◽ Selamat Membaca ◽
_____
Malam itu, Gladis merasa debaran jantungnya bertalu dengan ritme cepat. Ia sudah tidak sabar bertemu Juna, kekasihnya. Bahkan ia sudah memikirkan kata apa yang akan diucapkan pertama kali saat bertemu nanti.
Ia rindu Juna, tentu saja. Jika di bilang LDR tidak menyiksa, itu sepenuhnya bohong.
Gladis membaca sekali lagi secarik kertas bertuliskan alamat apartemen Juna, ia berjalan sambil menunduk, memperhatikan bagaimana kakinya melangkah, dan sesekali melihat deretan angka pada apartemen yang ia lewati. Sesekali juga berhitung dalam hati.
Tiga apartemen lagi dan Gladis akan sampai. Gladis menunjukkan senyum terbaiknya saat ia sampai di apartemen kedua sebelum apartemen milik Juna.
Ia mendongak, lalu tiba-tiba senyumnya pudar. Dadanya mendadak sesak, melihat kejadian di depannya. Logika mengatakan ia harus berbalik dan pergi, tapi hati menolak dan memilih untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Gladis tidak mengerti. Ia tidak bisa mendengar apa yang sedang Juna tertawakan bersama seseorang yang tengah ia gendong di punggungnya.
Dia Bella.
Bella tertawa bersandar di bahu Juna, terlihat bahagia. Juna menurunkan gadis itu di depan pintu apartemennya, lalu cowok itu membuka kunci. Juna bahkan tetap memeluk pinggang Bella.
Gladis menggigit bibir bawahnya, melihat Bella yang mengenakan rok di atas lutut dan sangat ketat hingga menunjukkan lekuk tubuhnya. Gladis melihatnya dengan mata kepala sendiri, bagaimana dua manusia itu masuk ke dalam apartemen dan Juna menutup pintunya.
Bayangan akan tercipta kenangan indah di kota London tiba-tiba runtuh. Gladis menarik napas dalam, menatap sepatunya sendiri. Sepatu yang beberapa bulan lalu diberikan Juna sebagai barang couple pertama mereka.
Berat, satu tarikan napas seperti penyiksaan bagi Gladis. Tapi, ia tidak menangis. Mungkin matanya sudah lelah menangis untuk Juna, lelah melihat semua perlakuan Juna yang selalu seenaknya padanya.
Semakin lama, hubungan ini semakin tidak sejalan lagi.
Gladis berbalik, mendongak menatap langit yang bertabur bintang. Ia menarik kedua sudut bibirnya, tersenyum pedih. Bahkan sekarang, semua bintang dilangit seperti sedang menertawakan kebodohannya.
Mulai saat itu, Gladis membenarkan perkataan seseorang. Bahwa, level tertinggi mencintai adalah merelakan.
❤❤❤
Gladis menggeleng, mencoba menghapus ingatannya pada hari itu. Hari dimana dia tahu Juna dan Bella ada di dalam apartemen, hanya berdua. Sudah beberapa kali Gladis mendengus, mencoba fokus pada ketikan di laptopnya yang sejak tadi tidak bertambah, masih di paragraf pertama.
Angin sepoi yang menyapu lembut wajahnya setidaknya mengurai stres yang ia rasakan. Ia cukup terbantu dengan udara segar setelah berhasil menemukan kunci balkon dan menyeret sofa santai dan mejanya ke luar balkon.
“Gladis! Buka pintu!”
Baru saja ingin bersandar, seseorang memukul-mukul pintu kamarnya yang jelas-jelas tidak di kunci. Lalu, dua kepala menyembul dari balik pintu. Sudah dia duga, dua orang ini pasti akan datang, siapa lagi kalau bukan Dera dan Anya.
“Gladis, hei!!” Anya seperti berteriak di hutan belantara saja.
“Gila, lo berdua ngapain ke rumah gue pagi-pagi. Nggak ada kerjaan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
TroubleMaker Girl 2 (TRUST) 💋 (COMPLETE)
Teen FictionCerita ini diikutsertakan dalam event #gmghuntingwriters2021 . . . Kepercayaan layaknya cangkang telur, kamu harus menjaganya supaya tetap utuh. Jika sampai kamu membuatnya pecah, segalanya tidak akan berjalan seperti semula lagi. Meruntuhkan keperc...