Setelah kepergian Dito dari rumahnya, Vaya masih berdiri mematung di depan pintu sambil memegang dadanya kuat, jantungnya masih berdetak kencang.
Ada apa dengan dirinya?
Jika dulu jantungnya berdegup kencang karena perasaan takut, sekarang berbeda. Perasaan seperti ini, perasaan ketika kamu memakan coklat dari pemberian orang yang spesial.
Eh spesial? Dito spesial?
Vaya menggelengkan kepalanya cepat.
Apa yang barusan terlintas dipikirannya? Ini gila! Tidak seharusnya ia berfikir seperti itu.
Vaya tidak ingin mengambil resiko lagi, cukup dulu jadi yang pertama dan terakhir ia merasakan sakit yang amat sangat. Tidak untuk sekarang maupun yang akan datang.
Vaya menghela napas berat, dan berlalu masuk ke dalam rumahnya.
Keesokan harinya...
"Engh ... Ma ... Aya masih ngantuk." erang Vaya karena tidurnya terganggu.
"Lima menit lagi Ma," gumam Vaya sambil menarik kembali, selimutnya yang semula di tarik seseorang.
Vaya merasakan benda kenyal di pipinya, satu kali, dua kali, tiga kali, bahkan berkali-kali.
Vaya mengernyitkan dahinya.
Benda apa ini? Kenyal, dan basah seperti ... kecupan? Eh?
Vaya mendudukkan dirinya di ranjang, lalu memaksa membuka matanya.
Vaya menatap kosong manik mata yang sama persis dengan dirinya, satu detik, dua detik, hingga sepuluh detik. Barulah Vaya tersadar, gadis itu melebarkan matanya, lalu berteriak. "KYAA ... Abang!"
Vaya menubruk laki-laki di depannya, sehingga ia duduk di atas paha laki-laki yang ia panggil abang tadi. Tangan Vaya memeluk erat lehernya, dan kedua kakinya melingkari pinggang laki-laki itu.
Laki-laki yang mendapatkan serangan mendadak dari adik satu-satunya itu pun terkekeh geli, ternyata princess kecilnya tidak pernah berubah, sejak dulu selalu manja dengan dirinya.
Dia mengelus rambut lurus adiknya sayang, dan mengecup berkali-kali pucuk rambut Vaya.
Vaya melepaskan pelukannya, lalu menatap abangnya cemberut. "Abang kenapa ga bilang ke Aya kalau pulang? Aya kan bisa jemput Abang di bandara, trus kenapa akhir-akhir ini Bang Tama ga ngehubungi Aya? Udah lupa sama Aya? Ga sayang lagi sama Aya? Apa di sana Abang dapet bule yang cantik trus ...,"
Tama meletakkan telunjuknya di bibir Vaya, "kamu makin cerewet ya."
"Ihhh ... Abang ... Aya itu kangen, sekaligus kesal sama Abang tau ga!" teriak Vaya sendu dan kesal sekaligus.
Tama menatap adiknya sayang, "biar surprise Dek, maafin Abang ya?"
Vaya mengerucutkan bibirnya, apapun itu alasan abangnya, ia telah bertekad untuk mendiamkan abangnya ini.
"Aya princessnya, prince Tama senyum dong, nanti Abang kabulkan semua permintaan Aya hari ini." bujuk Tama memasang wajah memelas.
Vaya menelan salivanya susah payah.
Kenapa tidak? Penawaran dari abangnya sangat menggiurkan bukan?
Senyum Vaya pun terbit, lalu menatap wajah abangnya yang sangat tampan itu. Walau dengan ekspresi memelas seperti sekarang, tidak mengurangi kadar ketampanannya.
Abangnya memiliki hidung yang mancung, alis tebal, bibir terbelah, sinar mata yang tajam, dan rahang yang tegas, benar-benar perfect.
Vaya mengacungkan jari kelingkingnya di depan wajah Tama, "janji ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SAINS & SOS [✓]
Teen Fiction[ DISARANKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] ••• "Gue fobia sama anak IPS!" "Kenapa lo fobia sama gue?" "Lo siapa?" "Gue fobia lo." "Lo anak IPS?!" "Kenapa lo alergi anak IPS?!" "Bukan urusan lo!" "Ini urusan gue, karena gue anak IPS." "GUE BAKAL BIK...