Chapter | 24

886 73 15
                                    

"Loh, kalian di sini? Kebetulan banget, ya?"

Tring!

Dengan kasar, Vano membanting sendok atas piringnya. Tentu saja ia merasa terganggu dengan kehadiran perempuan itu.

"Clara?"

"Kak Fandhi sibuk banget, ya, hari ini? Aku ke kantor tapi kakak enggak ada." Tanpa rasa bersalah sedikitpun, Clara mengambil tempat di sebelah Faska. Bahkan dia tidak peduli dengan tatapan tak suka yang dipancarkan oleh semua orang di meja itu.

"Kalo kamu tau kakak sibuk, seharusnya kamu bisa ngertiin," sahut Faska juga kurang suka dengan kedatangan Clara. Pasalnya dia masih marah, karena perempuan itu menjelek-jelekkan Disa tadi siang.

"Tadi ada masalah yang urgent di kantor. Aku, kan, enggak tau harus minta bantuan siapa," jelas Clara dengan menampilkan puppy eyes, yang menurutnya sangat menggemaskan.

"Kamu sebenarnya bisa minta bantuan Wina kalo memang sudah sampai di kantor. Dia cukup pintar, malahan kakak berpikir untuk menjadikan dia sekretaris kamu," tukas Faska. Dia sebenarnya tidak sungguh-sungguh mengatakan itu, hanya sebagai gertakan agar Clara tidak sering meminta bantuannya.

"Kenapa gitu? Aku cuma percaya sama kak Fandhi. Kakak enggak lupa sama janji kakak dulu, kan?" tuding perempuan itu. Memang dia sangat licik, selalu mengatasnamakan balas budi.

"Perasaan ini acara gue deh, kok jadi ajang curahan hati seorang CEO abal-abal, sih," sindir Lala. Ia sudah jengah melihat tingkah Clara yang duduk seenak jidat di meja mereka.

"Kakak nyindir?" tanya Clara balik.

"Bagus, deh, kalo lo nyadar. Sepet mata gue ngeliat tingkah lo itu," sahut Lala tak kalah pedas. Dia dan Vano memang pasangan serasi, jika dilihat dari bagaimana mereka berbicara.

Clara hanya memutar bola matanya, dia kembali melihat ke arah Faska yang kini asik berbicara dengan Disa. Melihat bagaimana lelaki itu memperlakukan wanitanya, membuat Clara panas di tempat.

"Hareudang, Hareudang, Hareudang...
Panas, panas, panas... Selalu, selalu, selalu... Aku yang kalah..."

Semua orang mengulum senyum saat Angkasa menyanyikan lagu yang itu. Disaat-saat seperti ini, dia memang selalu bisa membuat orang tambah jengkel, siapa lagi jika bukan Angkasa. Kini wajah Clara sudah merah padam, menahan hawa panas yang sudah sampai ke ubun-ubun, karena disindir oleh lelaki itu.

Namun, Clara tetaplah Clara. Dia tidak mau terlihat kalah meski begitulah kenyataannya. Dengan santai, ia memesan makanan pada pelayan. Duduk manis di samping Faska, dan membuat semua orang di sana ingin pergi secepatnya.

"Sa, habis ini kamu mau langsung pulang?" tanya Faska yang kini tak lagi melanjutkan kegiatan makan malamnya.

"Iya, aku kayaknya langsung pulang."

"Capek banget, ya?" Faska bertanya dengan lembut, tangannya terangkat untuk mengelus rambut Disa.

"Hu'uh, hari ini pasiennya lumayan banyak. Soalnya ada kecelakaan beruntun di depan rumah sakit," jelas Disa lagi.

"Jangan maksain diri, entar sakit. Masa dokter sakit, sih. Kan, enggak lucu."

"Iya, enggak maksain, kok," sela Disa lagi. Entah sengaja atau bukan, tetapi mereka berhasil membuat selera makan Clara hilang dalam sekejap. Apalagi mendengar bagaimana Faska berbicara pada Disa, setiap orang pasti iri pada perempuan itu.

Dari Faska [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang