Sudah dua hari Vaya menghabiskan waktu di kamar inap yang dipenuhi bau besi berkarat, bercampur dengan obat-obatan.
Mengingat dua hari belakangan itu, membuat Vaya kesal memikirkannya.
Ayolah, siapa yang tidak kesal?
Gadis itu merasa sangat sehat, karena cuma terbentur sudut meja. Walaupun ia harus merelakan pelipisnya di jahit, sebanyak 3 jahitan.
Namun, bukan berarti ia harus dirawat selama dua hari bukan? Apalagi laki-laki itu berulah, bersikeras agar ia rawat inap selama 5 hari.
Ayolah, dia habis di jahit, bukan selesai operasi besar.
Saat ini Vaya berada di ruang tamu rumah abangnya.
Gadis itu memutar bola matanya malas, mendengar celotehan yang keluar tidak ada hentinya, dari mulut laki-laki yang berada di sampingnya.
"Kamu jangan capek-capek, perbanyak istirahat."
"Makan jangan sampai telat, harus makan makanan bergizi."
"Kalau mau mandi atau cuci muka, hati-hati. Pelipis kamu jangan sampai kena air."
"Ganti perban juga yang rutin, supaya ga infeksi."
"Kalau kamu ma ...,"
"Iya iya, kamu kok jadi cerewet sih?" ketus Vaya menatap Dito jengah.
Dito tersenyum hangat, menatap Vaya dalam, lalu mengusap pucuk kepala Vaya sayang.
"Aku cerewet cuma sama kamu."
'Deg'
Vaya menepis tangan Dito yang berada di kepalanya, lalu memalingkan wajah ke depan.
Dito terkekeh pelan, lalu menarik kedua sudut bibirnya lebar. Dia sangat senang, ketika gadisnya blushing.
"Tante Vava!"
Rafa memeluk erat kaki Vaya, yang menjuntai di bawah.
Bocah itu terisak tertahan, karena bahunya naik turun walau terlihat sekilas.
Vaya membawa Rafa ke atas pangkuannya, walau sebelumnya sempat dicegah Dito.
"Jangan nangis dong, masa laki-laki cengeng." goda Vaya menghibur, sambil mengusap punggung Rafa sayang.
"Siapa yang nangis Tante? Om Dito?" tanya Rafa setelah menghapus bercak air mata di pipinya, lalu menatap Dito sekilas.
Vaya tertawa keras ketika mendengar penuturan Rafa.
Rafa itu bocah kecil yang gengsinya setinggi langit, jadi wajar dia tidak akan mengaku.
Dito menatap Rafa kesal, bisa-bisanya dia menjadi kambing hitam.
"Apa itu sakit Tante?" tanya Rafa sambil menunjuk pelipis Vaya yang terbalut perban.
"Sedikit, tapi kalau Afa tiup mungkin ga sakit lagi." tutur Vaya tersenyum lebar.
Dito membelalakkan matanya ketika Rafa, mau-mau saja melakukan apa yang dikatakan Vaya barusan.
Dia pikir, bocah itu tidak akan percaya dengan apa yang disampaikan Vaya.
Bagaimana pun, Rafa memanglah bocah kecil. Namun tertutup, karena sifatnya yang seakan orang dewasa.
"Gimana Tante? Udah ga sakit lagi kan?" tanya Rafa sambil menatap Vaya cemas.
Vaya menganggukkan kepalanya cepat. "Karena ditiup sama Afa, makanya ga sakit lagi."
"Maafin Afa Tante, Afa ga bisa berbuat apa-apa buat Tante. Afa cuma nangis, dan teriak-teriak panggil Mama. Afa ... Afa, takut da-rah Tante."
KAMU SEDANG MEMBACA
SAINS & SOS [✓]
Teen Fiction[ DISARANKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] ••• "Gue fobia sama anak IPS!" "Kenapa lo fobia sama gue?" "Lo siapa?" "Gue fobia lo." "Lo anak IPS?!" "Kenapa lo alergi anak IPS?!" "Bukan urusan lo!" "Ini urusan gue, karena gue anak IPS." "GUE BAKAL BIK...