Surat Kenangan (6)

94 7 0
                                    

Kursi roda yang kini menemaninya menyusuri lorong-lorong ruangan yang tidak terfikir akan dia masuki. Tempat dimana ia membencinya, karena mengingatkan dengan awal semua kesedihan ini. Di sisi lain, tempat ini mengingatkan akan kondisi yang seharusnya ia alami juga. Agar, tubuhnya ini mampu untuk memperbaiki sel-sel yang tengah mengrogoti tubuhnya.

Ruangan ini pula dimana ia harus melepas segala amarah dan emosi untuk menentukan masa depannya. Niatnya untuk meminta kembali apa yang telah di rebut paksa dan apa yang telah ia berikan bersama lumuran luka. Menjadikannya bagai sosok yang rela membuang harga dirinya demi sebuah ikatan hati atas nama cinta.

Ia yang ditemani oleh sang sahabat, segera menyongsong ruangan ICU dan hanya mendapati lelaki yang tengah mengistirahatkan tubuhnya. Butiran air keringat yang membasahi sampai pelipis wajahnya, terasa tak ia rasakan lelahnya. Senyum kebahagiaan dan tatapan kebahagiaan tengah terpancar jelas di wajahnya. Bagai malaikat yang tengah beregembira melihat seorang muslim yang tengah bersimpuh bermunajad kepada Tuhannya.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Ujarnya seraya mengakhiri lamunan bahagia atas kerja kerasnya selama ini.

"Maaf gus, kami ingin menjenguk dan melihat kondisi ning Ulya." Ucapnya meminta izin, mewakili sahabatnya yang masih membisu.

"Silahkan jangan sungkan-sungkan. Kebetulan saya belum sholat, jadi saya akan tinggal dulu. Berkenankah kalian menjaga ning Ulya?"

Segera setelah lelaki ini masuk untuk membangunkan bidadarinya yang tengah beristirahat dan mengambil pakaian ganti untuk sholat. Ia pun segera bergegas untuk bertaqorub pada sang kuasa. Mentahmidkan berbagai macam keadaan yang telah ia dapati, terutama perubahan sang pendamping hidup atas kuasa dari Sang Pembolak-balik Hati.

Akhirnya setelah berunding beberapa saat, dengan memberanikan diri ia meminta sahabatnya untuk menunggu di luar. Ia hanya minta di bantu untuk menutup pintu yang ada di belakangnya. Setelah itu, ia bertegur sapa dengan pasien yang di rawat di ruangan kelas satu ini.

"Kenapa kondisimu seperti itu?" Ucap seseorang yang sedang terbaring di tempat tidurnya.

"Sebenarnya, dari dulu Ratna memiliki penyakit yang telah terbawa sejak lahir, ning." Ucapnya seraya mengasihi dirinya sendiri yang dalam kondisi sepayah ini. "Sebenarnya kedatangan Ratna kesini..."

"Iya aku sudah tahu, Imamkan?" Potongnya cepat.

Perempuan yang sedang tertunduk malu ini pun hanya bisa menganggukkan kepalanya perlahan. "Ratna tahu, ning Ulya juga mencintai dan ingin bersama dengan mas Imam. Dan ning Ulya jauh lebih membutuhkannya di bandingkan Ratna." Ucapnya seraya menguatkan genggaman kedua tangan yang berada di atas pahanya.

Hati yang tengah bergejolak ini pun menuntunnya perlahan agar mau mengutarakan uraian hati yang tengah di susunnya kata demi kata. "Dulu, Ratna juga telah mengikhlaskan mas Imam untuk ning Ulya. Dan sebagai pembuktiannya, Ratna telah memutuskan untuk pindah dari pesantren. Tapi..."

Hiks..hiks..

"Ratna... Ratna... Ratna sudah mencoba..." Ucapnya di sela-sela isak tangisnya. "Ratna sudah mencobanya berkali-kali... sekuat Ratna... untuk melupakan Imam... hiks." Sambungnya seraya menaruh ujung jilbabnya di hidungnya untuk menyeka air mata yang deras mengalir setelah sekian lama ia bendung. "Tapi... tapi... sekeras itu pula rasa ini semakin kuat ning..." Sesalnya seraya menaruh tangan kirinya untuk meraih tangan kanan pasien yang terbalut oleh jarum infuse.

"Sudah... sudah... tenangkan dirimu rat." Ucapnya lirih seraya membalas mengenggam erat tangan itu. "Aku tak akan memaksamu lagi untuk melepaskan dan melupakan Imam." Bujuknya.

"Maaf kan Ratna ning..."

"Sudah... sudah..."

Nadzom-nadzom Cinta Jilid 2 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang