Kehidupan seorang Verno Federic yang tadinya dingin berubah lebih hangat ketika seorang gadis bernama Faradina Anatasya datang dihidupanya.
***
"Saya tau saya salah, tapi ini tak sebanding dengan kesalahan yang saya...
Tapi siapa sangka, kesombongannya itu menyulut keberanian Rania dengan menggingit keras tangan Dava yang mencengkram pergelangan kakaknya. Membuat Dava berseru kesakitan dan berujung melepaskan cengkramannya. Kelengahan itu segera dimanfaatkan Fara dengan menambah rasa sakit yang Dava rasakan dengan menendang keras titik vital dari pria itu. Dan kemdian menarik Rania dan mengajaknya pergi. Berlari secepat yang ia bisa. Sesekali ia menengok kebelakang memastikan Dava tak bisa mengejar mereka. Meninggalkan Dava yang masih mengumpat dan memegangi titik vitalnya yang berdenyut kesakitan.
"SIALAN!!!! BRENGSEK!!!!" teriaknya menggelegar ketika tahu tawanannya sudah kabur.
***
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sudah begitu jauh mereka berlari, Fara menghembuskan nafasnya lega saat tahu tak ada tanda-tanda Dava mengejarnya.
"Kak, Rania capek!!" rintih Rania yang sekarang tengah memegangi kedua lututnya. Fara jadi tak tega melihat adiknya yang terlihat sangat lelah. Peluh keringat menetes deras dipelipis gadis kecil itu, mengalir di sepanjang pipi. Dengan telaten Fara mengusap keringat tersebut menggunakan punggung tangannya.
"Sabar ya. Bentar lagi kita sampai jalan raya kok, kamu masih kuat jalan kan? Kalau enggak kakak gendong aja," ujarnya memberi pengertian pada Rania yang masih ngos-ngosan. Sekitar lima detik Rania mengalihkan pandangannya pada kakaknya yang tidak jauh beda dengan dirinya. Jika nanti kakaknya itu menggendongnya, itu pasti sangat melelahkan. Oleh sebab itu ia menggelengkan kepalanya. Tak menyetujui saran dari Fara.
"Beneran nggak mau digendong. Kamu kuat?" Fara masih merasa tak yakin. Apa Rania kuat berjalan sendiri.
"Kuat dong Kak. Ayo kak kita pergi, keburu Kak Dava ngejar kita lagi!" balas Rania yang kemudian berjalan mendahului Fara yang masih terdiam di tempatnya.
***
Fara benar-benar menepati janjinya pada Luna. Ia meninggalkan Verno demi kebaikan semuanya. Demi dirinya dan juga demi orang-orang terkasihnya.
Ia menatap nanar ke arah SIM card yang sudah ia lepas. Dengan begini Verno tak kan lagi bisa menghubunginya. Walaupun berat ia harus melakukan semua ini.
Selepas berhasil kabur dari Dava, Fara memutuskan untuk kembali ke rumah keluarganya. Tinggal bersama keluarga besarnya. Kedua orangtuanya tampak menampilkan wajah lega saat melihat kedatangannya bersama dengan Rania yang pulang kerumah dengan selamat.
Fara tak menceritakan kejadian yang menimpanya beberapa jam lalu. Ia juga sudah membuat Rania bungkam. Ia sengaja melakukan semua ini, Fara tak ingin mamanya tahu. Bahkan ia tak memberi tahu mamanya jika dia pergi dari Verno. Kemungkinan mamanya juga menduga jika dirinya tengah menginap untuk beberapa hari. Tak tahu alasan dibalik semua kepulangannya yang tiba-tiba.
Tadi saat dirinya menelpon dan mengatakan jika Rania hilang, mamanya sempat pingsan. Papanya yang waktu itu masih bersama dengan mamanya jadi syok melihat istrinya yang tiba-tiba jatuh pingsan. Tanpa tahu apa yang terjadi. Untuk itu, papanya memutuskan membawa mamanya pulang ke rumah.
Saat siuman mamanya menceritakan apa yang terjadi, sontak berita tersebut membuat papanya terkejut. Detik itu juga papa Fara langsung menelpon Fara untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjdi, tapi berhubung nomor Fara yang tidak aktif membuatnya pusing bukan kepalang. Mau mencari dan membayar orang pun tak bisa karena dia tak tahu lokasi Fara terakhir kali. Belum lagi istrinya yang terus menangis membuatnya jadi tambah pusing.
Dan ketika mamanya menanyakan perihal hilangnya Rania, Fara terpaksa berbohong. Mengatakan jika waktu itu Rania sedang mengerjainya. Bermain petak umpet tanpa memberitahu dirinya sehingga ketika ia kembali dari kamar mandi Fara dibuat kelabakan mencari adiknya itu. Itulah alasan yang ia utarakan, tanpa mau membebani masalah pribadinya pada sang mama.
"Fara!!" panggil mamanya di depan pintu kamar yang sedikit terbuka. Dengan cepat Fara segera menyembunyikan SIM card tersebut di bawah bantal
"Ada apa ma?" tanyanya gugup. Tangan kanannya ia gunakan untuk menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, berusaha menutupi kegugupannya saat ini.
Mamanya perlahan mendekat. Duduk di sampingnya, meraih tangan Fara yang tergenggam erat di atas paha. Mengalihkan pandangan putrinya ke arahnya.
"Jujur sama mama. Kamu kenapa? Mama kenal kamu, sangat kenal. Kemarin saat mama ajak kamu pulang, kamu nggak mau karena suami kamu. Sekarang kenapa kamu tiba-tiba pulang. Kamu ada masalah sama dia?" beberapa saat Fara sempat terkejut, rupanya dirinya sangat buruk menyembunyikan kebohongan. Sejelas itukah dirinya yang berusaha menutupi semuanya.
"Fara nggak ada masalah sama Verno ma, tapi ada alasan lain yang nggak bisa Fara ceritain sekarang!" jawabnya dengan menunduk. Mamanya yang paham dengan kondisi Fara yang tak baik-baik saja segera menarik tubuh putri sulungnya itu ke dalam pelukannya."Kamu boleh sedih, tapi inget masih ada mama disini. Masih ada mama yang bisa jadi sandaran kamu, mama seneng kamu milih pulang kerumah daripada hidup terlunta-lunta sendirian diluar sana!"
"Mama!" rengek Fara di dalam dekapan mamanya. Di masa seserius ini mamanya masih saja bisa bercanda.
Dibalik itu semua, Fara jadi merasa bersalah. Dulu dengan gegabahnya ia pergi begitu saja tanpa memikirkan mamanya sama sekali. Waktu itu pemikirannya masihlah dangkal. Melupakan jika mamanya bisa menjadi tempat untuknya bersandar, itu semua karena eyangnya. Eyangnya yang sudah membuatnya berpikiran sesempit itu. Membuatnya beranggapan jika seluruh keluarganya egois. Tidak memikirkan perasaannya yang tak bisa menerima perjodohan konyol yang akan dilakukan eyangnya sampai sekarang.
"Sekarang kamu istirahat, muka kamu pucet banget!" ujar mamanya ketika baru saja mengurai pelukannya. Memberikan senyum penuh kerinduan dan kasih sayang pada putri sulungnya. Fara menganggukan kepalanya, mengiyakan ucapaan mamanya. Tubuhnya juga terasa lemas dan sedikit pusing. Untuk itu ia langsung merebahkan tubuhnya dan menarik selimut sebatas leher.
"Selamat istirahat sayang, mimpi indah ya." ucap mamanya untuk terakhir kali dengan mengecup lembut kening putrinya dan setelah itu ia benar-benar pergi.
Setelah memastikan mamanya tak kan datang kembali, Fara segera bangun. Mengambil SIM card yang tadi ia sembunyikan. Memindahkannya ke dalam kotak lalu menyimpannya ke dalam laci, meletakkannya bersama dengan barang-barang yang sudah tidak ia gunakan.
Fara yakin, Verno tak kan mudah menemukan alamat rumahnya. Terlebih sekarang eyangnya sudah mulai memproteksi dirinya dengan posesif. Begitu tahu jika dirinya pulang dengan sendirinya maka detik itu juga eyangnya pasti akan menambah penjagaan untuknya. Tak kan membiarkan dirinya kecolongan untuk kedua kalinya. Setelah ini Fara akan kembali terpenjara di rumah ini.
Tak hanya itu saja, ketidak terus terangan Fara mengeni identitas aslinya juga pasti akan menyulitkan Verno untuk mencarinya. Sebenarnya Fara sudah menghilangkan nama tengahnya, dimana itu merupakan marga keluarga besarnya. Nama panjangnya ialah Faradina Maulina Anatasya. Maulina sendiri merupakan nama eyangnya.
Sehingga saat dulu ia masih bekerja pada Rena sebagai kurir bunga ia sempat terkejut ketika harus mengantarkan pesanan ke Rumah Sakit A. Maulin. Rumah sakit itu didirikan oleh eyangnya. Untuk itu ia sedikit merasa was-was, jika dulu ia sampai dikenali oleh orang-orang disana. Tapi untung saja, mereka semua tak mengenalinya.
"Maafin aku, aku terpaksa ninggalin kamu demi kebaikan kita semua. Semoga kamu ngerti Ver!" gumamnya pelan. Tanpa terasa air mata mengalir tanpa permisi dari kedua pelupuk matanya. Sedih? Siapa yang tak kan sedih jika harus meninggalkan orang yang benar-benar dicinta. Itu sungguh menyesakkan hati.