"Beneran, besok ya, janji!" sambutnya antusias. Aku hanya dapat tersenyum. Melihatnya yang kini sedang bahagia.
Yang kupikirkan sekarang adalah pulang dengan segera menemui Fara. Entah mengapa aku sangat merindukannya.
Ingat masih ada Luna disampingmu-batinku yang lain berbicara.
****
Hal pertama kali yang dilakukan Verno begitu sampai di mansion adalah segera menaiki tangga agar lekas sampai di kamarnya. Tanpa buang waktu lagi, Verno langsung membuka pintu kamar untuk melihat keadaan Fara yang tengah sakit. Tidak peduli sopan santun, toh itu juga kamarnya sendiri. Begitu pintu terbuka dan langsung mengarah ke tempat tidur. Sudah rapi? Bingung Fara dimana. Dia masuk dan mencoba mencari keberadaan Fara yang menghilang.
Ia berjalan ke arah kamar mandi, "Far, kamu di dalam?" hening. Tak ada jawaban. Akhirnya dia membuka pintu kamar mandi dengan lebar. Kosong. Tak ada sosok wanita yang tengah ia cari.
Berlanjut ke arah walk in closet. Lagi-lagi kosong. Dia jadi bingung kemana pergi nya wanita itu. Bukankah dia sedang sakit?
Karena tak mendapati Fara di dalam kamar, Verno pun mencari ke rungan lain. Sayup-sayup terdengar suara dari arah ruang keluarga. Membuat Verno berspekulasi akan menemukan Fara di sana. Dugaanya benar, Verno mendapati Fara yang tengah rebahan sembari menonton acara televisi yang sedang tayang. Belum menyadari kepulangan Verno.
"Udah sembuh?" tanya Verno sambil mendudukan diri di ruang yang masih kosong.
Suara Verno membuat Fara kaget. Sampai membuatnya bangun dari rebahannya.
"Udah, kamu udah pulang? Kapan kok aku nggak tahu," jawabnya. Verno mengulurkan tangannya ke arah kening Fara, memastikan kondisi nya yang katanya sudah sembuh.
Masih sedikit panas. Tapi ia anggap sebagai penyesuian tubuh Fara yang mulai sembuh.
"Sudah makan? Sudah minum obat?"
"Udah Ver, aku udah besar, nggak perlu diingatkan!" dengan nada sedikit kesal Fara menceletukan pernyataannya. Sebab Verno selalu memperlakukan dirinya seperti anak kecil. Apa-apa harus diingatkan.
***
"Kamu itu masih kecil, pegang nampan minuman aja masih nggak bener," mulai dia. Mengungkit masalah itu. Benar-benar menyebalkan.
"Iya-iya, nggak usah diungkit-ungkit juga, bisa kan!" tekanku yang ditanggapinya dengan tawaan.
Verno mulai mendekat ke arahku, mensejajarkan wajah kami. Hanya terpaut sekitar satu jengkal tangan. Ketika ia hendak mendekat lagi, aku mundurkan kepalaku ke belakang. Tahu akan jalan pikirannya, pasti mau menciumku lagi. Tidak akan ku biarkan terulang lagi. No longer.
"Kenapa?" tanyanya disertai senyum miringnya.
"Kamu..pasti mau menciumku lagi!" jawabku gugup. Kelihatannya dugaan ku benar, karena dia malah tersenyum lebar. Oh shitt, pasti sekrang pipiku ini sudah menjadi merah. Verno sialan. Untuk menutupi rasa malu ku itu, kedua tanganku ku gunakan manangkup kedua pipi miliku sendiri.
"Kalau iya kenapa?" tanyanya lagi.
"Jang---jangan aku baru sembuh, iya...sembuh, emmm....entar kamu ketularan sakit," ucapku dengan mencari alasan yang kira-kira tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Angel
General FictionKehidupan seorang Verno Federic yang tadinya dingin berubah lebih hangat ketika seorang gadis bernama Faradina Anatasya datang dihidupanya. *** "Saya tau saya salah, tapi ini tak sebanding dengan kesalahan yang saya...