Kota batik di pekalongan.
Itu adalah sepenggal lirik yang menjadikan kota adidaya batik Indonesia ini yang masih mampu menyaingi kualitas ekspor batik solo yang sudah terkenal ke berbagai penjuru dunia. Dengan di dukungnya rumah-rumah yang masih banyak membudidayakan home-industri atas kesenian asli khas warisan budaya Indonesia ini. Dan hal yang begitu membanggakan ialah pengakuan dari UNESCO sekitar beberapa bulan yang lalu agar tiada pengakuan hak paten oleh Negara lain tentang kesenian batik.
Termasuk di kalangan pesantren, para santrinya juga diajarkan berbagai soft-skill untuk menjunjung kualitas mereka. Ini merupakan nilai plus yang mereka dapatkan disamping ilmu agama yang telah mereka dapatkan. Untuk di pesantren ini, karena berada di wilayah yang kaya akan kesenian batik, maka pesantren ini juga menerapkan pelatihan membatik agar setiap santrinya mampu menjaga warisan budaya lokal yang sudah mendunia ini.
Pada pesantren Al-Fattah ini, kesenian batik kebanyakan lebih diminati oleh kaum hawa. Oleh sebab itu, pendiri pesantren ini memberi kesempatan kepada para santriwatinya untuk diajari membatik menggunakan cating dan lilin sebagai ketrampilan bakat agar dapat bermanfaat di hari esok kelak. Dan membuktikan pada dunia luar pesantren yang menganggap anak pesantren sebagai anak kecil yang tidak bisa berbuat apa-apa selain mengaji dan memaknai kitab.
Sudah banyak sekali hasil karya santri-santri Al-Fattah yang di perdagangkan di beberapa daerah Indonesia, Bahkan sudah sampai di luar Indonesia terutama daerah brunai Darussalam yang begitu menghargai hasil karya anak bangsa ini. Hingga berbagai penghargaan pun telah mereka raih, atas nama santri enterpreneur atau santri berprestasi.
Kedatangannya di rumah kenangan ini telah menjadi kanangan tersendiri baginya semasa masih duduk di bangku tsanawiyah. Masa-masa di mana ia begitu nakalnya menjadi ketua geng di tsanawiyah yang di kepalai oleh abahnya sendiri. Bersama dengan anggota gengnya yang selalu membuat keributan dan biang masalah di berbagai kesempatan.
Banyak pula teman-teman sebayanya alumni MTs Al-fattah yang masih bertahan dan melanjutkan sekolahnya di Madrasah Aliyah Al-Fattah yang baru di buka selama empat tahun ini. Walau pun umurnya yang masih begitu muda, tak menjadi halangan siswa-siswi yang mendaftar untuk menuntut ilmu di tempat ini. Sehingga nuansa pesantren pun juga ikut berrotasi menyesuaikan setiap kehadiran santri baru yang masuk di pesantren ini, khususnya pada sekolah tingkat atas yang baru saja memegang surat keputusan pendirian lembaga pendidikan.
Namun, potongan kecil dari nuansa inilah yang sangat di rindukan olehnya. Karena ia dapat berkumpul kembali dengan teman seperjuangan, melewati masa-masa keingin tahuan akan suatu hal baru yang begitu besar. "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam." Ucap beberapa santri yang tengah bersantai di dalam kombongnya ini.
"Gimana kabarnya? Kapan datang?" Tanya salah seorang santri yang sedang bercanda gurau seraya menghisap sebatang rokok yang telah berputar sesuai dengan jadwal gilirannya.
Ia pun segera mendapat tempat di antara mereka bertiga. "Alhamdulillah Sehat ko. Kalian sendiri gimana?" Tanya balik imam yang mulai menyalami satu persatu anggota gengnya semasa di MTs dulu, dari Joko si sekertaris, Ari si bendahara dan Soleh si seksi-seksi yang lain.
"Alhamdulillah sehat. Tapi Soleh lagi meriyang nih mam." Tutur Ari menunjuk seseorang di sampingnya yang menyerahkan rokok itu kepada giliran selanjutnya.
"Meriyang? Meriyang apa sih kamu leh?"
"Merindukan kasih sayang... kasih sayangnya Dewi." Ejek lelaki yang baru saja menerima giliran batang rokoknya. Pecahlah suasana kaku itu, menjadi seperti masa-masa kocak dan gokil di masa lalu mereka.
"Husstt.. kalian ini ngomong apa? Malu kan sama gus'e." Belanya yang tersenyum seolah menerima ejekan dari teman-temannya ini.
"Nggawur kamu.. siapa yang gus? gusukan raimu apa?" Bentaknya melotot ke arah Soleh.
Sifat orang memang sulit di rubah..
Hal inilah yang selalu menjadi pedoman mereka untuk membuat sebuah bahan lelucon. "Sorry mam.. becanda." Ujar Soleh meminta maaf atas satu hal yang begitu anak kyainya benci jika kata itu terdengar di telinganya.
Walaupun Imam putranya kyai mereka, tapi dia paling tidak suka kalau dipanggil dengan sebutan 'gus'. Walaupun niat mereka ingin memuliakan ahlul-bait dari gurunya ini. Ia lebih suka di panggil sengan sebutan 'kang'. Alasannya sih cuma satu , yaitu kata 'gus' itu menurutnya menjadi pemisah antara dirinya dengan santri-santri yang ada di sini. Pernah suatu ketika ia menghajar habis-habisan salah seorang santri putra yang mengejeknya dengan embel-embel 'gus'. Hingga santri itu di bawa ke kantor kesehatan pesantren karena hidungnya yang terus berdarah.
Dan satu hal lagi yang selalu membuatnya harus meredam amarah, tak kala seseorang memanggilnya dengan sebutan 'mas'. Alasannya pun terdengar cukup aneh bagi teman-temannya, yaitu ia berfikiran kalau ia sudah di panggil mas, berarti ia sudah mampu menjadi contoh bagi orang lain. Namun ada pengecualian akan hal ini, suatu kata yang pernah di katakan olehnya.
Aku hanya ingin di panggil mas oleh orang yang ku sayang saja.
"Mam, katanya kamu kena musibah di Jakarta?" Tanya Ari mengalihkan pembicaraan agar amarahnya tak berlarut-larut seraya memberikan sebatang rokok yang sudah ia hisap.
"Iya. Aku di tusuk sama penjambret. Nih lukanya.." Ujarnya membuka bajunya dan memperlihatikan bekas lukanya yang sudah tak di balut oleh perban.
Merek begitu heran dengan pemimpin mereka ini, ia begitu beraninya melakukan hal ini dan dengan tenangnya menyampaikan musibah ini di hadapan mereka. "Wah.. hebat kamu mam." Puji Soleh kagum mengangkat jempolnya seraya menerima jatahnya yang sempat mampir ke Imam.
"Oh ya mam.. kemarin Nurul jatuh sakit mendengar kamu kena musibah." Ejek Joko melirik ketuanya ini seraya menerima jatah rokok yang tengah di sodorkan kepadanya.
Walaupun mereka sedang berbicara dengan putra tunggal kyai mereka. Tak ada rasa canggung atau pun rasa iri di hati mereka, mereka malah begitu larut dalam lembah persahabatan yang tak pernah memandang background dari sahabatnya. "Halah.. bicara apa kalian." Kelaknya yang tidak sengaja melihat dua santriwati yang sedang membawa kain bahan ke dalam rumah batik yang lewat di depan asrama putra.
"Umur panjang... yang di omongin lewat.." Ledek Soleh mengintimidasi pemimpinnya yang sudah lama tak mereka pojokkan seperti ini. Karena biasanya, merekalah yang selalu menjadi korban atas ejekan-ejekkan imam.
"Mam Nurul itukan cantik, pinter, anggun, calon hafidzoh lagi, plus dia itu putri kyai.. kok masih kamu tolak juga.." Sindir santri berpeci putih ini, melengkapi semua ejekkan menjadi satu bahan komplit.
"Minta tak tempiling kamu.."
Mereka pun tertawa terbahak-bahak melihat sang ketua yang memerah wajahnya. Entah tertanam rasa jengkel atau malu dari sindiran mereka ini. "Wisss.. santai bos.. just litele kidding." Ujar santri berpeci hitam mendamaikan suasana hatinya.
Sementara itu, santri yang menyarungkan songkoknya ke dengkul, yang dari dulu sukanya selalu mengejek orang, kini mulai melemparkan ejekkannya kepada lelaki kocak ini. "Leh.. leh.. tadi kamu bilang apa? Litele?" tanya Joko melihat tajam sahabat tergokilnya ini.
"Benerkan? Litele?" Tanya Soleh ragu dengan tata bahasa inggrisnya.
Gelak tawa pun membahana ruangan yang berukuran empat kali lima meter ini. "Litel (Little) leh.. bukan litele." Jelas Imam memberitahukan jawaban yang benar kepada sahabatnya ini.
Tak mau kalah dengan serangan ketiga sahabatnya, soleh pun segere melancarkan serangan balik atas dirinya. "Lha wong tulisannya litele mam.. ya bacanya litele." Belanya membenarkan ingatan yang samar tentang kata itu.
"Ya sudah terserah kamu aja.. ente bahlul.." Ujarnya mengomentari Soleh yang mati kutu tak bisa membalas lagi serangan dari sahabat-sahabatnya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadzom-nadzom Cinta Jilid 2 [Completed]
SpiritualContact: via WA only: 085224018565 Kehidupan kota Jakarta yang begitu berbeda dengan kehidupan pedesaan, banyak membuat anak-anak mudanya berkembang menjadi momok yang menyeramkan. Namun di antara itu semua, terseliplah seorang wanita cantik yang ma...