"Eh...iya, salam kenal nama aku Fara, kamu pasti Luna ya," ujarku sekaligus mendalami peran yang kini tengah ku mainkan.
****
"Salam kenal juga.Em..mau gabung ke bawah sama Verno?" tanya Luna pada Fara yang mendadak diam. Karena tak ingin membuat Luna curiga akhirnya Fara menyetujui tawaran untuk bergabung dengan mereka. Padahal tujuan awalnya hanyalah ingin mengambil minum dikarenakan ia haus tapi apa boleh buat ia malah terjebak diantara Luna dan Verno.
Begitu sampai di tempat dimana Verno tengah fokus menonton bola. Luna mengambil duduk tepat disamping Verno sedangkan Fara mengambil duduk di kursi yang bersebrangan dengan mereka berdua.
"Jadi, kamu kuliah dimana?" tanya Luna begitu membuka suara. Aku yang awalnya menatap tajam ke arah pria di depanku ini menjadi teralihkan akan pertanyaan dari Luna. Oh, apa lagi ini kuliah? Perasaan aku sudah lulus bahkan aku telah menyandang gelar sarjana dan apa pertanyaan nya tadi dimana aku kuliah? Oh God,bantulah hambamu ini.
"Oh itu, aku kuliah di kampus nya Verno dulu," jawabku sekenanya. "Oh gitu, terus kam-" ucapannya terpotong karena Verno menyelanya, " udah ya Lun, besok aja tanya-tanya nya, kasihan Fara pasti dia capek baru pulang," bagus sekali Verno, kau menyelamatkanku dari pertanyaan yang sangat membingungkan untuk ku jawab.
"Maaf ya Far, aku saking senengnya ada temen bicara setelah sadarnya dari koma, kamu nggak kesel kan aku tanya-tanya tadi," ucap nya dengan nada penuh penyesalan. Aku mengerti pasti ia merasa moment-moment bersama teman-temannya hilang pasca komanya selama beberapa bulan ini. Jadilah menjadi hal wajar ketika ia yang tadinya hanya bediam diri di satu rungan tanpa bisa berinteraksi dengan dunia luar. "Ah..nggak papa Lun, kamu tenang aja, Aku nggak masalah,"
"Kalau gitu aku ke dapur dulu ya, mau ambil minum," ucapku yang kemudian meninggalkan dua sejoli itu.
Huffttt, apa-apan sih dia. Setidaknya dia berunding terlebih dahulu dengan ku. Apa kabar aku yang dia kata sebagai anak kuliahan? Jika Luna tahu bagaimana? Kalau orang tuanya tahu bagaimana? Apa dia nggak berfikir sampai ke sana. Dasar Verno memang semaunya sendiri, emang dia fikir enak apa berperan sebagai sepupu jauh yang datang kepadanya untuk menumpang tempat tinggal.
"Far!!" seru seseorang yang sangat aku kenali suaranya. "Ada apa," jawabku judes, biarkan saja aku tak peduli jika ia marah kepadaku.
"Kamu nggak marah kan?" tanyanya dengan wajah datarnya. Verno itu seperti tak punya ekspresi lain selain wajah flatnya itu. "Kenapa harus marah, aku nggak marah tapi aku kesel sama kamu, harusnya kamu ngomong dulu kalau ada Luna di rumah and you crazy, huh... Aku nggak ngerti sama cara pikir kamu."
"Aku nggak butuh persetujuan dari kamu, yang aku butuhakan kamu cukup ikuti saja permainan drama yang aku buat," dengan santainya ia berbicara tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi jika Luna tahu fakta yang sebenarnya.
"Terserah....., but you must remember if I am not your doll, yang bisa kau mainkan sesuka hati," tanpa memperdulikan jawabnnya lagi aku segera pergi dari dapur dan kembali ke tempat dimana Luna berada.
"Udah ambil minumnya, Verno mana? Katanya tadi dia mau ke dapur juga mau ambil camilan katanya."
"Oh iya, dia masih di dapur, aku ke atas aja ya Lun, mau ngerjain tugas,takut ganggu juga" pamitku yang lantas pergi menuju kamar.
"Ih, kamu apa-apaan sih nggak ganggu kok," dengan tersipu malu Luna menanggapi ucapanku.
Sebelum naik tangga aku sempat berpapasan dengan Verno yang kembali dari dapur. Tatapan tajam ia berikan padaku, kadang aku merasa takut. Tatapan nya itu sangat mengintimidasi, pantas saja ia berhasil menjadi CEO diperusahan di tengah usianya yang masih muda.
Karena tak ingin berlama-lama lagi segera aku pergi menapaki tangga demi tangga agar lekas sampai kamar.
***
"Ver aku mau pulang," pinta Luna padaku saat kembali ku dari dapur.
"Ya udah, kamu tunggu di sini dulu, aku mau ganti pakaian dulu," anggukan kepalanya membuatku langsung bergegas menuju kamar untuk berganti pakaian.
Selepas mengantarkan Luna pulang aku segera bergegas pulang.
Langkahku terhenti di depan kamar wanita yang menyandang nama belakangku itu. Perlahan ku buka pintu kamarnya agar tak menimbulkan suara yang mungkin saja bisa menganggunya.
Sadar akan kehadiranku di kamarnya ia menoleh kepadaku, yang tadinya ia tengah berkutat dengan laptopnya. Nuansa feminim kamarnya membuatku merasa damai. "Ada apa Ver?" tanyanya dari tempat ia duduk. Aku sendiri pun bingung tujuanku menghampirinya. Aku hanya mengikuti kata hatiku. Hingga saat ini aku sampai berada dikamarnya.
"Tak apa, aku hanya ingin menemuimu saja," rona merah timbul dipipinya. Ia terlihat begitu manis bila sedang salah tingkah seperti itu. Aku berjalan mendekatinya lalu duduk mengisi kekosongan ranjangnya. Mataku menatap nya dalam, seolah menyelami apa yang tengah dipikirkan wanita di sampingku ini.
"Far!"
"Hmm," balasnya dengan gumaman.
"Aku bingung, langkah apa lagi yang harus ku ambil, kedepannya" kataku jujur, sebab semakin kesini perasaan ku menjadi tak menentu. Kadang saat sendiri wajah Fara selalu terngiang di pikiranku. Tapi kadang pula, aku teringat hubunganku dengan Luna. Hal ini membuatku merasa dilema akan apa yang terjadi kedepannya nanti.
"Emm..., kamu mau jika kita memulai semuanya dengan pertemanan, maksudnya kita berteman, teman yang siap membantu satu sama lain."
"Membantu? dalam urusan membohongi Luna maksudnya?" tanyanya. Yang kemudian dia merubah posisi duduknya. Pernyataan itu memang tepat sasaran.
Dengan kata lain aku hanyalah menggunakan Fara sebagai tameng untuk menutupi jalinan kasih yang kini tengah julani bersama Luna. Sebenarnya semua yang telah aku lakukan hingga saat ini karena keadaan. Seandainya saja Luna sadar lebih cepat dari yang seharusnya pastinya aku tak akan pernah menikahi wanita di depanku yang kini berstatus sebagai istriku.
"Mau tidak?" tanyaku geram, karena perkataannya tadi yang sangat menohok.
"Baiklah, lagi pula aku hanya cukup membantumu sampai sebelas bulan kedepan, jadi tak masalah, anggap saja ini balas budi atas fasilitas yang telah kau berikan padaku ," jawabnya enteng. Memang perikahan kami telah berjalan hampir satu bulan lamanya, hingga saat ini belum ada perkembangan yang baik diantara kami untuk menjalani pernikahan dalam artian yang sesungguhnya.
"Jadi kamu mau?"
Dia tersenyum dan menganggukan kepalanya. Sebenarnya aku tak tega mengorbankannya demi hasratku semata. Namun saat itu aku berada dalam keadaan yang kalut. Tak punya pilihan lain selain menikahi wanita didepanku ini.
Tapi lagi-lagi ego Verno lebih menguasai dirinya. Dia tak mampu barang kali hanya mengucapkan kata maaf atas semua perbuatan yang secara tidak langsung telah menghancurkan masa depan Fara.
Yang ia lakukan hanyalah menutupi rasa bersalahnya itu dengan lebih banyak menyakiti dan memperalat Fara sesuka hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Angel
General FictionKehidupan seorang Verno Federic yang tadinya dingin berubah lebih hangat ketika seorang gadis bernama Faradina Anatasya datang dihidupanya. *** "Saya tau saya salah, tapi ini tak sebanding dengan kesalahan yang saya...