05 : BEST FRIEND

950 220 59
                                    

Seorang gadis termenung menatap kosong ke arah meja, dia pun tersadar, ketika ada tangan yang menyodorkan secangkir teh panas di depannya.

"Makasih Vay," balasnya pelan. Lalu dia mengambil teh tersebut dari tangan Vaya, lalu meneguknya sedikit.

Vaya hanya bergumam, lalu menatap Yana dengan pandangan sulit diartikan. "Lo gapapa?"

"Gapapa," Yana kembali melamun, sesekali menegak teh pemberian Vaya tadi.

Vaya tak puas atas jawaban Yana, gadis itu menarik ujung rambut Yana lumayan kencang, yang membuat empunya kaget karena merasakan sakit di kulit kepalanya.

"Lo apa-apaan sih Vay, sakit tau!" Yana sangat geram dengan tingkah Vaya, yang seenaknya terhadap dirinya yang masih dilanda kesedihan.

Ayolah seharusnya Vaya menghibur dirinya, bukan malah membuat dia marah.

"Return to original nature," balas Vaya enteng, sambil mengangkat bahunya acuh.

Yana menatap Vaya tak percaya, apa maksud gadis di depannya ini?

Apa dia bermaksud, membuat Yana marah agar kembali ke sikap Yana yang seharusnya, begitu? Yah mungkin saja, sangat perhatian bukan.

"Huft ...," helaan napas berat keluar dari mulut Yana, lalu dia menatap Vaya dalam.

Sedangkan yang ditatap, malah mengerutkan keningnya bingung.

"Maaf, pasti selama ini lo risih banget sama gue kan? Gue memaksa lo jadi temen gue, dan ga mikirin perasaan lo sama sekali." Gadis itu menarik napas, lalu kembali meneruskan perkataannya.

"Begitu juga perilaku gue ke ibunya pak Andreas. Untung pak Andreas masih berbaik hati. Kalau engga gue pasti udah di drop out dari sekolah Vay,"

"Karena keegoisan gue, bikin diri gue sendiri merugi. Ck, Pantesan lo ga mau temanan sama gue. Gue sadar kok Vay, sadar banget malah,"

"Gue janji Vay, ga akan ganggu lo lagi. Sesuai keinginan lo, gue bakalan seperti teman-teman bersikap ke lo. Gue sadar kok, lo ga suka zona lo gue usik."

Setelah mengatakan semua yang ingin dia katakan, Yana pun bangkit dan merapikan rambutnya yang agak berantakan. Lalu dia menatap Vaya, sambil tersenyum hangat.

"Maaf, dan terimakasih Vaya atas segalanya."

Ketika tangannya hampir saja mengenai gagang pintu rumah Vaya, gadis itu memberhentikan pergerakannya, ketika merasakan cekalan tangan pada lengannya.

"Maaf," ucap Vaya lirih.

"Gue yang terlalu menutup diri dari semua orang,"

"Gue yang ga mau orang lain masuk ke dalam zona hidup gue lagi,"

"Gue terlalu takut untuk bangun kepercayaan lagi, disaat kepercayaan gue benar-benar udah ga ada."

"Lo bukan egois, tapi lo peduli Yan."

"Terimakasih mau berurusan sama gue, dan maaf atas semua sikap gue terhadap lo selama ini."

Setelah mengatakannya, Vaya melepaskan cekalan pada Yana, dan membawa telapak tangan Yana ke dalam genggamannya. Lalu, gadis itu menarik genggaman tangan mereka, agar Yana mengikutinya.

Mereka mendudukkan diri kembali di sofa tadi, lalu terdiam beberapa menit.

"Memang benar, awalnya gue risih atas sikap lo yang terlalu mengusik zona gue yang udah nyaman sendiri. Tapi, hati kecil gue bertolak belakang dengan sikap keras kepala gue Yan,"

"Hati kecil gue, justru menginginkan lo jadi teman gue Yan. Jadi orang yang bisa gue percaya, dan tempat gue berbagi segalanya,"

"Tapi ... gue terlalu keras kepala Yan, gue menolak keras perkataan hati gue, yang sudah jelas sangat menginginkan lo jadi sahabat gue,"

SAINS & SOS [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang