"Buat Luna ya?" tanya ku yang diangguki pelan olehnya.
"Cocok kok, pasti Luna tampak elegan memakai kalung itu," dia tak menjawabnya dan malah meninggalkan ku pergi setelah transaksi pembelian selesai.
***
Kini mereka tengah menikmati makan siang, seharusnya dari 2 jam yang lalu agar bisa dibilang makan siang karena kenyatannya sudah menjelang sore. Dalam diam mereka menghabiskan makanan masing-masing.
Telepon berdering, dan itu ponsel milik Verno.
"Iya Lun, ada apa?" tanyanya saat menjawab panggilan telfon itu.
"Bisa jemput aku nggak Ver, dirumah sakit," dari telfonnya aku bisa mendengar jika Luna memintanya untuk di jemput. Sebelum menjawab, Verno terlebih dulu menatapku baru kemudian ia menjawab permintaan kekasihnya itu.
"Iya, aku bisa kamu tunggu disana,"
"Far, maaf aku harus per-" aku terlebih dahulu menyelanya dan menghentikan ucapannya "It's oke, aku ngerti kamu boleh pergi," ujarku dan selepas itu Verno meninggalkan ku sendiri lagi. Sepertinya aku terlalu membawa perasaan dalam melakoni peran ini. Buktinya saja ada rasa sesak di dada meskipun baru sedikit belum terlalu terasa. Biarkanlah saja berjalan seperti ini, biar waktu yang menjawab semuanya. Bila nantinya harus aku sendiri yang tersiksa akan perasaanku ini. Aku ikhlas menerima apapun yang terjadi kedepan nya.
Planning awalku akhirnya terlaksana. Berjalan-jalan sendiri. Ku habiskan ke toko buku dengan memborong banyak novel. Sudah menjadi kebiasaanku jika merasa sulit tidur aku akan membaca novel untuk menemani malam tanpa tidurku itu. Jadi, saat mempunyai kesempatan bebas seperti ini, aku sempatkan diri untuk menyetok novel di kamar.
Saat jam sudah menunjukkan pukul 17.59 aku segera bergegas pulang. Menyetop taksi untuk mengantarkanku kembali ke mansion milik Verno.
Tak terasa ternyata, sopir taksi itu sudah mengantarkanku sampai ke mansion. Di sepanjamg perjalanan yang kulakukan hanyalah melamun. Hingga telah sampai pun aku tak menyadarinya.
Ku berikan uang pada sopir taksi sesuai argo yang tertera.
Masuk ke dalam mansion ku dapati susana yang sepi. Berbeda sekali dengan di kost-kostan dulu. Baru memasuki gang saja sudah banyak ramah sapa para tetangga. Lain halnya tempat ini, mereka hanya terfokus pada tugas mereka masing-masing. Selalu saja menunduk, takut menatap langsung mata sang majikan. Seolah kasta benar-benar menciptakan jurang antara kehidupan seseorang.
Baru beberapa langkah di tangga, sayup-sayup terdengar alunan piano dari arah ruang tamu. Tapi lebih tepatnya salah satu ruangan dekat ruang tamu. Karena rasa penasaran yang mendalam, aku pun mendatangi arah sumber suara ini.
Semakin dekat, alunan melodi ini semakin membuatku terpesona. Hingga ku dapati pria pemilik mansion ini yang memainkannya. Matanya terpejam dan tangannya sangat lihai menekan tiap tuts sehingga nada-nada yang tercipta menjadi harmonisasi yang indah. Rupanya ia tak menyadari kedatanganku. Hingga denting terakhir ia baru membuka matanya, dan terkejut melihatku sudah berdiri di sampingnya.
"Kamu sudah pulang, sejak kapan?" tanyanya yang kemudian memutar kursi yang ia duduki berputar ke arahku.
"Sejak kamu memainkan piano itu," jawabku dengan memberikan senyum manis padanya. Dan tanpa disangka dia membalas senyumanku dengan senyuman miliknya yang tak kalah manis. Sangat jarang kudapatkan, biasanya hanya wajah datar tanpa ekspresi yang sering ia tampilkan. Mungkin ia sudah mulai menerima keberadaanku sebagai teman hidupnya. Lebih tepatnya teman hidup satu tahun. Kadang saat mengingatnya aku merasa miris. Pernikahan dikorbankan atas nama cinta. Hal yang lucu menurutku.
"Udah dari tadi pulangnya? Keadaannya Luna gimana?" pertanyaan ku yang pertama dia jawab dengan anggukan sedangkan yang kedua "dia baik-baik aja, hanya perlu sedikit waktu buat pemulihan."
"Ya udah, kalau begitu aku ke kamar dulu." pamitku sebelum meninggalkan dia sendirian di ruangan bernuansa hitam putih yang dihiasi ornamen lukisan-lukisan yang pastinya benilai artistik tinggi.
Memasuki kamar bernuansa putih miliku , ku hempaskan tubuhku di kasur yang begitu nyaman. Sempat teringat dengan novel-novel baruku, aku memutuskan untuk membaca salah satunya. Hingga tanpa sadar rasa kantuk datang dan aku pun tertidur.
*****
Aku terbangun saat waktunya makan malam. Dan baru ingat bahwa satu bulan ini aku mempunyai kewajiban melayani seorang sumai. Suami? Apa dia menganggap aku sebagai istrinya? Tentu saja aku tak mau berharap lebih, bila nanti pada akhirnya aku pasti akan jatuh.
Sebelum turun ke dapur membuat makan malam aku sempatkan untuk mandi sebentar. Yah, walaupun sudah ada maid yang melakukan pekerjaan itu, tidak afdhol rasanya jika aku tidak ikut turun tangan dalam urusan dapur.
Setelah selesai aku pun segera turun ke bawah untuk memasak. Walaupun hanya sekedar satu menu tapi setidaknya aku telah berusaha menjadi istri yang baik.
"Nyonya kenapa disini, biarkan kami saja yang memasak nanti tuan bisa marah kalau melihat nyonya disini," tegur salah seorang maid saat melihat kedatangan ku ditengah-tengah pekerjaan mereka. "Jangan melarangku, Verno tak akan tahu, kalau kalian tak ada yang memberi tahu oke, jadi biarkan aku memasak," ujar ku dengan memaksa.
"Mereka tak akan memberi tahuku, tapi lain ceritanya kalau aku tahu sendiri," suara itu bukan kah? Saat berbalik ternyata dugaanku benar dia ada disini. "Ayolah Ver, tak masalah bukan kalau aku memasak, tadi pagi saja aku membuat makananku sendiri," pintaku dengan memohon. Ia nampak mengangkat salah satu alisnya. Mungkin dia heran kenapa aku bersikukuh untuk tetap memasak.
"Lakukan apapun yang membuatmu senang," ucapnya yang kemudian itu membuat bibirku terangkat ke sisi kanan dan kiri menciptakan senyuman.
Semua makanan sudah terhidang sempurna di meja makan. Namun Verno masih saja sibuk dengan urusan kantornya mungkin. Karena sekilas aku melihat dirinya tengah membuka beberpa email dan menandatangani beberapa berkas.
"Verno, makan dulu," ucapku yang lantas membuat dirinya menghentikan aktivitasnya itu. Kemudian ia membereskan berkas-berkasnya dan meletakkannya di sisi meja yang masih kosong.
"Mau makan apa? Biar aku ambilkan," tawarku yang ditanggapinya dengan mengatakan beberapa menu yang terhidang untuk ia makan.
Setelah mengambilkan porsi untuk Verno, aku pun lekas memakan makanan itu yang ku ambil setelah milik Verno.
Makan malam berjalan dengan diam, hanya ada suara dentingan sendok dan garpu. Hingga makan malam usai, dengan segera para maid menyingkirkan makanan yang tersisa ke dapur. Baru beranjak ingin pergi ke kamar tanganku di tahan oleh Verno. "Ada apa, ada yang ingin kamu katakan?" tanyaku padanya yang sejak tadi hanya diam saja.
"Tak apa, selamat malam, have a nice dream," ucapnya terakhir kali lalu meninggalkan ku sendiri yang masih terkejut akan ucapannya tadi. Tadi dia mengucapkan selamat malam padaku. Sungguh hal yang langka bagiku. Hari ini Verno benar-benar aneh. Tapi aku bersyukur ia sedikit demi sedikit sudah mulai merubah sikapnya padaku.
Wish you happy and enjoy, don't forget to vote and comment guys!!!!
Salam hangat
KAMU SEDANG MEMBACA
My Angel
General FictionKehidupan seorang Verno Federic yang tadinya dingin berubah lebih hangat ketika seorang gadis bernama Faradina Anatasya datang dihidupanya. *** "Saya tau saya salah, tapi ini tak sebanding dengan kesalahan yang saya...