Siapa Dia (2)

177 8 0
                                    

Aku ada dimana?

Tanya hatinya yang bingung karena tiada suatu hal yang mampu tertangkap oleh retina mata. Menandakan keadaan sekitar gelap gulita, tiada suatu sumber cahaya. Ia memutarkan badan layaknya gasing, untuk memindai seluruh pemandangan yang tertangkap oleh radar matanya.

Cahaya apa itu?

Seperti sebuah noda yang terdapat dalam lembaran kertas putih. Membuat setiap mata yang memandang, akan terus melihat dan mengawasinya. Begitu pula dengan hidup. Jika ada sesuatu yang terasa aneh, tak sama dengan kebiasaan yang ada, maka akan membuat berbagai pasang bola mata akan tertuju dan menjadikannya sebagai subjek penelitian. Hal itu pula yang dirasakannya, ia melihat ke arah datangnya suatu cahaya putih yang terasa mendekatinya dengan langkah yang pasti.

Mas Imam..

"Siapa disana?"

Mas Imam..

Ternyata suara itu berasal dari sebuah cahaya yang kini terhenti entah dengan alasan yang tak di ketahuinya. Imam yang sudah begitu terbakar akan rasa penasaran, ia pun segera melangkah mendekat ke arah sumber suara itu. Ia pun mempercepat langkah kakinya untuk mencoba mendekati cahaya tersebut. Sebuah cahaya yang begitu terangnya, hingga menembus kelopak matanya, tak kala setiap langkah datang untuk mendekat.

Rindu di hati telah menjadi

Menjadi rasa yang bergejolak

Bergejolak menanti jawaban

Jawaban dari yang tersayang

Jutaan bintang bersendung

Menghiasi gelapnya hati

Bintang yang kini menjadi

Menjadi pelita dalam hati

Sepertinya aku pernah mendengar suara ini..

Dari jauh, datanglah seseorang yang tak mampu ia lihat karena suatu cahaya terang yang ada di belakangnya. Sehingga sorot wajahnya terkalahkan oleh bayangan hitam yang menutupinya. Seseorang itu terus medekati dirinya, ia pun mencoba memicingkan kedua matanya, menepis berbagai cahaya yang sedari tadi menusuk matanya. Tiba-tiba, terjadi pergerakkan yang menimbulkan suatu goncangan besar yang terkumpul dalam suatu satuan skala liter.

Imam..

Imam..

Terasa ada sentuhan yang telah menyenggol dirinya. Segera terbangunlah Ia tak kala mengidentifikasi bahwa suara itu berasal dari orang yang beigtu ia sayangi, yang sudah duduk disampingnya tanpa ia ketahui kedatangannya.

"Abah." Ucapnya yang bergegas mencium tangan seseorang yang begitu mencintainya setulus hati. Spontan saja ia merebahkan tubu kepada seseorang yang menjadi pahlawan tunggal baginya, yang slalu mendukung dan menjadi tempatnya berkeluh kesah.

Seperti seribu tahun tak bertemu, beliau begitu bahagia melihat putranya telah sehat wal'afiat tanpa kekurangan sesuatu apapun. Putra tunggal yang telah mampu melewati masa kritis dalam hidupnya tanpa di damping sepenuhnya oleh dirinya. Hingga beliau telah terhindar dari cobaan yang mungkin akan mampu membuatnya goyah.

Walaupun ketika detik-detik operasi, beliau datang dengan membawa beribu do'a yang ia kantongi dari rumah hanya untuk putranya tercinta. "Bagaimana keadaanmu nak?" Tanya seorang ayah dengan membalas pelukan putra semata wayangnya dengan penuh kasih sayang.

"Alhamdulillah bah... sekarang Imam sudah mendingan." Jawabnya dengan senyum manis, seraya melihat sang pemilik rumah tengah berdiri di samping abahnya.

"Alhamdulillah." Ujar sang ayah, tanda bersyukur atas nikmat sang pencipta yang begitu besar. "Oh ya.. ada salam dari geng-gengmu." Sambungnya menyampaikan amanah yang di emban.

Mengingat teman masa lalunya, imam pun begitu bahagia karena aggota gengnya masih begitu setia selalu mensuportnya. "Wa'alaikumsalam wr. wb." Jawabnya membalas salam yang di tujukkan lebih dari satu orang ini.

Sebagai seorang tuan rumah yang baik, pak ghofur pun mengamalkan ilmu yang telah ia pelajari dalam sebuah penjara suci di daerah jawa timur, dimana ia menitipkan putrinya dulu. "Pak Ahmad tidak mau istirahat dulu?" Tanya beliau menawarkan sebuah kamar untuk beristirahat setelah jauh-jauh datang dari kota batik ini.

"Terima kasih pak.. tapi nanti saja, saya masih kangen dengan Imam." Jawab beliau menolak penawaran dari seseorang yang telah memberinya kabar tentang putranya yang pergi meninggalkan pesantren tanpa izin tertulis maupun izin secara langsung.

"Baiklah kalau begitu. Kalau bapak butuh apa-apa, jangan sungkan-sungkan. silahkan ambil sendiri." Ucapnya kepada sepasang ayah dan anak, yang tengah memadu kasih. "Anggap saja rumah sendiri." Sambungnya meninggalkan senyum keramahan padanya.

"Terima kasih pak."

"Bah.."

"Hem." Jawabnya ringan.

"Besok kita langsung pulang ya? Imam sudah kangen sama ummi." Ucapnya mengutarakan keinginan dari kedalaman hati, akan kerinduannya bertemu orang yang telah melahirkannya.

Abah Ahmad yang biasanya selalu tenang ini, mendadak mengerutkan keningnya mendengar penuturan dari putranya ini. "Kok besok? tidak nunggu sembuh dulu?" Tanya beliau meyakinkan keputusan dari anaknya yang telah memasuki akhil baligh ini.

"Insyaaalloh bah. Imam sudah kuat. Sudah lama pula Imam tak menjenguk ummi." Ucapnya mengingat waktu di mana ia terakhir kalinya datang menemui seseorang yang tak sempat menyusuinya.

Nadzom-nadzom Cinta Jilid 2 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang