Chapter | 15

1K 81 13
                                    

Akhir pekan telah selesai, dan kini Disa kembali menjalankan rutinitas seperti biasanya. Dimulai dari pagi dia bersiap-siap, tak lupa membuat bekal karena hari ini pekerjaannya bertambah.

Perempuan dengan iris cokelat terang itu keluar dari pekarangan rumahnya. Dia sudah menghubungi pak Dani, beliau mengatakan masih dalam perjalanan.

Akan tetapi, netranya menangkap sebuah mobil Porsche yang berhenti di depan rumahnya. Dari dalam sana, keluar seorang pria yang mengenakan setelan kantor lengkap. Ia tampak gagah keluar dari mobil sampai membuat Disa terpana.

Tampan, mempesona dan memikat. Mungkin itulah deskripsi yang cocok untuk seorang Fandhi Alaska Adalwine. Disa langsung mengalihkan perhatiannya, tak ingin terlena dengan penampilan lelaki itu. Ketampanannya semakin bertambah saat bibirnya tersungging senyuman tipis.

"Selamat pagi," sapa Faska dengan suara berat yang khas.

Disa berdeham, mengacuhkan kehadiran Faska agar dirinya tidak terlena. Sungguh, sangat sulit bagi dirinya untuk menahan diri. Sepuluh tahun, bukanlah waktu yang singkat. Selama itu, disetiap harinya dia selalu merindukan Faska.

"Kamu mau berangkat kerja?" Faska masih berusaha mengajak Disa berbicara. Bahkan dia mengambil langkah untuk berdiri di depan Disa karena perempuan itu mengalihkan pandangannya.

"Hm," Disa hanya membalasnya dengan singkat. Ia masih mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Aku anterin aja, ya? kebetulan jalannya serah."

"Enggak usah, aku punya supir pribadi," tolak Disa dengan nada yang lebih dingin.

"Sa...," jika sudah memanggil seperti memohon begini, bisa dipastikan jika Faska mulai jengah dengan sikap Disa.

"Sampai kapan hubungan kita kayak gini?" Faska meraih tangan Disa, menggenggamnya lebih erat saat perempuan itu coba menariknya.

Disa diam, dia sendiri juga tidak mau mempunyai hubungan yang tidak jelas seperti ini. Namun, Faska sendiri yang membuatnya bingung. Saat Ia ingin pergi, lelaki itu menahannya. Namun, saat ia ingin tetap tinggal, lelaki itu malah meninggalkannya. Semua terasa serba salah.

"Kasih aku alasan, sa," bujuk Faska lagi, dia belum melepaskan tangan Disa juga.

Disa menoleh, tetapi matanya malah mobil Toyota yang yang dikendarai pak Dani kini mulai mendekati mereka.

"Aku harus pergi, jemputan aku sudah sampai."

Faska belum melepaskan genggamannya. Ia malah menarik tangan itu agar Disa semakin dekat dengannya. Lalu, ia membawa tubuh mungil Disa dalam pelukannya.

"Jangan tinggalin aku," Faska berkata lirih dengan nada memohon. Lelaki itu mengeratkan pelukannya meski Disa hanya diam mematung, tak membalas pelukannya.

"Aku enggak pernah ninggalin kamu, justru kamu sendiri yang ninggalin aku. Jadi semuanya sudah jelas, kan, siapa yang meninggalkan siapa?"

Faska mengendurkan pelukannya, dia menatap Disa tak percaya. Sorot mata beriris cokelat terang itu menggambarkan kekecewaan yang mendalam. Apa sebegitu berpengaruhnya bagi Disa saat dia ke Belanda tanpa sepengetahuan perempuan itu? Pertanyaan tersebut mulai menggerogoti pikiran Faska.

"Sa," Faska memegang pundak Disa, "aku bisa jelasin kenapa aku pergi ke Belanda. Itu semua aku lakukan agar papa enggak ganggu kamu lagi," jelas Faska.

"Ini bukan sekedar kamu yang pergi ke Belanda, tapi lebih dari itu."

Disa menepis tangan Faska yang masih bertengger di pundaknya. Perempuan itu meninggalkan Faska, dan masuk dalam mobilnya yang sedari tadi sudah menunggunya.

Dari Faska [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang