Prolog

1.6K 106 15
                                    

Seoul, The House of Mr. and Mrs. Lee, 07 Juli 2017, 07.00 AM

Gerbang besar rumah itu kini tampak kian megah dengan beberapa lampu gantung dan untaian kain putih tipis, bagai pilar yang menghubungkan bagian luar dengan dalam bangunan istana raja abad ini. Ke bagian dalam, pada kiri dan kanan jalanan lebar itu dihiasi tiang-tiang pendek sebagai pembatas beserta kain menjuntai dalam nuansa serba putih. Halaman dengan luas lebih dari 200.000 meter persegi itu telah dipenuhi bangku-bangku tamu dengan meja-meja bulat bertaplak putih dengan renda keemasan. Di satu sisi, sebuah panggung berukuran besar berdiri dengan dekorasi serba putih, bercampur dengan sedikit warna-warna hijau daun dan list keemasan. Menjadi latar prosesi pernikahan yang menawan sekaligus hangat. Lampu-lampu gantung berukuran kecil berjuntai dari aluran rumit di atas bagaikan atap. Saling menyilang di antara kabel dan terhubung pada tiang-tiang di sekeliling halaman, hingga ke pohon-pohon di barisan paling belakang. Rumput-rumput yang terbentang bagai karpet tebal kini sudah kering dari embun. Langit seolah ikut melaksanakan tugas bagai atap teduh dengan pancaran cahaya cerah.

Beberapa tamu tampak sudah berdatangan, memenuhi kursi empuk bersarung putih yang tersebar teratur di halaman. Hadir dalam balutan terbaik pakaian mereka. Sebuah grand piano di sebelah panggung mengeluarkan dentingan halus lagu klasik akibat tekanan lembut sang pianis. Berkolaborasi secara dinamis dengan wedding orchestra yang telah mengalunkan irama-irama lembut sejak pagi.

Di dalam rumah, Cho Yeong Eun menggenggam erat seprai kamar tidurnya. Yeong Eun belum terbiasa dengan kamar itu, terlebih dengan sentuhan beberapa dekorasi yang serupa dengan hiasan di depan rumah. Aroma cat dan perkakas baru masih tercium di udara. Namun, bukan itu yang membuat Yeong Eun sesak. Ia berdiri, membuat gaun pengantin putih berbawahan mekar itu meluruh sempurna. Membalut tubuhnya dengan memesona. Sebuah mahkota terpasang indah di kepala, terkait dalam rambutnya yang terjalin sebagian, terurai hingga ke punggung dalam helai cokelat terang bergelombang. Yeong Eun menoleh menghadap cermin. Tidak merasa membaik setelah mematut penampilannya. Ia mungkin terlihat cantik, tapi tubuhnya gemetaran. Alunan samar musik dari halaman seolah tidak bisa merilekskan ototnya yang tegang.

Sebuah ketukan di pintu terdengar menggema di kamar yang sunyi. Sambil berjalan lambat ia bergerak menuju pintu. Baru dua langkah, ponselnya di kasur berdering. Yeong Eun lantas kembali untuk mengambilnya. Keningnya berkerut saat nama Lee Hyukjae terpampang di layar. Debar jantungnya kian menguat.

"Ya, halo?" sambut Yeong Eun setelah mengangkat panggilan.

Tidak ada balasan. Hanya desahan napas yang terdengar teratur.

"Hei," sapa suara itu akhirnya. Terdengar berat tapi juga halus.

Yeong Eun tanpa sadar mengembuskan napas yang sejak tadi tertahan. Gemuruh di dadanya belum mereda, malah kian parah setelah mendengar suara Lee Hyukjae di seberang sana.

"Hyukjae~ya," ujar Yeong Eun lembut dengan suara gemetar. Seketika ia merasa sangat emosional hingga nyaris menangis.

Hyukjae mengembuskan napas pelan. Ia menyandarkan diri ke pintu kamar bagian luar. Menahan diri untuk menyerbu masuk supaya bisa menenangkan Yeong Eun. Ia sudah berjanji, untuk hari ini saja ia akan taat pada aturan orang tuanya—dan orang tua Yeong Eun. Dan peraturan itu bilang mempelai laki-laki tidak boleh menemui mempelai perempuan sebelum pemberkatan.

"Hmm?" sahut Hyukjae perlahan.

Yeong Eun menggigit bibirnya karena kalut. Ia berjalan bolak-balik di sekitar ranjang.

"Aku takut." Yeong Eun mengaku dengan lambat.

Matanya sudah berkaca-kaca entah karena apa. Ini bukan saat yang tepat untuk terharu, apalagi bersedih—dan ia sama sekali tidak sedih. Hanya saja, semua perasaannya campur aduk hingga hatinya kewalahan. Yeong Eun tak berbohong, karena ia memang benar-benar ketakutan. Sebulan belakangan, sejak ia dan Hyukjae menyanggupi ide ini, ia tidak berpikir sebegitu keras. Ia tidak menyangka akan seserius ini situasinya. Namun, saat perhelatan itu sudah di depan mata, Yeong Eun sama sekali tidak bisa tenang. Apakah ini keputusan yang tepat? Meskipun mereka bukan sepasang kekasih, meskipun mereka hanya dua orang yang sudah berteman sejak kecil, meskipun mereka sama sekali tidak dimabuk cinta. Apakah sungguh tidak apa-apa?

THE WILD COUPLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang