Pesantrenku Tercinta (5)

131 8 0
                                    

Di belahan bumi yang lain, pada hari jumad yang mulia ini, di dalam sebuah kamar yang terlihat kumuh dan acak-acakan. Kedua orang yang sedang menikmati waktu longgarnya setelah ro'an wajib yang di lakukan setiap seminggu sekali. Mengisi jam-jam itu dengan saling bertukar pikiran tentang pesantren ini.

"Din bagaimana jadinya ya... jika pondok kita ini tanpa kang Hari dan kang Ulil?" Tanyanya tiduran seraya berimajinasi dengan semua perkataan yang langsung keluar dari hatinya.

"Mungkin pondok ini akan mati zal." Jawabnya singkat yang terus memijiti punggung temannya ini.

Adat istiadat di pesantren memang begitu mengharukan bagi setiap mata yang memandang. Rasa toleransi tanpa pamrih yang begitu mereka junjung tinggi berharap sesuatu yang lain. Yaitu, suatu ridho dari sang kuasa mentadaburi sifat al jalalNya yang begitu meliputi segala kekuasaannya.

"Tapikan masih ada pengurus yang lainkan?" Sangkalnya mendengar jawaban yang begitu berbeda dari yang biasa ia dengar.

"Iya tapi menurutku ya zal... mereka itu belum mampu."

"Kok bisa?"

Dengan gaya sok mahasiswanya, ia pun memajukan tangan kanannya. Ia membuat jari telunjuknya berdiri tegak mendukung aspirasinya. "Bisalah... orang kita hormatnya sama mereka berdua sajakan? Bukan sama pengurus yang lain?" Jawabnya menjelaskan perkataan yang perlu di tafsirkan begitu dalam.

Walaupun matanya terpejam kembali menikmati pijatan teman sekamarnya ini, ia pun masih mendengarkan dengan seksama. "Bener juga lu din... tumben pinter." Pujinya dengan nada canda yang telah di anggap biasa oleh keduanya. Namun, jika hal itu terjadi pada orang lain, pasti ia akan di anggap mengenyek lawan bicaranya.

"Zal walaupun otakku tidak di pakai untuk sekolah lagi. Tapi, masih ku gunakan untuk belajar dari apa yang ku lihat." Tegasnya bangga dengan setiap perkataan yang entah dari mana bisa ia ucapkan dengan begitu lugasnya.

Tok... tok...

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Ucap mereka serempak mendapat suatu yang telah di wajibkan oleh sang nabi penutup untuk di jawab, walaupun lisan tak dapat untuk bicara. Namun menurut beliau, setiap umat muslim harus menjawabnya dengan isyarat. Jika tidak bisa barulah dengan hati, dan jika itu sudah menjadi hal yang maklum.

Ia pun segera melihat ke arah sumber suara pengucap persatuan umat islam itu, betapa terkagum ia melihat siapa yang tengah berdiri di depan pintu itu. "Pak bos..." Ujarnya kaget sambil mengeplak kepala orang yang terlelap di depannya.

"Wehh... Imam..."

"Din, zal... sehat semua?" Ucapnya meletakkan seluruh barang bawaan yang terdiri satu tas besar di punggung. Dan satu kardus makanan yang harus wajib di bawa oleh semua santri yang kembali dari tanah kelahirannya.

"Alhamdulillah... kamu sendiri mam? Ku denger kemarin kamu habis kena musibah?" Tanya Rizal memastikan kabar angin yang dulu sempat hinggap di telinganya.

"Iya... Ketika perjalanan ke Jakarta dulu." Jawabnya memulai kisah berliku nan panjang, yang telah ia lewati dengan begitu sabarnya.

Kisah yang bermula saat ia memutuskan untuk menjemput kembali sang kekasih, yang tengah bimbang akan situasi yang begitu mencekik lehernya. Awal perjalan di dalam gerbong milik PT. KAI itu, ia mendapati musibah yang membuatnya terjelembab dalam lubang putus asa. Namun, alangkah mulyanya Sang Khaliq yang memberikan hikmah yang tak pernah ia duga sebelumnya. Disaat ia begitu kebingungan, seseorang dari masa lalu yang telah lama tak berjumpa. Tiba-tiba ada di hadapannya untuk memberikan semangat agar tetap meneruskan niatnya yang mulai sedikit surut.

"Hah... Sofi." Ujar Rizal tidak percaya. "Kok bisa mam?" Ujarnya seraya mendudukan dirinya.

"Takdir mungkin... kebetulan atau apa, ternyata dia mau pergi ke rumah neneknya di Bandung."

"Terus.." sahut Udin mengikuti menyimak cerita sahabat yang cukup lama menghilang dari hadapannya.

Setelah mendudukkan dirinya yang tengah letih, ia pun segera melanjutkan kisahnya. "Alhamdulillah... Aku menemukan rumah Ratna di Jakarta."

"Ketemu?" Tanya Udin penasaran.

Ia pun menjawabnya dengan menggelengkan kapala berambut lurusnya.

"Terus ketemunya dimana?" Sahut Rizal yang mencoba meloncati pertanyaan udin. Bagai ungkapan sekali mendayung dua tiga pulau terlewati.

"Aku bertemu dengannya di rumah sakit."

"Hah... Ratna masuk rumah sakit?" Tanya Udin kaget.

Ia pun tersenyum melihat sahabatnya yang selalu berfikir lurus ini. Walau ia akui seandanya jika udin mampu mencerna perkataannya terlebih dahulu, ia pasti akan menjadi orang yang jauh lebih hebat dari pada dirinya. "Tenang... tenang din.. bukan Ratna yang masuk rumah sakit." Ucapnya menenangkan kedua audientnya. "Tapi aku."

"Hah..."

Kali ini ungkapan itu keluar bersamaan dari mulut keduanya, yang mulai tahu alasan mengapa sahabat mereka ini terlalu lama menghilang dari pesantren ini. "Sakit apa kamu mam?" timpal Rizal cepat.

"Ia bos... penyakit malarindu apa?"

"Ngak lah... cuma ketusuk pisau perampok..." Jelasnya sengaja menanggungkan ceritanya. "Walaupun begitu, tapi sekarang aku sudah sehat." Sambungnya sambil bergaya seperti para binaraga professional.

"Gayamu selangit pak bos..." Celetuk Udin manyun.

"Hahahaha..."

Mereka pun tertawa riang di sore itu. Menikmati kembali masa-masa dimana mereka selalu becanda bergurau bersama, meluapkan segala penat yang selalu mengikat mereka setiap harinya. Dan kembalinya ia kesini, membuatnya harus mengerjakan banyak sekali kegiatan yang menanti pertanggung jawabannya atas kepergiannya selama sekian waktu. Membuat tugas sekolah dan pesantren menumpuk di mejanya belajarnya. Namun sebagai seorang lelaki yang bertanggung jawab, ia tak merasa terbebani dengan semua itu. Ia menganggap semuanya dengan ungkapan seorang filusuf gila dari Negara inggris yang begitu terkenal "Make it have fun, every things what your do."

Nadzom-nadzom Cinta Jilid 2 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang