Wisuda Sekolah (4)

98 3 0
                                    

Di sudut ruangan. Sosok yang kini telah bisa menjalani hidup, datang untuk memenuhi undangan dari sahabatnya. Walaupun tak bisa menaiki panggung karena kondisinya. Ia tetap merasa bahagia dapat berpatisipasi dalam acara ini. Wajah bahagia menjalani kegiatan ini pun terpampang jelas di wajahnya.

Tangan yang tengah sibuk mengabadikan momen ini dalam kamera hidupnya, tanpa sengaja memotret seseorang yang tengah dalam kegundahan yang amat sangat. Terbesit rasa iba di hatinya, rasa ingin menghibur sosok yang teguh, sosok yang telah hilang dari hidupnya.

Namun, ia sadar. Ia kini tak ada hak lagi muncul di hadapannya. Terlebih dengan kondisinya seperti ini. Membuatnya akan semakin di bencinya, rasa bersalah yang begitu besar. Masih melekat pada dirinya membuatnya harus mengurungkan niat sucinya ini, menunggu saat dirinya bisa menapaki bumi dengan kedua kakinya kelak.

Terasa tersiksa batinnya kini. Rasa ingin menghibur sosok yang telah mengoreskan tinta cinta dalam hidupnya. Tanpa ia sadari perlahan-lahan, kursi rodanya mendekati sosok yang tengah melamun ini. Dengan mata berkaca-kaca, ia berharap kehadirannya tidak menganggu aktifitasnya.

Namun, niat itu ia urungkan tak kala di sisi lain, ia melihat kedatangan seseorang yang dulu telah berjasa menyatukan cinta mereka. Datang dan memberi sinyal kepadanya agar tak mendekati sahabatnya yang tengah rapuh ini. Karena ia takut hadirnya kan semakin memperkeruh nuansa hatinya.

"Mam, ngelamun saja." Ujarnya datang menyongsong duduk di samping sahabatnya ini.

"Zal.." Ucapnya lirih.

"Kenapa lagi?"

"Kenapa aku masih sulit menerima kalau Ulya telah pergi. Padahal aku berharap dialah jodohku. Aku sungguh mencintainya."

Untaian kata yang terdengar, ternyata membuatnya menjadi sosok yang kini benar-benar tidak di butuhkan lagi. Dengan tangis yang keluar begitu saja, ia pun segera memalingkan pandangannya. Berharap tiada lagi pertemuan dengan lelaki ini, selama-lamanya.

***

Rasa lelah bercampur letih kini tengah mengrogoti semangatnya yang masih mengebu-gebu. Pada akhirnya, cuma tinggal satu set pesanan terakhir yang perlu ia antarkan agar menyelesaikan big ordernya. Namun tubuh mengatakan hal lainnya, penglihatan yang mulai berkurang dan stamina yang sudah tidak mampu lagi untuk menopang semangatnya.

"Astaghfirullohal'adzim. Dewi." Teriaknya melihat sang sahabat yang terjatuh di depannya. Dengan sekuat tenaga, ia segera membopongnya menuju kursi di dalam rumah batik. "Sudahlah wi.. biar aku saja yang mengantar paket ini." Pintanya yang khawatir akan kondisinya ini, jika harus terus memaksakan diri.

"Tapi rul.."

"Sudah.. biar aku saja."

"Apa kamu ngak apa-apa?"

Dengan mengikat kotak kiriman itu sebagai tanda kesanggupannya, ia pun lekas mengikat paket itu di motor yang terparkir di depan. Meskipun kondisinya tak begitu jauh dari sahabatnya. "Iya.. lagian deket kok. Cuma nyerbang jalan raya itu." Ujarnya yakin dengan keputusan yang di buatnya.

Dengan perasaan yang begitu berat dan tuntutan profesionalisme. Ia pun melepaskan ke pergian sahabatnya ini. Walaupun ia tahu, bahwa sahabatnya ini masih belum begitu menguasai kendaraan roda dua ini.

Akhirnya dengan kebulatan tekat, ia segera berangkat dengan membawa handphone di saku bajunya. Berharap bahwa kekasih hatinya akan segera memberikan kabar yang begitu ia nanti. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam"

Nadzom-nadzom Cinta Jilid 2 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang