28 : RISE UP

487 85 53
                                    

Pintu gudang menjadi sasaran emosi Dito, mata laki-laki itu berkilat marah.

Apa perkataan yang dilontarkan Vaya sangat keterlaluan? Sehingga membuat laki-laki di depannya begitu marah.

"Awhh ...," ringis Vaya ketika Dito melepaskan cengkraman tangannya.

"Seharusnya lo ga ngomong begitu Lavanya." ucap Dito penuh penekanan, dan menatap tajam Vaya.

Vaya memberanikan diri menatap mata Dito. "Apa? Gue rasa perkataan gue benar."

Terdengar gertakan gigi yang beradu dari laki-laki di depannya, membuat Vaya menelan salivanya susah payah.

"Lo salah, ga semua anak IPS seperti yang lo kenal. Lo lagi sial ketemu orang-orang yang ga punya otak seperti yang lo bilang." ucap Dito penuh penekanan.

"Bukan berarti lo bisa melabelkan semua anak IPS serendah itu Lavanya. Buka mata sama hati lo lebar-lebar, lihat dan rasakan, apa semua anak IPS sama seperti orang-orang di masa lalu lo?" sambung Dito sambil memutar tubuhnya, berjalan ke arah pintu gudang yang terbuka lebar.

Lalu dia menghentikan langkahnya, ketika di ambang pintu lalu melirik Vaya melalui ekor matanya. "Jangan egois, masih banyak di luar sana orang-orang yang punya trauma, dan kehidupan yang jauh tidak baik dari lo Lavanya."

Laki-laki itu melangkahkan kaki keluar ruangan.

Vaya termenung menatap kosong lantai yang di pijaknya, ia merasa marah dengan dirinya.

Apa ia sudah keterlaluan? Apa ia salah jika traumanya bisa membuat dirinya tak terkendali dan menyakiti orang lain? Ia hanya belum bisa menerima kenyataan di masa lalu, walaupun selama ini ia mati-matian berusaha agar sembuh.

Tubuh Vaya meluruh ke bawah, bahunya yang bergetar hebat, lalu isak tangis lolos dari bibirnya.

Tangis pilu Vaya begitu menyakitkan di dengar oleh orang-orang di depan gudang, mereka berempat menundukkan kepala sendu.

"Gue udah benarkan?" tanya Dito lemah.

Kenzi menganggukkan kepalanya, Kenzo menggelengkan kepalanya, sedangkan Yana memilih bungkam.

"Harusnya lo ngomong lembut dong ke Vaya, ga perlu kayak tadi." ketus Kenzo, namun berbeda dengan raut wajahnya yang sendu.

"Dito udah benar Zo," ucap Kenzi menatap kembarannya datar.

"Apa? Lo ga liat Zi, Vaya bisa makin tertekan." protes Kenzo.

Helaan napas keluar dari mulut Dito, sebenarnya dia sangat tidak tega melihat Vaya yang sangat terguncang di dalam, namun dia harus menahan segala rasa tidak teganya itu agar Vaya dapat menyadarinya. Karena tidak selamanya gadis itu berada di masa lalu, yang hanya membuatnya semakin jatuh terlalu dalam.

Yana melangkahkan kaki mendekati pintu gudang yang terbuka.

Belum sampai kakinya menginjak depan pintu, tangannya di cekal seseorang, dan membuatnya terseret karena tarikan orang tersebut.

"Urusan kamu sama saya belum selesai Kayana," ucap Andreas tanpa melepaskan cengkramannya pada lengan Yana.

"Lepas, saya tidak punya urusan sama Bapak." ketus Yana sambil berusaha melepaskan cekalan tangannya.

Andreas menguatkan cengkramannya di lengan Yana, membuat Yana meringis kecil. "Sampai kapan pun, urusan kamu dengan saya tidak akan pernah selesai Kayana."

Laki-laki itu menarik Yana agar mengikutinya, sedangkan ketiga laki-laki yang sedari tadi menyaksikan, hanya diam tak berkutik.

Ketika mendengar langkah kaki dari dalam gudang, dengan gerakan cepat, mereka bersembunyi di balik pilar.

Dito menatap Vaya sendu, gadis itu tampak sangat kacau.

Setelah Vaya menghilang di persimpangan, barulah mereka keluar dari balik pilar.

"Gue takut," cicit Dito.

Kenzi mengerutkan keningnya menatap Dito, "takut kenapa?"

"Ketika dia mengetahui kebenarannya, dia menjauh dari gue Zi, dari kita semua." tutur Dito sendu.

Kenzo menepuk pundak Dito pelan, bermaksud untuk menguatkan sahabatnya itu. "Vaya pasti mengerti Dit."

Jawaban Kenzo tidak membuat Dito tenang, ia tidak yakin apa gadis itu nantinya akan memaafkannya, atau malah menjauhinya.

***

Tatapan Vaya menerawang langit-langit kamarnya, ia merasa bersalah dengan Dito, dan seluruh jurusan IPS.

Seharusnya ia tidak bertindak seperti itu, bisa saja ia menyakiti orang yang tidak bersalah.

Dito benar, tidak seharusnya ia membenci semua anak IPS, bukannya selama ini jurusan IPS dan IPA di Nusantara saling berteman baik, malah ia tidak pernah melihat pembulian seperti di sekolah lamanya.

Hanya beberapa orang yang suka cari masalah, tapi masih dalam kata biasa.

Helaan napas keluar dari mulut Vaya, ia bangkit ketika mendengar deringan dari ponselnya yang berada di meja belajar.

Dear Yana♥️ is calling...

"Kamu gapapa kan Vay? Maaf, aku ga nyusul kamu tadi, aku juga lagi ad ...,"

Penuturan Yana dipotong oleh Vaya.

Gadis itu hanya ingin cepat menyelesaikan pembicaraan, agar ia dapat kembali merenungkan semua yang terjadi padanya.

"Aku gapapa kok Yan."

"Beneran Vay? Kalau kamu butuh te ...,"

"Aku gapapa ok, udah dulu ya aku mau tidur."

Tanpa menunggu balasan Yana, Vaya mematikan sambungan sepihak, lalu ia menonaktifkan ponselnya, dan meletakkan kembali di atas meja.

Vaya merebahkan tubuhnya di atas ranjang, ia kembali menatap langit-langit kamarnya sendu.

Tidak sampai beberapa detik, gadis itu mengembangkan senyumnya.

"Baiklah saatnya melupakan masa lalu, dan bangkit Aya! Kembali menjadi gadis ramah dan baik hati, kamu pasti bisa Aya! Semangat!"

Vaya memejamkan matanya perlahan, dengan senyuman yang tak luntur dari bibirnya, sampai akhirnya ia jatuh ke alam mimpi.

To Be Continued

Salam Hangat 🌹

Luviasalsabila

SAINS & SOS [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang