◽ Selamat Membaca ◽
_____
Setelah hujan badai, semua berharap akan ada pelangi. Gladis menantikan pelangi yang di janjikan hujan padanya, tapi sampai detik ini di mana hari sudah berganti, nyatanya pelangi tak menemuinya sebagai ganti air matanya yang jatuh bersama hujan badai kemarin.
Matahari tanpa malu-malu menyapanya dari celah korden, namun tubuhnya sama sekali tidak berniat untuk bangkit meninggalkan ranjang. Matanya berat untuk hanya sekedar berkedip, ia malas bergerak, malas makan, bahkan jika di tanya apakah ia malas bernapas, sepertinya iya.
Dalam hidupnya, kebahagiaan seperti khayal semu yang datangnya bahkan terbilang sangat singkat. Kemarin, ia dibahagiakan sampai merasa terbang begitu tinggi hingga takut untuk terjatuh. Setelah, mereka yang berjanji akan menjaganya untuk tetap berada di atas nyatanya menjatuhkan dirinya tanpa perasaan.
Gladis lelah menangis, Gladis lelah bersandiwara bahwa dia baik-baik saja dan berpura-pura tidak tahu apa-apa. Nyatanya, menutupi luka tidak selamanya membuat diri kita lega.
Tepat saat Gladis ingin memejamkan matanya kembali, Ali membuka pintu kamar dan berjalan ke arah Gladis dengan tergesa. “Dis, lo mau balik sekarang?” tanyanya.
Semburat khawatir tercetak jelas di wajah cowok itu. Ali buru-buru pulang dari rumah sakit saat mengetahui isi pesan Gladis yang memintanya untuk mencarikan tiket.
“Gue telepon Om ya, biar jemput lo.” Ali merogoh ponsel di sakunya, bersiap menelepon Handika saat Gladis tiba-tiba duduk dan menyerobot ponsel Ali.
Rambutnya yang berantakan dan mata yang sembab. Ali tahu, Gladis sedang tidak baik-baik saja. “Ada apa?” tanya Ali, tangannya terulur merapikan rambut Gladis.
Gladis menghela napas, “Gue putus.” Ucapnya dengan nada bergetar. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya, bersiap terjun bebas.
“Kok bisa? Dia ngapain lo, lagi? Mau gue samperin dia, gue tonjok sekalian mukanya, mau?” Ali mendekat.
Gladis menggeleng, ia sudah tidak bisa bicara karena akhirnya air matanya jatuh dan ia terisak dengan kepala tertunduk. Di posisi seperti ini, kenapa hanya Ali yang mau membelanya.
“Udah, Dis,” Ali menarik Gladis dalam pelukannya, menepuk punggung gadis itu, menenangkan.
“Gue nggak tahu salah gue apa, sampai dia—“
“Gue nggak minta lo cerita, nangis aja sepuasnya biar lo lega.”
Gladis mengeratkan pelukannya, terisak di bahu Ali sampai ia merasa lelah, hanya untuk mengeluarkan air mata.
“Jangan bilang siapa-siapa ya, Li.”
“Iya, Dis.”
❤❤❤
Anya dan Zildan, sedang menunggu Dera yang memeriksa keadaan Juna. Entah bagaimana ceritanya, cowok itu tidak sadarkan diri di depan pintu apartemen saat mereka bertiga baru saja pulang dari rumah sakit, menjenguk Oma.
“Dan, lo ganti bajunya Juna. Bau banget soalnya,” Dera merapikan alat kesehatan miliknya.
“Kayaknya Juna minum banyak banget tadi malam, dia mabuk berat. Kalau sampai nanti siang demamnya nggak turun, kita bawa aja ke rumah sakit.” Jelas Dera.
Anya dan Zildan saling pandang.
“Parah banget Ra?” tanya Anya.
Dera mengangguk. “Dia udah beberapa kali muntah tadi, gue takut dia dehidrasi.”
“Gila ya Juna, Gladis di sini malah dia sibuk mabuk.” Zildan menggeleng, tidak habis pikir.
Ponsel Anya yang ada di meja bergetar, menunjukkan nama Ali di layar.
KAMU SEDANG MEMBACA
TroubleMaker Girl 2 (TRUST) 💋 (COMPLETE)
Teen FictionCerita ini diikutsertakan dalam event #gmghuntingwriters2021 . . . Kepercayaan layaknya cangkang telur, kamu harus menjaganya supaya tetap utuh. Jika sampai kamu membuatnya pecah, segalanya tidak akan berjalan seperti semula lagi. Meruntuhkan keperc...