Pertemuan Kembali (1)

131 7 0
                                    

Pesta lamaran yang beberapa hari lalu telah berlangsung, kini meninggalkan jejak sampah yang harus di bersihkan. Semua itu di lakukan tuk mengembalikan wajah rumah yang sempat terlihat indah beberapa waktu lalu. Dan tim pembersih yang di tugaskan adalah tanggung jawab abdi ndalem. Untuk itulah Udin meminta bantuan kedua teman sekamarnya untuk membantu, menyelesaikan tugas yang telah di percayakan kepadanya.

Waktu istirahat yang di peroleh tak kala pekerjaannya telah usai, mereka manfaatkan dengan baik di teras kamar. Semua anggota badan yang sedari tadi complain ingin beristirahat, kini mendapatkan jatah dengan merebahnya tubuh mereka di atas lantai yang dingin. Otot-otot yang jarang sekali mereka kerahkan salah satu fungsinya. Kini memprotes keras dengan mulai pegal-pegalnya di setiap inci badan mereka untuk meminta porsi istirahat lebih banyak.

Tiba-tiba bayangan sang kekasih terselip dalam benaknya. Bagaimanakah keadaannya? Fikirnya tentang orang yang pernah masuk dalam limbah cintanya. Sehat atau sakitkah dia?

"Zal, din..." Ucapnya seraya memandang langit-langit asrama. "Dulu ketika aku masuk rumah sakit, aku sering memimpikan ning Ulya." Sambungnya menceritakan pengalaman masa lalunya.

"Mimpi apa?" Tanya Udin membuka makanan ringan dalam plastik hitam sebagai ucapan terima kasih atas bantuan mereka.

"Dia memanggil-manggil namaku, seolah-olah ning Ulya memintaku untuk membantunya."

"Lha, terus kenapa tidak membantunya?"

Sejenak, ia pun memfikirkan pertanyaan yang masih belum bisa ia cerna seutuhnya. "Sulit din..." Jawabnya menyambungkan mimpinya dengan keadaan yang kini ia lalui. Apalagi sekarang mereka telah melewati masa ta'aruf yang begitu singkatnya. Mungkin kini tinggal menunggu hari baiknya saja, agar pertunangan itu segera di akhiri dengan janur kuning yang tertancap di depan pintu masuk rumah abahnya.

"Eh mam, aku pingin membaca surat ning Ulya. Suratnya mana?" Pintanya memberikan tangan kanan untuk menerima benda yang ia maksud.

Ia pun segera mencari surat itu dalam lemari kecilnya, ia bolak-balikkan semua benda yang ada di dalam kotak. Namun benda yang di cari itu pun tak juga menampakkan dirinya. Kemudian ia mencoba mengingat lokasi saat kertas itu terakhir ia lihat. "Zal, din... suratnya ilang." Ujarnya kaget.

"Hah!! kok bisa? Emang hilangnya di mana?" Ucap Rizal ikut mencari benda yang di maksud.

"Aku simpan di dalam lemari, tapi sekarang ngak ada."

"Masa? kamu masukkan ke saku kali..." Sanggahnya mencoba mengingatkan sahabatnya ini.

Imam pun segera bergegas menghampiri semua saku baju dan saku celana yang tergantung rapi di tembok kamar. "Ngak ada... aku yakin, aku taruh disini." Jelasnya seraya menunjuk laci pertama tempat ia menyelipkan surat itu dalam buku bacaannya.

Mungkinkah keamanan yang mengambil surat itu?

Ia pun teringat kasus yang menjeratnya beberapa bulan yang lalu itu, di mana ia harus bergelut dengan keamanan pesantren. Saat surat yang ia dapati dari sang kekasih lupa ia simpan, yang akhirnya surat itu raib terbawa keamanan yang sedang kontrol rutin. Dan hasilnya pun dapat di ketahui, ia harus menjalani ta'ziran berat karena telah berani melanggar tata tertib pesantren.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

"Mam, gimana kabarnya?"

Terperangalah ia mendapati seseorang yang telah lama tak ia jumpai. "Baik, ada apa kamu kesini?" Tanya imam sinis dengan tamu yang tak pernah ia undang ini.

Lelaki itu pun menjelaskan maksud kedatangan menemuinya jauh-jauh sampai ke pesantren yang belum pernah ia ketahui. Cerita panjang mulai ia lantunkan untuk menumbuhkan kepercayaan ketiga orang yang baru ia temui kali ini. Awalnya ia canggung dengan langkah ini, namun karena ini menyangkut kelanjutan kebahagiaan sang kekasih. Ia harus rela mengorbankan dirinya tuk kebahagiaan sang pujaan hati.

Imam yang merasa tidak ada sangkut pautnya lagi degan hubungan mereka, merupakan suatu hal yang mustahil. Jika ia di minta untuk membujuk kekasih orang itu untuk kembali ke Jakarta dengan suatu alasan yang menurutnya tak jelas. Memang permintaan itu tak memberatkannya, namun ia merasa telah sakit hati kepada orang yang meminta pertolongan ini. Hatinya berkata agar ia jauh-jauh dari lelaki yang telah berani merebut orang yang dicintainya, hanya demi memenuhi keegoisan dirinya sendiri.

"Mam, aku mohon padamu... sekali ini saja, ini demi kesehatan Ratna." Pintanya memelas.

"Kenapa harus aku fa? Kan kamu yang pacarnya Ratna?"

"Bukan seperti itu mam, aku lagi ada problem dengan Ratna. Jadi menurutku hanya kamu yang bisa menolongku."

Mata tajam itu pun segera memancarkan amarah yang sejak dulu telah terpendam dalam di tanah tandus hatinya. "Maaf fa, tapi aku ngak bisa." Ujarnya bergegas meninggalkan tamunya ini. "Zal, din... ayo pergi."

"Huh, ngak punya malu."Seru Rizal yang telah berhasil mengidentifikasi siapakah sosok misterius ini.

"Untung Imam ngak perintah menghajar kamu, kalau dia suruh..." Timpal yang lain dengan menunjukkan kepalan tangan ke arah muka tamu misterius ini.

Ia pun sadar dan tahu posisinya. Kedatangannya dari jauh, kini tak ada gunanya. Sakit hati lelaki itu mungkin sudah terlalu parah, sehingga sulit untuk mengiyakan permintaannya. Karena dia sudah di anggap sebagai musuh, yang telah berani menginjakkan kaki di markas lawan. Ia pun hanya bisa berharap, semoga santri itu dapat berubah pikiran untuk menolong wanita yang sebenarnya mereka berdua cintai.

Nadzom-nadzom Cinta Jilid 2 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang