◽ Selamat Membaca ◽
_____
Bandara tampak lengang, pukul 1 dini hari ia baru sampai di tanah air. Dia tidak membawa apa pun kecuali ponsel dan dompet. Setelah tahu kabar duka itu, walau pun sangat terlambat. Juna mengambil penerbangan terakhir.
Ia tidak berpikir untuk menghubungi Mama dan Papa dulu, Juna melangkahkan kakinya cepat. Mencari kendaraan untuk cepat sampai di rumah Gladis, dan beruntungnya masih ada taksi yang ada di depan bandara.
Mungkin, tidak sopan bertamu malam-malam bahkan ini sudah dini hari. Namun, saat Juna sampai di gerbang, satpam rumah Gladis masih terjaga dan di teras Handika dan Raka sedang mengobrol.
“Mas Juna, pulang toh?” Pak Nur membukakan pintu setelah Juna mengangguk sekilas.
Juna melangkahkan kakinya menuju teras. “Om,” sapanya, lalu mencium punggung tangan Handika dan Raka bergantian.
“Om kaget loh, Papamu baru aja pulang Jun,” kata Handika.
Juna mengangguk. “Maaf Om, Juna datangnya telat banget.”
“Kamu nggak bilang orang tuamu ya, kalau pulang?” terka Raka.
Juna menggaruk tengkuknya, tidak dapat mengatakan apa pun. Bahkan sebenarnya ia belum diperbolehkan pulang dari rumah sakit karena kondisinya. “Juna kalap Om, jadi nggak sempat bilang dulu ke Mama.”
“Kamu mau ketemu Gladis?”
Setelah di beri izin untuk masuk ke kamar Gladis, Juna menaiki tangga menuju lantai atas. Ia juga sempat menyapa Sarah yang ternyata juga belum tidur, Mama Gladis itu sedang membuat teh di dapur. Sampai di kamar Gladis, hanya lampu tidur yang menyala, semuanya tampak gelap karena lampu utama di matikan. Juna berjalan pelan menuju ranjang Gladis, ia berjongkok memperhatikan wajah tenang Gladis yang di tempa cahaya lampu temaram.
“Maaf, gue terlambat,” bisik Juna, mengusap puncak kepala Gladis.
Gladis sendiri sebenarnya belum tidur, ia hanya pura-pura agar tidak dimarahi Papa karena ketahuan tidak tidur lagi sampai dini hari. Ia membuka matanya, dan langsung bersitatap dengan manik mata Juna.
“Juna,” panggil Gladis, lirih.
“Iya, gue di sini.”
Tak butuh waktu lama untuk Gladis segera berhambur ke pelukan Juna. Menumpahkan segala tangis dan kesedihannya yang ia pendam sendirian agar terlihat tegar. Nyatanya, Gladis begitu lemah di depan Juna.
Juna mengusap bahu Gladis, mencium puncak kepalanya dan mengatakan ‘maaf’ berkali-kali entah untuk kesalahannya yang mana.
“Semua bakal baik-baik aja ‘kan, Jun?” tanya Gladis, parau.
“Hm, semua bakal baik-baik aja.”
Gladis meremas kaus Juna, meyakinkan dirinya sendiri bahwa yang dikatakan Juna itu benar. Akhirnya Gladis menemukan kekuatannya kembali setelah menampik perasaannya sendiri, yang mengatakan bahwa dia tidak membutuhkan Juna lagi. Bahkan sekarang, ia masih bergantung pada cowok itu.
“Makasih udah datang.” Gladis mengurai pelukan mereka.
Juna mengangguk, menghapus sisa air mata Gladis dan menangkup pipi gadis itu dengan kedua tangannya. “Yang tegar, nggak boleh cengeng terus. Oma nggak suka lo nangis ‘kan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
TroubleMaker Girl 2 (TRUST) 💋 (COMPLETE)
Teen FictionCerita ini diikutsertakan dalam event #gmghuntingwriters2021 . . . Kepercayaan layaknya cangkang telur, kamu harus menjaganya supaya tetap utuh. Jika sampai kamu membuatnya pecah, segalanya tidak akan berjalan seperti semula lagi. Meruntuhkan keperc...