Liontin Cinta (3)

122 8 0
                                    

Dentang jam yang telah menunjukkan pukul enam tiga puluh, telah mampu memberangkatkan semua penduduk yang ada di pesantren ini. Notabennya, mereka dengan tenang dan ikhlas menjalani rutinitas mereka yang mempunyai dua identitas, santri dan siswa. Tak ayal mereka juga berharap dua kebahagiaan untuknya, yaitu kebahagiaan di dunia dan di akhiratnya kelak.

Berbeda dengan santri lain, hari ini tiga sekawan itu melakukan pelanggaran yang jarang mereka lakukan. Hal itu dikarenakan kebiasaan salah satu dari mereka, yang selalu bangun sebelum adzan subuh. Namun berbeda dengan pagi tadi, kebiasaan begadang yang telah menjalar di denyut nadi. Kini telah mulai menampakkan wajah aslinya. Akibat mbangkong berjamaah, akhirnya ba'da wirid subuh, mereka kompak tidak setoran ngaji. Rasa khawatir pun melekat di benak mereka. Bayangan murka sang guru yang telah mereka tahu begitu ketegasannya, terasa telah mengitari membayangi kepala mereka.

Naasnya pula, bagi mereka bertiga adalah harus merasakan perjalanan siratal mustaqim di dunia ini. Mereka harus melewati jalan satu-satunya yang menghubungkan asrama putra dengan sekolah mereka, yaitu jalan setapak yang terhampar lurus di depan ndalem. Dengan langkah perlahan dan hati-hati, kedua bola mata mereka memperhatikan setiap lekuk ndalem. Mereka takut kalau abah tiba-tiba keluar, mempergoki mereka yang tidak sorogan rutin, dan pasti urusan mereka malah jadi tambah ribet. Mulai kena duka beliau, di tambah dengan hukuman yang pasti mampu membuat mereka mencucurkan keringat. Tentunya, pengawasan lebih ketat dari system kepengurusan pesantren yang sejujurnya akan membuat mereka semakin tertekan.

Namun, betapa terkejutnya mereka tak kala bukan seseorang yang telah mereka khawatirkan. Tapi mereka malah melihat sosok bidadari yang dulu selalu di ceritakan sahabat mereka di setiap ada kesempatan. Alangkah anehnya batin mereka, tak kala memperhatikan bidadari itu termenung sendiri seraya memancarkan tatapan kosong yang serasa hambar di benak mereka. Rasa kasihan pun hinggap di hati mereka, perlahan-lahan mereka mendekati wanita itu tanpa teringat hal yang lain.

"Mbak kenapa?" Tanya lelaki berkumis tipis, yang mencoba mendapatkan perhatian dari wanita ini.

"Mbak kenapa? Ada masalah?" Sambar yang lain, ikut mencoba mendapatkan perhatiannya dengan suara yang lebih tinggi. Namun untuk kedua kalinya mereka tidak juga berhasil menggoyahkan lamunan sang bidadari.

Sementara itu, dengan kupluk ranumnya, ia yang mendapati dua temannya yang saling melempar pandang, ia pun mencoba melakukan inisiatif sendiri. "Mbakkk...." Teriaknya membuyarkan lamunan kesedihan sang bidadari.

"Waaaa..."

"Waaa..." Teriak mereka serempak dengan spontanitas.

Mendengar teriakan dari arah teras, dari dalam rumah beliau pun segera keluar untuk melihat keadaan seseorang yang telah ditinggalnya sendirian. "De Ratna kenapa?" Tanya beliau mendapati tamunya ini yang sedang terhenyak dari posisi duduknya tadi.

"Tidak ada apa-apa bah, cuma kaget melihat mereka." Tunjuknya ke arah tiga orang pemuda yang telah rapi memakai seragam sekolah.

Tak di sangka-sangka, ternyata wanita itu malah melapor pada guru mereka, tentang keberadan para wanted pesantren ini. Rona wajah mereka pun telah nampak menghitam kehilangan sentuhan cahaya wajah yang hilang tak kala tertidur ba'da subuh yang kerap mereka lakukan. "Aduh." Ucap Soleh takut melihat sang panutan berada di depan mereka. Bukan hanya ia saja yang merasakan ketakutan, kedua teman yang lain pun ikut merasakan hal yang sama dengannya. Mereka tahu, di balik senyum beliau itu. Terpancar ketegasan yang dapat tertangkap tak kala siapa saja metap kedua mata yang tawadhu itu.

"Kalian rupanya." Ujarnya menganguk-angguk, seraya memberi isyarat kepada satu-satunya seseorang yang bukan muhrim itu untuk masuk ke dalam rumah.

Mereka bertiga pun hanya tersenyum pahit, seraya mencoba menerka hal apakah yang akan mereka dapati. Tak kala melihat ekspresi mengerikan yang ada pada wajah guru mereka ini. Serasa membuat nuansa pagi ini berubah layaknya menjadi persidangan pada yaumul hisab kelak.

"Emm.. bah... ka... kami mau berangkat sekolah." Ujar lelaki berkumis tipis, terbata-bata memberanikan diri. Dari belakang, kedua temannya pun ikut mengangguk mengiyakan perkataan leader mereka ini. Dengan bergantian, mereka mencium tangan sang guru dam segera melangkah pergi.

"Joko Santoso... Ari Hidayat... Khoerul Soleh."

"Dalem... bah..."

Inilah yang di sebut dengan buah ta'dimul ustadzi. Tak kala ketika sang murid telah berkaca kepada sang masyayikh, tiada sekecil pun keberanian tuk melawan perkataan sang guru. Sang santri pun memandang gurunya ini mulia dan patut untuk dihormati, dan hal ini sangat berandil besar dalam pembentukan karakter sang murid sendiri. Namun, hal itu semua tak harus membutakan mata sang murid tentang kekurangan dari sang guru, menganggap mendoktrinnya lah yang paling benar. Tapi, alangkah bijaknya jika si santri sendiri tetap mengembangkan daya saring otaknya untuk tetap menerjemahkan dawuh, agar berakhir baik-baiknya saja.

"Kenapa kalian bertiga tidak setoran?"

Memang sebagai pengayom utama, beliau ini telah hafal dengan seluruh santri-santrinya, baik dari yang siswa tsanawiyah maupun aliyah. Tiada seorang pun dari santrinya yang tak beliau kenal. Walau santri itu memang sangat nakal, dan mbeling. Beliau tetap mengayomi dan menyayangi mereka seperti anak sendiri. Dan tak jarang, hal itu menimbulkan decak kagum dan ta'dim bagi seluruh santri-santri beliau.

Tangan-tangan itu pun segera melutik seseorang yang ada di sampingnya untuk segera angkat bicara, sebelum hal yang lebih buruk akan terjadi. "Ketiduran bah..." Jawab si pemimpin grup ini, lirih mewakili kedua sahabatnya.

"Kalian... sudah abah bilangkan... kalau tidur jangan malam-malam... mending kalau kalian begadangnya untuk murojaah hafalan alfiyah kalian sing esih ambur adul... tapi kalian malah main catur di pos ronda. Jadi sekarang akibatnya, kalian tidak setoran kan?" Tegur beliau dengan tatapan tajam yang begitu terasa menusuk di hati.

Mereka bertiga pun hanya bisa tertunduk mendengarkan ceramah dari guru panutan itu. Tak ada rasa ingin melakukan banding, layaknya seorrang terdakwa yang telah di vonis bersalah. Dan satu hal yang telah pasti mereka dapatkan adalah ta'zir yang begitu jelas terpampang di benak mereka, yaitu menyapu seluruh pondok putra.

Nadzom-nadzom Cinta Jilid 2 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang