"Pacarnya pak boss, sweet ya Far, cantik lagi," pujian yang terlontar dari mulut Feby ini membuatku sadar. Bahwa aku hanyalah sebuah penghalang diantara mereka. Siapa yang mau jadi penghalang seperti ini. Keadaan yang menjadikan ku seperti ini.
****
Sekembalinya Fara dari makan siang ia langsung kembali mengerjakan pekerjaannya. Dari luar kaca ruangannya tampak hujan sedang turun begitu derasnya. Melihat hujan membuatnya bernostalgia dengan kisah percintaannya. Dulu sekali hujan merupakan hal terindah bagi Fara. Namun hujan juga membawa kenangan menyedihkan baginya. Banyak cerita yang terjadi ketika hujan turun. Salah satunya patah hati. Ditinggalkan dan dicampakan begitu saja oleh sang kekasih. Dan hujan merupakan saksi dimana dia terpuruk, berputus asa dalam kesedihan.Lamunan itu menyadarkan dirinya. Jika cinta memang selalu membuatnya lemah. Dan dia berharap tak terjebak lagi dalam kubangan cinta, yang pada akhirnya selalu membawa kesakitan pada dirinya. Untuk sembuh dari sakit itu membutuhkan waktu yang lama. Itu yang membuatnya sampai saat ini, takut untuk jatuh cinta lagi. Kisah lama itu membuatnya trauma.
****
"Verno kenapa kamu bisa basah kuyub kayak gini?" tanya seseorang ketika melihat keadaanku yang basah kuyub saat ini. Dan ternyata orang itu adalah Fara. Tanpa menjawabnya aku langsung masuk ke dalam ruanganku dan kemudian duduk di kursi kebesaranku. Tapi ternyata wanita itu masih mengikutiku sampai ke dalam.
Tadi aku juga lumayan kaget saat tiba-tiba saja hujan turun. Awalnya karena restoran yang akan kami sambangi cukup dekat maka Luna mengajakku berjalan kaki, namun itu hal yang sangat ku sesali.
Setelah mengantar kepulangan Luna dengan menyetop taksi, aku pun langsung kembali ke kantor dengan berjalan kaki, tapi sialnya baru di sepertiga jalan, hujan turun sangat deras, itu semua membuatku jadi basah kuyub seperti ini. Mau tak mau aku harus sampai di kantor dengan hujan-hujanan. Banyak karyawan yang menatap ku dengan tatapan bermacam-macam. Ada yang seolah-olah kasihan sampai ada juga yang menatapku dengan merendahkan. Semua itu tak ku ambil pusing, segera saja aku menaiki lift agar cepat sampai ke ruanganku.
"Kamu harus ganti pakaian dulu, kalau enggak nanti kamu sakit," ujarnya yang lalu mendekatiku menariku berdiri dan kemudian menggiringku ke toilet yang berada di dalam ruangan temaptku bekerja.
"Sana cepat mandi, aku akan menelfon orang rumah untuk mengantarkan pakaian ganti buatmu!" aku hanya bisa menuruti semua perkataannya. Aku suka dia yang peduli seperti ini.
Lima belas menit aku habiskan untuk membersihkan tubuh dari sisa-sisa hujan tadi. "Far!!mana pakaian ku?" teriakku dari dalam toilet.
"Sebentar, aku ke bawah dulu buat ambil pakaiannya," balasnya dari luar. Jadi aku harus menunggu. Hal yang tak biasa aku lakukan. Lebih sering ditunggu dari pada menunggu.
Lima menit kemudian pintu toilet terketuk dari luar. Satu paper bag disodorkan kearahku. Setelah ku buka pinta toilet menciptakan celah kecil untuk menerima paper bag yang berisi pakaian ganti untuk ku. Selepas berganti pakaian aku segera keluar dan mendapati wanita itu tengah duduk di sofa memangku laptopnya. Kenapa dia masih disini? Ku pikir dia sudah keluar.
"Ada yang bisa saya bantu lagi tuan?" tanyanya begitu mengetahui aku mendekat padanya. Dan herannya dia sudah memgubah cara berbicaranya lagi dengan lebih formal. Jadi dia menunggui ku untuk ini. Karena cuaca cukup dingin, "Tolong buatkan coklat panas," pintaku yang dia jawab dengan bangun dari duduknya dan meletakkan laptopnya dan berjalan ke arah pintu. Membuka pintu dengan perlahan dan menghilang di balik pintu.
****
Aku menunggu Verno di sofa. Berjaga-jaga bila dia memerlukan bantuanku lagi. Sepertinya keputusanku itu memang benar, dia menyuruhku untuk membuat coklat panas. Tak ada yang salah dari permintannya itu. Tapi aku rasa ini bukanlah tugas dari seorang sekretaris, melainkan lebih ke istri. Istri? Ku pikir bukan mungkin lebih tepatnya teman. Teman yang meminta tolong dibuatkan coklat panas pada temannya, masuk akal.
Aku kembali keruangannya dengan membawa secangkir coklat panas yang ku seduh di pantry. Nampak dia kembali pada pekerjaannya. Aku menaruh coklat panas ini dengan hati-hati. Aku merasa de javu dengan kegiatan ini. Seperti awal pertama kalinya kami bertemu, sekaligus terjadinya insiden yang membuatku seperti sekarang.
"Kenapa, takut kejadian waktu itu terulang lagi?" tanyanya. Pasti dia melihatku yang tampak sangat hati-hati meletakan secangkir coklat panas itu. Memang benar, bahkan 100℅ benar. Dia tahu apa yang aku pikirkan.
"Maaf, aku hanya tak ingin mengulangi hal yang sama," balasku dengan jujur. Menyangkut urusan di luar kantor akhirnya aku mengubah cara bicaraku lagi. Sekarang ini kami sedang tidak bertindak profesional. Membawa-bawa urusan pribadi di tengah lingkup lingkungan kantor.
"Jangan diingat, dan nggak usah diingat mengerti," perintahnya tegas lalu tanpa ada tanda peringatan ia mencium bibirku dengan sekilas. Masih dalam rasa keterkejutanku dia berucap, "makasih buat perhatiannya hari ini," dia menerbitkan senyuman seperti kemarin. Dia menciumku dua kali. Dua kali Ya Tuhan. Yang pertama waktu itu, karena faktor ketidaksengajaan. Tapi sekarang ini ia menciumku dengan kondisi sadar. Ingin sekali ku tampar pipinya itu, namun aku takut jika nanti ia marah dan berakibat buruk dengan pekerjaan kantor. Yang ku khawatirkan bukan pekerjaan kantornya tapi sikap dan emosinya pada karywan lain. Pasti nya nanti menjadi sasaran empuk bagi dia untuk meluapkan emosinya.
"Kenapa? Kamu cium aku lagi?" kalimat terbata-bata itu akhirnya keluar setelah beberapa detik yang lalu tak bisa berucap.
"Seperti ini," Verno mencium ku lagi, tapi kali ini bukan hanya sebuah ciuman melainkan sebuah lumatan. Tanpa sadar aku juga mengikuti pergerakan bibir nya itu. Sungguh hal yang baru dan tabu. Sebelum ini aku belum pernah sama sekali melakukan ciuman seperti ini walau dengan Dava sekalipun.
Hingga kami kehabisan nafas, Verno baru melepaskan pangutannya dari bibirku. Dengan serakah aku mengambil nafas sebanyak-bayaknya. "Ke-napa, kamu lakuin itu Ver?" tanyaku dengan sedikit meninggikan nada bicaraku. Teringat oleh Luna. Jangan sampai aku menjadi perusak diantara mereka. Verno terlalu bertindak kejauhan. Dan aku tak suka akan hal itu.
Mengapa aku malah menikmati ciuman tadi. Seharusnya aku bisa berbuat sesuatu untuk menghentikan Verno. "Kenapa? Bukankah kau istriku. Lalu apa yang salah, lagi pula aku sudah membatalkan kontrak itu Far," seperti tak terima dengan ucapanku tadi.
"Tap-i kan-" aku kehilangan kata-kata. Kecewa, marah pada diri sendiri, tak punya daya untuk melawan. Aku berlari pergi dari ruangan nya. Kembali ke ruangan ku sendiri.
Menangis disana. Merutuki segala kebodohan dan kelemahan yang ku punya. Ini sudah berlebihan.
Aku tak ingin Luna mengalami hal seperti yang aku alami. Patah hati itu benar-benar menyakitkan. Jika dia tahu dia tak hanya akan patah hati namun sakit hati. Sakit hati saat dihianati oleh orang terkasihnya sendiri.
Pintu terketuk dari luar. Ku hapus dengan segera air mata yang terus mengalir menghiasi kedua pipi. Tapi tak bisa, air mata itu terus saja mengalir.
Ternyata Feby yang datang.
"Lo kenapa nangis Far? Ada apa, cerita sama gue," tanyanya saat mendekatiku. Dia bilang untuk cerita sama dia. Aku belum siap untuk menceritakannya. Jadi kuputuskan untuk menggelangkan kepala.
"Makanya lo sekarang jangan nangis. Bikin cemas aja lo,"
Jangan lupa voment ya. Bila perlu share ke teman kalian.
Salam hangat
Tbc🎶

KAMU SEDANG MEMBACA
My Angel
Fiction généraleKehidupan seorang Verno Federic yang tadinya dingin berubah lebih hangat ketika seorang gadis bernama Faradina Anatasya datang dihidupanya. *** "Saya tau saya salah, tapi ini tak sebanding dengan kesalahan yang saya...