03

3.4K 238 25
                                    

◾ Selamat Membaca ◾

_____

Tidak semua pasangan bisa melakukan hubungan jarak jauh. Ada yang memilih bertahan, ada pula yang memilih untuk melepaskan dari pada menanggung risiko yang dianggap terlalu menyiksa dan menyakitkan.

Sama seperti Keyzha dan Tristan, hubungan mereka yang sudah berjalan hampir empat tahun, harus berhenti di tengah jalan. Mereka memilih untuk memutuskan hubungan karena takut jarak jauh akan membuat mereka semakin jauh.

Awalnya, memang terlihat biasa saja. Seperti rindu yang masih bisa ditahan dan terobati dengan hanya bertemu lewat videocall atau skype. Tapi, pada akhirnya kegiatan masing-masing yang membuat mereka sibuk, menimbulkan berbagai pemikiran buruk mengenai hubungan mereka ke depannya.

“Terus, Tristan iya-iya aja waktu lo minta break?” tanya Anya.

Gladis, Anya dan Keyzha sedang berada di cafe yang sering mereka jadikan tempat kumpul. Keyzha sedang libur kuliah di Bandung dan memutuskan untuk pulang ke Jakarta untuk menceritakan masalahnya.

Keyzha mengangguk. “Awalnya dia mau bertahan sama hubungan ini. Dia bilang, kita pasti bisa cuma satu setengah tahun LDR, dia janji bakal balik, tapi gue nggak bisa.”

Gladis menghela napas, jemarinya menyentuh bahu Keyzha untuk menenangkan. Dia tahu persis perasaan Keyzha, memang tidak mudah dan sudah menjadi konsekuensi tersendiri untuk para pejuang LDR.

“Gue rasa, lo cuma terlalu takut buat menjalani hubungan jarak jauh. Lo terlalu mikir yang nggak-nggak dan menyimpulkan kalau LDR itu salah yang bisa bikin kita renggang. Padahal nggak semua hubungan berakhir karena LDR.” Jelas Gladis.

“Gue tahu, tapi gue terlalu takut buat jauh dari Tristan. Gue nggak tahu dia di sana bakal gimana nantinya, pergaulan dia jadi kayak apa. Gue takut dia berubah.”

“Ya udah, kalau itu bisa bikin kalian lebih lega, kita cuma bisa bantu doa yang terbaik ‘kan?” Anya tersenyum hangat.

“Kita juga masih hubungan baik kok.”

“Bagus tuh, nggak boleh ada yang jadi musuh. Mantan itu bukan virus yang harus jadi musuh apa lagi dijauhi,” sahut Gladis.

Keyzha dan Anya tertawa.

Gladis hanya tersenyum mendengar tawa kedua sahabatnya. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia merasakan kegelisahan itu lagi, di mana ketakutan kecil yang ada dalam hatinya berubah menjadi semakin besar. Gladis tahu, pikirannya memang selalu berkeliaran ke mana-mana, memikirkan hal yang terkadang sama sekali tidak pernah dipikirkan orang lain.

Ia juga punya rasa takut, takut dengan hubungannya dengan Juna yang bisa saja berubah. Bukankan itu hal yang sangat wajar bagi pejuang LDR?

❤❤❤

“Ke mana aja baru pulang?”

Gladis berjengit terkejut, tas yang berada di bahunya sampai merosot ke bawah, untung saja tas laptop yang ia tenteng tidak ikut terjun bebas ke lantai.

“Lo nyebelin banget, sih,” sungut Gladis, menutup pintu kamarnya dengan kesal.

Cewek itu menyipitkan mata, melihat sosok Juna yang sedang rebahan di atas kasurnya sambil memeluk boneka monyet pemberian cowok itu beberapa tahun yang lalu. Aneh sekali, dia sedang tidak bermain ponsel seperti biasa.

“Pasti mampir-mampir nggak jelas dulu, sambil gibah. Dasar cewek!” Juna bersuara, dengan tatapan yang masih menatap lurus pada langit-langit kamar Gladis yang sekarang di penuhi dengan stiker glow in the dark.

Siapa orang yang nggak punya kerjaan naik ke atas cuma buat pasang stiker ini?—pikir Juna.

“Pedas banget kalau ngomong,” Gladis mencubit lengan Juna.

Cewek itu ikut rebahan di sebelah Juna setelah meletakkan barang-barangnya. “Kapan datang, kok nggak bilang dulu mau ke sini?”

“Dari tadi, Hp lo nggak aktif gue telepon,” jawab Juna, tangannya sibuk memainkan boneka Gladis dengan melempar lalu menangkapnya lagi.

Gladis menghela napas. “Udah makan?”

Juna menoleh pada Gladis yang sekarang sibuk memperhatikan kuku jarinya yang di cat biru muda. “Udah tadi, makan sama Om.”

Mereka diam, sibuk dengan pemikiran masing-masing. Hanya suara detik jarum jam yang seakan mengutarakan perasaan mereka berdua.

“Keyzha putus sama Tristan,” mulai Gladis.

“Gue tahu.”

“Gue suka mikir, kalau ke depannya hubungan kita ada apa-apa gimana?” Gladis menatap nyalang langit-langit kamar.

Juna menghentikan gerakkan tangannya, menaruh boneka yang ia bawa demi bisa melihat semburat khawatir di wajah manis Gladis.

“Gue suka mikir, kalau kita putus setelahnya kita bakal gimana? Sementara keluarga juga udah dekat banget,” lanjut Gladis.

Juna berdecak, menghela napas lelah dan menutup mata. Ia benci sekali dengan pemikiran negatif Gladis yang suka bermunculan tiba-tiba. “Lo terlalu mikir yang nggak masuk akal, kita bakal baik-baik aja, Dis!”

“Gue takut, Juna.”

“Lo percaya sama gue ‘kan?” Juna bangkit, mendekat ke arah Gladis yang sekarang matanya terkunci menatap Juna.

“Gue percaya sama lo, percaya banget,” jawab Gladis tanpa ragu.

“Yang penting kita jaga komitmen. Gue sayang sama lo dan lo sayang sama gue, selamanya akan seperti itu. Sebentar lagi Dis, kita bisa lewati semuanya bareng-bareng. Percaya sama gue, Oke?!” Juna mengusap pipi Gladis lembut.

Gladis memalingkan wajahnya karena jarak yang begitu dekat membuat detak jantungnya tak stabil. Semakin lama degup itu semakin cepat. Apakah Juna bisa mendengarnya juga? Jika bisa, Gladis pasti akan sangat malu.

“Dis.”

Gladis menoleh, merasa terpanggil.

“Kalau gue buat salah ke depannya, apa lo masih mau maafin gue?”

Tok...tok...

“Gladis, mau makan di bawah atau di atas?”

Gladis buru-buru beranjak dari posisi tidurnya. Bahkan Juna sampai hampir terjungkal ke belakang karena suara mama Gladis yang membuatnya terkejut.

Mereka seperti dua remaja yang sedang terciduk berpacaran di taman.

“Iya Ma, Gladis turun!”

Pipi Gladis mulai bersemu merah sampai ia turun ke lantai bawah, meninggalkan Juna di kamar karena cowok itu sudah makan. Sementara di kamar, Juna menggaruk tengkuknya salah tingkah.

Untung saja, tidak ada yang masuk ke kamar.

■❤■

Dapat salam dari Gladis dan Juna.

Jangan lupa vote dan comment

Borahae... 💜

🍭Okta🍭

TroubleMaker Girl 2 (TRUST) 💋 (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang