Di sinilah Vaya, di depan pintu yang bertuliskan Mr. Andreas. Yah, karena dirinya Yana melupakan fakta bahwa istirahat pertama, seharusnya gadis itu menemui Pak Andreas sesuai perkataan beliau Sabtu kemaren.
Vaya menghela napas untuk kesekian kalinya, karena sikap Yana yang membuatnya pusing. Gadis itu maju dan mundur di depannya sambil menggigit jari.
"Yana ... kamu tinggal masuk aja, kenapa harus seribet ini sih." decak Vaya mulai jengah.
"Vaya ku ... kamu tau kan Pak Andreas kayak gimana? Dia bisa jadi singa yang ga dikasih makan bertahun-tahun kalau ketemu aku. Kalau jinak ya alhamdulilah, kalau engga astagfirullah!" ujar Yana histeris sambil menatap Vaya.
Gadis di depannya ini memancarkan raut wajah yang sangat khawatir, namun berbanding terbalik dengan perkataannya yang berani sekali.
Bahkan, gadis itu meninggikan suaranya mengatakan semua itu. Padahal, dia tepat berada di depan kandang singa yang dibicarakannya.
"Bagus Kayana, saya salut sama keberanian kamu. Berbicara seenaknya tentang singa, di depan kandang singa sendiri." Suara Pak Andreas, mengagetkan mereka berdua.
Vaya menormalkan raut wajahnya. Sedangkan Yana, masih syok melihat Pak Andreas yang menatapnya nyalang, seakan ingin memangsanya.
"Kenapa Kayana? Tiba-tiba bisu? Mana suara lantang kamu tadi, hm?"
"An ... anu Pak, anu ... Bapak," Yana tidak mampu meneruskan perkataannya, seakan-akan ia terbenam di dalam netra gelap milik Pak Andreas.
"Anu saya kenapa Kayana?" tanya Pak Andreas, dengan mengerutkan keningnya.
"Anu Pak ... ehm maaf Pak, bukan anu tapi itu ... anu ...."
Pak Andreas menyeringai puas, menatap ketidakberdayaan siswi badungnya itu.
"Lagi-lagi anu saya ya, ada apa dengan anu saya Kayana?"
"Bukan Pak bukan, saya minta MAAF!" Dengan spontan Yana membungkukkan tubuhnya, sambil berteriak mengatakan maaf.
Vaya yang seakan tidak ada di antara merekapun, hanya menghela napas berat. Melihat kedua insan ini, seakan melihat seekor kelinci yang tengah disudutkan oleh singa yang kelaparan.
"Permintaan maaf kamu tidak bisa diterima."
Yana menatap Pak Andreas, dengan wajah yang sulit diartikan.
"Masuk," Pak Andreas memutar tubuhnya, lalu berjalan masuk ke dalam ruangannya.
Melihat Yana yang masih terdiam, membuat Vaya menarik tangan Yana, agar masuk ke dalam ruangan Pak Andreas.
Sepuluh menit kemudian, akhirnya mereka keluar dari ruangan Pak Andreas. Vaya keluar dengan wajah datar, sedangkan Yana menekukkan wajah ke bawah.
"Udahlah Yan, terima aja." tutur Vaya, sambil menepuk bahu Yana pelan.
"Iya," balas Yana lirih.
Vaya yang melihat sahabatnya itu, malah terkekeh pelan. Yana memang gadis yang unik dengan segala tingkah lakunya.
Akhirnya mereka sampai di tempat tujuan, karena saat di ruangan Pak Andreas tadi, adzan Dzuhur berkumandang.
Setelah menunaikan ibadah, mereka melangkahkan kaki menuju perpustakaan.
Karena Yana di beri peringatan oleh Pak Andreas, untuk membuat rangkuman semester 5 kemaren, di semua mata pelajaran jurusan IPA.
"Aduh Vay, kenapa nasib aku apes banget ya, udah jatuh ketimpa tangga pula." Yana mendudukkan dirinya di salah satu bangku.
"Kapan kamu jatuh Yan? Ketimpa tangga dimana? Kamu gapapa kan? ada yang luka?" Pertanyaan beruntun dari Vaya membuat Yana menghela napas panjang.
Sahabat barunya ini polos atau sengaja bergurau dengannya? Sudah jelas itu perumpamaan, bukan kenyataan.
"Kenapa kamu jadi lola gini Vaya ku, itu perumpamaan."
Vaya hanya bergumam sebagai tanda bahwa ia mengerti.
"Bantuin cariin bukunya dong Vay." pinta Yana, sambil memelas.
"Hm ... biar aku yang cari di sebelah sana, dan kamu di sini." Tanpa menunggu balasan Yana, Vaya melangkahkan kaki menuju rak bagian pojok.
Tubuhnya hilang di balik rak-rak yang menjulang tinggi, karena tinggi Vaya hanya setengah tinggi rak tersebut.
Ketika netranya menangkap buku yang dicarinya, gadis itu menjinjitkan kakinya berharap bisa menggapai buku tersebut. "Duh ... kenapa harus setinggi itu sih!?"
Dengan segala usaha yang di lakukan Vaya, mulai dari menjinjit, sampai melompat. Tetap saja tidak membuahkan hasil.
Hingga satu ide yang tiba-tiba terlintas dalam pikirannya, ia menginjakkan kakinya pada rak bagian bawah, lalu menaikkannya pada rak di atasnya.
Baru sebentar gadis itu menarik bibirnya melengkung, karena tubuhnya berada sedikit lebih dekat dengan buku yang dicarinya.
Tiba-tiba rak yang di pijaknya bergoyang, ke arahnya. Ia memejamkan mata, namun ada satu tangan yang menarik pinggangnya cepat, dan satu tangan lagi menahan rak agar tidak terjatuh menimpanya.
Dada Vaya bergemuruh, bahkan ia bisa mendengar suara debaran jantungnya.
Ketika ia merasakan hembusan napas pada kerudung bagian atasnya, barulah ia tersadar ada tangan kekar yang melingkar di perutnya.
Vaya melepaskan diri dari tangan itu, lalu menatap nyalang si pelaku.
Seketika amarah Vaya membuncah, "kenapa lo pegang-pegang gue!?"
Laki-laki itu menyeringai, dan menatap Vaya penuh arti.
"Terimakasih," ucap laki-laki itu singkat.
Vaya mengerutkan keningnya, gadis itu menatap laki-laki di depannya dalam diam, tanpa berniat mengeluarkan suaranya.
"Seharusnya lo ngucapin makasih ke gue, bukan malah marah-marah."
"Ga penting," ketus Vaya kesal dan berlalu melangkahkan kakinya.
Tidak tinggal diam, laki-laki itu menarik tangan Vaya sedikit kencang, dan membuat gadis itu membentur dadanya.
"Apa-apaan sih, lepas!" Vaya meninggikan suaranya sedikit, sambil berusaha melepaskan cekalan pada pergelangan tangannya.
"Nih, kelupaan." ucapnya sambil menghadapkan buku yang bertuliskan SAINS tepat di wajah Vaya.
Gadis itu terdiam sebentar, tanpa aba-aba ia mengambil buku yang ada di hadapannya, menggunakan tangan kirinya. Secepat kilat ia menyentak cekalan tangan itu, dan berlari kecil meninggalkan laki-laki yang termangu sesaat, karena tindakannya barusan.
"Hahaha ... menarik, benar-benar di luar dugaan, Lavanya." gumamnya sambil mengembangkan senyumnya, dan terkekeh pelan ketika mencium dan mengecup telapak tangannya, yang habis mencekal tangan gadis itu.
To Be Continued.
Salam Hangat🌹
Luviasalsabila
KAMU SEDANG MEMBACA
SAINS & SOS [✓]
Fiksi Remaja[ DISARANKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] ••• "Gue fobia sama anak IPS!" "Kenapa lo fobia sama gue?" "Lo siapa?" "Gue fobia lo." "Lo anak IPS?!" "Kenapa lo alergi anak IPS?!" "Bukan urusan lo!" "Ini urusan gue, karena gue anak IPS." "GUE BAKAL BIK...