertemu tak kala sudah sembuh, dapat di percepat. Bahkan terlalu cepat baginya.
"Rat.."
Dengan harapan cinta yang masih tersisa pada lelaki ini, ia mencoba kembali menatap kedua mata yang begitu sayup.
"Aku.. aku... mau minta maaf kepadamu."
"Apa maksudnya mas? Bukannya aku yang telah menyakitimu?"
"Aku tahu, tapi aku sekarang mau minta maaf kepadamu atas semua yang aku perbuat. Hingga kamu seperti ini." Jawabnya menjelaskan penyebab dari kondisi wanita yang tengah duduk di depannya.
"Tapi kenapa kamu mau melakukan semua ini?" Tanyanya yang ingin tahu penyebab perubahan sikap mendadak ini. "Bukannya kamu sudah tidak mau bertemu denganku lagi?"
"Karena.."
"Karena apa?"
"Karenan ning Ulya..."
Berkaca-kacalah matanya mendengar penjelasan lelaki ini. Namun, ia mencoba menyembunyikannya dan berharap apa yang ada difikirannya masih dapat menjadi kenyataan.
"Karena ning Ulya dan seseorang yang bernama Nurul berpesan kepadaku untuk meminta maaf kepadamu." Jelasnya jujur.
"Jadi.." Ucapnya mencoba menahan isak tangisnya. "Jadi.."
Ia tak menyangka, perbuatan yang di lakukannya ini bukan berdasarkan dari hati nuraninya sendiri. Melainkan dari dua sosok yang telah ia tahu bahwa mereka juga mencintai lelaki ini. Lantas, apa gunanya ia mengungkapkan semua ini? Apa maksudnya? Sehina itukah dirinya, hingga mendapatkan kata maaf pun tak pantas?
"Rat. Apakah kamu mau memaafkan aku?" Tanyanya berharap mendapat maaf dari orang yang ada di depannya.
Ia pun terdiam dan membisu seraya menitikan air mata yang mulai deras turunnya. Ia tak menyangka seseorang yang sangat ia cintai begitu tega melukai perasaan rapuhnya. Ia datang menemuinya untuk meminta maaf, hanya karena di beri pesan dari orang yang telah mati. Bukan dari dirinya sendiri.
"Rat?"
Dengan mencoba mengumpulkan sisa hatinya pun mencoba menjawab pertanyaan itu. "mas, kenapa kamu begitu tega?" Tanyanya berkaca-kaca.
Ia yang tak mengerti maksud dari wanita ini pun, hanya terdiam membisu menumpukan beribu pertanyaan di benaknya.
"Sudah lah mam, pergilah dari sini." Ujarnya sedih seraya menutupi wajahnya dengan jilbab panjangnya.
"Tapi rat..."
"Cukup... aku tidak mau dengar." Potongnya sambil menutupi pendengarannya.
Berhentilah sebuah mobil di pinggir jalan di samping kedua sejoli ini. Dan keluarlah kedua orang tua untuk menjemput putri mereka yang tengah menunggu kedatangan mereka berdua.
"Ratna kamu kenapa?" Tanya si ibu melihat putrinya yang sedang terisak tangisnya.
"Mi, bawa aku pulang." Jawabnya tersedu-sedu.
Dengan segera, wanita itu pun segera di bawa ke dalam mobil tanpa memperhatikan lelaki yang masih diam membisu tak mengerti apapun.
"Maaf de Imam. Ratna membutuhkan lebih banyak waktu untuk siap bertemu denganmu lagi." Ujar sang ayah menepuk pundak lelaki ini.
Hiduplah mesin mobil ini. Dengan cepat, mobil ini pun meniggalkan tanah Magelang bersama keheningan. Menginggalkan sosok lelaki yang masih terdiam mematung di pinggir jalan raya sana.
Di perjalanan, melihat putrinya yang masih menangis membuat hati mereka terusik. Karena bukan kebahagiaan yang di dapat putrinya tak kala berjumpa dengan seseorang yang begitu ia ingin temui. Namun, malah deraian air mata yang tak kunjung berhenti.
"Bah, ini tidak bisa dibiarkan terus." Bujuknya dari kursi depan mobil menemani sang sopir.
"Benar, mi." Dukungnya melihat anaknya menangis di kursi belakang seraya melihat ke jendela luar mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadzom-nadzom Cinta Jilid 2 [Completed]
SpiritualContact: via WA only: 085224018565 Kehidupan kota Jakarta yang begitu berbeda dengan kehidupan pedesaan, banyak membuat anak-anak mudanya berkembang menjadi momok yang menyeramkan. Namun di antara itu semua, terseliplah seorang wanita cantik yang ma...