Target 2 (?)

271 42 23
                                    

Chaeyeon menduduki kasurnya sambil mendesah. Seharian ini ia bertemu dengan teman kencan butanya dan pria itu memutuskan melamar dirinya. Lamunan gadis cantik itu buyar karena ponsel di sebelahnya berdering.

'My Mom' is calling...

"Halo, mah? Gimana kabarmu?". Hening sejenak.

"'Dia' nggak mabuk dan meneriakimu lagi, kan?".

"Nggak kok, apa kamu ada masalah? Suaramu terdengar murung".

"Uhm... aku akan menikahi pria yang baru-baru ini kukencani. Dia melamarku hari ini. Dan dia nanya kapan bisa bertemu dengan mama".

"Apa? Kau akan menikah? Bagaimana bisa kamu menikahi orang yang baru kau kenal?".

"Mah! Dia dari keluarga terpandang dan seorang dokter spesialis anak. Akulah yang harusnya bersyukur bisa menikahi orang kaya itu".

"Apa kamu.... mencintainya?".

"Cinta? apa itu sesuatu yang bisa dimakan? Dan, Apa mama bakal tetep bertahan meski selalu dapet kekerasan fisik cuma karena cinta?". Chaeyeon menahan isakannya.

"Sama aja kayak ayah kandungku. Kalau dia mencintaimu, kenapa dia meninggalkanmu saat aku sedang di kandunganmu? Dan setelah itu semua, gimana bisa mama masih bicara tentang cinta? Kau membuatku kesal! Kututup!".

Chaeyeon membanting ponselnya ke atas kasur dengan emosi. Ia menangis sesenggukan mengingat ibunya yang sering mendapat kekerasan fisik dari suaminya, ayah tiri Chaeyeon. Meski begitu, ibu Chaeyeon tetap mempertahankan pria bejat itu dengan dalih mencintainya.

Pandangannya tertuju pada rak di depannya. Ada sebuah buku album yang sengaja ia letakkan disitu untuk bisa dilihat kapan saja ia ingin. Buku album itu adalah foto-foto kenangan masa kecilnya. Chaeyeon mengambil buku bersampul biru langit itu perlahan dan membuka lembar pertama.

"Mama dulu adalah gadis yang sangat cantik... tapi gimana bisa dia begitu nggak beruntung kalau masalah cowok?". Lalu tangannya membalik lembar selanjutnya.

Di pojok kanan bawah, ada sebuah foto yang mencuat dari segelnya. Membuat Chaeyeon harus menariknya untuk dirapikan. Tapi saat foto itu terambil, ternyata itu selembar foto yang dilipat. Ia bermaksud meluruskan foto itu, tapi foto yang sengaja dilipat itu justru menampilkan obyek lain.

"Kenapa pria ini mirip paman Kwak?". Chaeyeon membalik foto itu dan menemukan sebuah catatan kecil.

"Untuk cintaku, Chae Ryeong. Aku tak bisa lupakan malam bergairah yang kita lewati bersama di GyeongJu. aku mencintaimu. ~dari cahaya hidupmu~ Kwak Min Hoo. 1996, 12-24".

"Tunggu? Apa ini putera paman Kwak? Wajahnya benar-benar seperti Paman Kwak". Chaeyeon menyipitkan matanya untuk memperjelas foto di tangannya itu.

"Kalau dia bertemu mama di tahun 1996.... berarti... nggak mungkin kan kalo... paman Kwak". Chaeyeon menggantungkan kalimatnya.

"Paman Kwak... adalah kakekku?". Chaeyeon melamun sejenak.

"Eeiii... nggak mungkin ah! Yang bener aja, nama Kwak Min Hoo nggak cuma satu di negeri ini. Aish! Keknya gue kebanyakan baca ff". Tiba-tiba sekelebat memori memutar di otaknya.

"Kenapa kau menanyakan itu?".

"Katakan saja padaku. Apa pekerjaan ayah kandungku?".

"Eeii.. baiklah, baiklah. Dia adalah seorang penyanyi dan penari. Dia sangat luar biasa. Bakat itu menurun dari ayahnya yang juga adalah penyanyi trot termashur di jamannya".

"Bener. Mama bilang ayah adalah seorang idol". Chaeyeon langsung berganti baju dan keluar dari kamarnya.

Ia mengintip tuan Kwak yang tengah menyapu halaman depan sambil memainkan sapu lidi di tangannya layaknya sebuah mic. Chaeyeon bergegas mendekati pria tua itu.

"Paman Kwak, apa anda dulu seorang penyanyi trot hebat?". Pria itu mengernyitkan dahinya.

"Penyanyi hebat? Nggaklah. Aku cuma bisa menyanyi sedikit. tapi Saat itu aku menyapu bersih seluruh penghargaan di Korea dengan suaraku". Tuan Kwak mulai menyanyi dengan gaya khas penyanyi trot.

Apa mungkin paman Kwak beneran kakek gue?
Nggak,
Bukan keknya
Gue perlu ngelakuin tes DNA

"Tapi... kenapa kamu tiba-tiba bertanya random begitu?". Chaeyeon langsung menoleh kaget.

"Apa? Ah, aku hanya penasaran karena wajah anda sungguh cocok untuk jadi seniman. Aku sangat ingin bisa seperti paman, aku ingin mengajak suamiku nanti sesekali bernyanyi dan menari, tapi aku sama sekali tak bisa menari dan suaraku sangat buruk". Senyum tuan Kwak melebar.

"Ah begitukah? Gimana kalau kita mulai, tanggera?".

"Ttan-gi-ra? (Tarik)". Tuan Kwak menyodorkan tangan kirinya pada Chaeyeon.

"Bukan 'tarik'! Tapi penari wanita dalam Tango disebut 'tanggera' dan penari pria disebut 'tanggero'. Kita mulai?". Chaeyeon mengangguk dan menyambut uluran tangan tuan Kwak.

Keduanya memulai sesi latihan dadakan itu di halaman. Saat melakukan gerakan 'abrazo', Chaeyeon mendadak mendapat ide.

Gue harus ngambil rambutnya buat tes DNA. Sekarang kesempatan gue!

Chaeyeon langsung menjambak rambut tuan Kwak hingga pria tua itu berteriak kesakitan.

"Maafkan aku paman Kwak. Aku tidak sengaja, bye!". Chaeyeon langsung melesat memasuki rumah.

"Yak! Beraninya kau menarik rambut berhargaku! Lebih baik kau tarik alisku saja tadi! Sebaiknya kau jauhkan tanganmu dari rambutku, anak nakal!".












Chaeyeon langsung mengirimkan sampel rambut tuan Kwak beserta rambutnya sendiri ke bagian forensik.

"Kalo paman Kwak beneran kakek gue yang berarti puteranya adalah ayah kandung gue yang udah ninggalin kita dalam penderitaan... maka gue nggak bakal maafin dia". Chaeyeon sudah bertekad bulat.
.
.
.

Boarding House NO. '97Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang