Jantung Vaya berdegup sangat kencang, padahal tidak ada yang perlu ia khawatirkan bukan? Di kelas ini ada Yana yang dipercayanya, dan laki-laki tadi yang tengah menatapnya datar.
Bukan apa-apa, tapi ia merasa sedikit lega karena penuturan laki-laki itu. Tapi kenapa jantungnya masih berdetak kencang? Apakah ia akan kambuh lagi? Dan berakhir dengan pengobatan seperti dulu lagi?
Tidak! Vaya tidak menginginkan itu.
Setelah menormalkan detak jantungnya, Vaya mengambil buku kehadiran, berniat untuk mengabsensi murid di kelas ini.
"Aldhito Mahesa Nugraha,"
"Gue!" Terdengar suara berat yang tidak asing di telinganya, lalu ia menolehkan wajahnya ke arah pintu, matanya terkunci oleh mata hitam gelap itu.
Kontak mata mereka terputus, karena laki-laki itu melangkahkan kaki menuju bangkunya, lalu duduk tepat di depan laki-laki yang membelanya tadi.
Vaya baru ingat, ternyata dia laki-laki yang selalu membuat dirinya risih, kenapa Vaya melupakan hal itu? Ini kelasnya, otomatis Vaya akan bertemu dengannya seminggu full? Astaga apalagi ini.
"Aldzamar Kenzi,"
Oh, ternyata dia yang membela Vaya tadi.
Vaya melanjutkan absensi, "Aldzamar Kenzo."
Gadis itu mengerutkan keningnya, mengapa nama mereka sama persis? Cuma beda satu huruf di belakangnya saja.
Netranya menatap laki-laki yang tengah mengangkat tangan, betapa terkejutnya Vaya. Mereka berdua sangat mirip, bahkan tidak ada yang bisa dibedakan antara mereka, mungkin.
Namun keterkejutan Vaya hanya sebentar, ia melanjutkan absensi sampai akhir. Ternyata semua murid di kelas ini, hadir pada tambahan pelajaran sore ini.
Ia pikir, tidak akan ada yang mengikuti tambahan pelajaran, karena menurutnya anak IPS tidak ada yang serius untuk masa depan mereka.
Setelah menerangkan materi, Vaya memberikan beberapa soal, lalu ia mendudukkan dirinya di kursi guru.
Vaya tidak baik-baik saja saat ini, ia berusaha tetap tenang dihadapan semua orang, di dalam hati dan pikirannya bertolak belakang dengan semua itu.
Ia berusaha agar tidak kambuh, karena takut akan dianggap aneh oleh oranglain. Jika semua orang tau fobianya, bisa-bisa dia akan diremehkan, bahkan lebih parah dia akan di buli.
Tidak, Vaya tidak mau!
Namun ia dikagetkan dengan sebotol minuman di depannya, Vaya mendongakkan wajahnya.
Seketika ia duduk dengan kaku. Kenapa laki-laki itu, suka sekali mengganggu ketenangan dirinya?
"Minum, lo banyak pikiran kayaknya." Penuturan Dito, membuat Vaya mengalihkan wajahnya ke samping.
"Gue ga haus," tolaknya sedikit ketus.
"Gue ga bilang kalau lo haus kok, lo butuh aqua supaya bisa fokus."
Dito mendekatkan wajahnya ke telinga Vaya, dan membuat jantung Vaya berdetak kencang, "lo jelek kalau lagi bengong."
Ingin rasanya Vaya mengumpat dan mencela Dito saat ini juga, namun jantungnya malah berdetak sangat kencang. Tanpa sadar, ia mengambil dan membuka segel air mineral itu, lalu menegaknya dengan cepat.
Dito yang masih berada di dekat Vaya, menarik ujung bibirnya tipis.
"Ga perlu minum secepat itu, ga ada yang minta kok." Perkataan Dito yang disertai kekehan di akhir kalimatnya, membuat Vaya hampir tersedak.
Ia merutuki dirinya, bisa-bisanya ia meminum pemberian laki-laki di sampingnya ini.
Dadanya bergemuruh, kenapa jantungnya bisa bereaksi seperti ini hanya karena laki-laki ini?
Vaya bisa pastikan, sebentar lagi ia akan kambuh dan berakhir dengan kegelapan lagi. Namun beberapa menit kemudian, ia tidak merasakan kepalanya sakit, maupun ingatan-ingatan masa lalu yang bermunculan.
Tapi, ia malah merasakan pipinya menghangat, dan perutnya yang seakan kembung.
Entahlah Vaya tidak bisa mendefinisikannya.
Bahkan ia tidak sadar, Dito telah kembali di tempat duduknya.
"Apa-apaan sih tu cewek!"
"Kok gue kesal ya?"
"Maksudnya dia apa coba?"
"Keganjenan banget sih jadi orang."
"Masa Dito kepincut sama cewek itu sih!?"
"Kalian kayak ga kenal Dito gue aja sih, dia kan kalau penasaran sama sesuatu pasti dia cari tau, jadi ga usah mikirin hal-hal yang ga mungkin terjadi deh, sampai kapanpun Dito cuma milik gue, Bela."
Penuturan gadis yang berpakaian serba mini itu membuat Vaya meliriknya sekilas, maksud ia apa coba bicara seperti itu?
Sedangkan Dito yang merasa namanya dibawa-bawa malah menatap Vaya intens.
"Ga habis pikir gue, emang gibah seenak apaan sih Dit? Kok anak-anak cewek hobi banget ngomongin orang, ga tanggung-tanggung di depan orangnya sekalian." Kenzo tiba-tiba mengeluarkan suaranya, dengan suara keras tentunya.
Dito terkekeh pelan, dia tahu sahabatnya ini tidak suka ada orang yang merendahkan orang lain di depannya. Tapi jika dirinya yang merendahkan orang lain tidak masalah, egois bukan?
"Untung lo cowok ya Zo, kalau cewek mungkin udah sama kayak mereka."
"Amit-amit deh gue, udahlah bibir merah kayak cabe, bedak tebal kayak kunti, kuku panjang kayak mak lampir, rambut jingga kayak tai, trus itu juga pamer badan buat apa mba? Mau jual badan? jual organ aja sekalian!"
Jika ada lomba menghina, Kenzo lah pemenangnya. Karena ketika dia tidak suka dengan sesuatu, selamanya dia tidak akan pernah suka. Begitupula sebaliknya.
Jadi hati-hati dengannya, dibalik sikapnya yang humoris terdapat sifat agresif di dalamnya.
"Bener banget Zo, mereka pikir cantik apa dengan penampilan mereka yang ga lebih baik dari ondel-ondel? Jangankan gue, Ucup aja ga akan ngelirik mereka."
Dito dan Kenzo adalah pasangan yang cocok untuk merendahkan orang.
Ucup yang merasa namanya terbawa-bawa, menatap Dito dari balik kacamata tebalnya. Lalu melirik ke arah sekelompok gadis di belakangnya, mengedikkan bahunya sambil memasang wajah jijik, lalu dia kembali menghadap ke depan.
Melihat tanggapan Ucup membuat semua yang ada di kelas tertawa keras, ada yang memukul meja, memukul pahanya, bahkan memukul bahu temannya. Kecuali Vaya, dan Yana tentunya.
Sedangkan yang ditertawakan, merenggut kesal menahan emosinya.
Apa ia sanggup lima hari lagi di sini?
Melihat pembulian seperti ini saja, membuat gadis itu berkeringat dingin.
Bahkan tangannya telah bergetar hebat sedari tadi, ia paham bahwa inilah resiko jika harus berdekatan dengan anak IPS, benar-benar tidak ada yang beres.
Jantungnya berdetak sangat kencang, ia yakin lima hari ke depan, ia tidak akan tenang. Apalagi melihat tatapan sekelompok gadis yang menatapnya nyalang.
Vaya sangat tahu akan tatapan itu, tatapan yang sama seperti di masa lalunya. Apa tragedi itu akan terjadi lagi? Tidak, Vaya tidak akan membiarkan itu terjadi, tidak akan.
To Be Continued
Salam Hangat🌹
Luviasalsabila
KAMU SEDANG MEMBACA
SAINS & SOS [✓]
Fiksi Remaja[ DISARANKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] ••• "Gue fobia sama anak IPS!" "Kenapa lo fobia sama gue?" "Lo siapa?" "Gue fobia lo." "Lo anak IPS?!" "Kenapa lo alergi anak IPS?!" "Bukan urusan lo!" "Ini urusan gue, karena gue anak IPS." "GUE BAKAL BIK...