Chapter | 03

1.4K 92 17
                                    

"Pagi semua!"

"Pagi kak Disa," balas Benua dengan cengirannya. Sedangkan kembarannya—Samudra—hanya tersenyum, tidak membalas.

"Papi, kok, masi belum siap-siap? enggak ke kantor?" tanya Disa sesaat setelah duduk di samping Marissa.

"Hari ini papi mau ke Jakarta."

Disa yang tadinya sibuk mengoleskan selai strawberry pada roti, langsung mengalihkan perhatiannya. "Papi... ngapain ke Jakarta?" tanyanya dengan suara rendah.

"Papi mau mastiin keadaan aja. Kalo memungkinkan, papi bakalan izinin kamu untuk kembali ke sana."

Ucapan dari Rafiq membuat Disa terdiam cukup lama. Setelah kesadarannya kembali, dia berdiri dan memeluk sang papi dari belakang.

"Makasih ya, pi," ucapnya dengan suara yang parau. Matanya bahkan berkaca-kaca, dengan raut wajah yang bahagia.

"Tapi kalo keadaannya memungkinkan loh, ya," peringat papi lagi. Dia tidak ingin putri kesayangannya itu berharap lebih.

"Iya," Disa mengangguk dengan cepat. "Papi mau berusaha aja, Disa udah seneng banget," tambahnya.

Gadis itu melepaskan pelukannya, dan memandang sang papi dengan mata yang berbinar. Sungguh, setelah sekian lama, baru kali ini Rafiq melihat wajah putrinya kembali bersinar. Selain senang, ada rasa bersalah yang menyelusup ke hatinya. Sudah sejahat apakah dirinya selama ini?

"Ya, udah. Sekarang sarapan dulu," ujar Marisa menginterupsi ayah dan anak itu.

Tepat jam tujuh pagi, mereka mulai berangkat untuk menjalankan rutinitas sehari-hari. Kecuali Rafiq yang akan berangkat ke Jakarta nanti jam sepuluh.

Keluar dari pekarangan rumah, Disa beserta kedua adiknya harus berjalan menuju halte bus. Seperti biasanya, dia akan mengantarkan adiknya dulu ke sekolah, meski arahnya berlawanan dengan rumah sakit tempat ia bekerja.

Selama perjalanan, Disa tak bisa menyembunyikan senyuman yang terus saja mengembang di wajahnya. Samudra dan Benua yang melihatnya pun, ikut tersenyum. Mereka juga bisa merasakan, jika selama ini sang kakak tak bahagia tinggal di kota ini.

"Kalian baik-baik ya, di sekolah. Belajar yang rajin. Inget! Kalian masih anak-anak, enggak usah berantem apalagi pacar-pacaran."

"Iya, kak," sahut si kembar berbarengan.

"Awas kalo mami sama papi dipanggil ke sekolah." Disa masih saja memperingati kedua adiknya itu.

Benua memutar bola matanya, sedangkan Samudra menampilkan wajah datarnya. Keduanya memang punya cara tersendiri untuk menanggapi ocehan sang kakak.

"Kak, halte udah di depan. Ayo," ujar Benua dengan wajah ceria. Lain lagi dengan Samudera yang masih diam, dan akan selalu diam.

"Sam, jaga si Benua. Kakak enggak yakin kalo dia enggak bakalan nakal."

"Iya," sahutnya singkat, padat dan sangat jelas.

Disa terkekeh geli melihat tingkah laku kedua adiknya yang bertolak-belakang itu. Ketiganya pun turun dari bus, dan Disa masih saja mengekori mereka sampai ke gerbang.

"Kak, kita bukan anak TK. Udah, ah! Kakak langsung ke halte aja."

"Kamu ngusir?" tanya Disa pada Benua yang menampilkan wajah malas.

"Kak, Sam duluan," Samudra berlalu meninggalkan adik-kakak yang masih berdebat itu.

"Tuh, Sam aja enggak protes. Kenapa kamu yang sewot?"

"Tau, ah."

Setelah melihat kedua adiknya masuk ke pekarangan sekolah, baru Disa menyebrang jalan untuk menunggu bus yang melewati jalan rumah sakit. Setiap pagi memang selalu ada drama keluarga di gerbang sekolah menengah pertama, tempat adiknya mengenyam pendidikan. Siapa lagi pelakunya jika bukan Disa, hanya ini yang bisa menjadi hiburannya saat ia berada di rumah.

Dari Faska [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang