"Yana, aku mau nagih janji kamu," ucap Vaya sambil tersenyum tipis.
Yana yang tengah mengemil sambil menonton film India, menolehkan kepalanya menatap Vaya sebentar. "Janji apa Vay?"
"Kalau aku bantuin kamu nyari orang yang kamu tabrak, kamu bakalan nurutin semua kemauan aku. Ingat?" Penuturan Vaya membuat Yana menghentikan aktivitasnya.
Gadis itu menganggukkan kepala, tanda mengerti. "Kamu mau apa?"
"Aku mau ke rumah kamu, sekalian nginap." Yana mengerutkan dahi, lalu menghela napas sebelum menganggukkan kepalanya lagi.
"Ke rumah Nenek aku ya," balasnya singkat.
"Maksudnya?" tanya Vaya bingung.
Setelah menghela napas lagi, Yana merebahkan tubuhnya di ranjang Vaya, sambil menatap kosong langit-langit kamar.
"Aku tinggal sama Nenek, ga sama Mama Papa." Penuturan Yana melemah, ketika mengucapkan dua kata terakhir.
Vaya ikut merebahkan tubuhnya di samping Yana, "kamu gapapa Yan?"
"Engga Vay, aku gapapa, lagian udah biasa kok." Penuturan Yana yang ambigu, membuat Vaya berfikir keras.
Gadis di sampingnya, sepertinya sedang tidak baik-baik saja.
"Sejak umur tujuh tahun aku tinggal bareng Nenek, aku terlalu biasa tanpa mereka. Yaudah yuk ... ke rumah Nenek!?" Tiba-tiba Yana bangkit dan menarik tangan Vaya semangat, ekspresi Yana sangat cepat berubah, bahkan sekarang gadis itu tersenyum merekah.
"Serius gapapa?" tanya Vaya meyakinkan.
"Gapapa, aku malah mikir kamu minta yang engga-engga. Kayak ngejauhin kamu, atau berhenti jadi sah ...."
Vaya memotong perkataan Yana, sambil memasang wajah datar, "apasih!"
"Bercanda doang Vay ... maaf ya Vaya ...," bujuk Yana sambil memaju-mundurkan kedua bahu Vaya.
Vaya merotasi matanya lalu berdecak, "iya-iya, awas."
"Hehehe ... sayang Vaya," Vaya mengeluarkan ekspresi seakan ingin muntah, mendengar nada suara Yana yang dilembut-lembutkan.
Setelah berpamitan kepada mama Yuri, untuk menginap di rumah Yana. Vaya mengambil beberapa keperluannya untuk di sana.
Sesampainya di depan rumah bergaya clasik, Yana keluar lebih dulu membukakan pagar bercat putih itu. Lalu mobil Vaya, mendarat sempurna di pekarangan rumah bergaya clasik yang cukup luas itu.
"Ini beneran rumah Nenek kamu Yan?" tanya Vaya memastikan.
Gadis itu sangat tidak percaya dengan apa yang tengah ia lihat, dari luar rumah ini terlihat hanya bergaya clasik biasa. Karena pagar yang menjulang tinggi, membuat interior rumah itu tertutup.
Ternyata rumah ini sangat megah, dan antik karena kesan clasiknya.
Yana terkekeh melihat ekspresi Vaya yang sangat lucu menurutnya, "kaget ya?"
Vaya mendengus kesal, lalu mengikuti Yana masuk.
Lagi-lagi Vaya dibuat ternganga, kenapa tidak? dari luar, rumah ini terlihat satu tingkat, namun di dalam ternyata tiga tingkat. Jangan lupakan ukiran, serta lukisan abstrak yang sangat menarik minat itu.
"Tutup mulut Vay, iler kamu tuh." goda Yana, sambil terbahak-bahak.
Reflek Vaya meraba mulutnya, lalu ia berdecak kesal. "Apaan!? Ga ada iler kok," Yana menyengir lalu menangkupkan tangan di dada.
"Kita kedatangan tamu toh, kenapa ga disuruh duduk atuh Ya?" Suara lembut dan ayu itu, membuat mereka mengalihkan wajahnya ke sumber suara.
"Nenek," Yana mendekati wanita itu lalu memeluknya, sedangkan Vaya dibuat ternganga, lagi.
Kenapa tidak?
Vaya pikir nenek Yana itu sudah sangat tua, rambut memutih, kulit keriput, dan punggung yang bungkuk. Tapi tidak, walau wajahnya sudah terlihat berumur, namun berbeda dengan kulitnya yang masih kencang, tubuh yang segar bugar, dan jangan lupakan rambut yang hanya sedikit memutih.
Sudah berapa kali, Vaya menganga hari ini?
"Kenalin Nek, sahabat Yaya. Lavanya Yurindra, anak Om Indramayu dan Tante Ayuri Lestari, dan cal ...,"
"Panggil Vaya aja Nek," potong Vaya cepat. Karena ia sangat yakin, perkataan Yana akan melenceng nantinya.
"Nenek senang banget, Yaya ngajak teman ke rumah. Habisnya ... setiap Nenek minta bawa teman, pasti ga pernah dituruti. Nenek pikir, Yaya ga punya teman dan ...."
"Yaya punya teman Nek, Vaya buktinya." potong Yana, sambil mengerucutkan bibirnya cemberut.
"Gitu aja ngambek, dasar. Ya udah sana, ajak Vaya ke kamar kamu, nanti turun ya kita makan bareng."
"Iya Nek, kita ke atas dulu."
Lagi lagi Vaya dibuat ternganga, kenapa tidak?
Kamar Yana sangat feminin, berbanding terbalik dengan sifatnya yang urakan.
"Kamu jangan kaget Vay, aslinya aku emang gini." Yana terkekeh lagi, ketika menatap Vaya yang membelalakkan mata.
Benar-benar menggemaskan.
"Kamu penuh kejutan ya Yan, aku juga baru sadar kalau kamu dipanggil Yaya sama nenek kamu. Trus, kamu ternyata anak orang kaya ya, berbanding terbalik sama penampilan kamu saat di sekolah maupun di rumah aku. Kamar kamu sangat feminin, berbeda dengan sifat kamu yang urakan, dan tomboy."
Yana menatap Vaya dengan tatapan penuh arti, "ini baru seperempat dari kenyataan tentang aku Vay, kalau kamu tau keseluruhan tentang aku, bisa aja kamu ...."
"Apa Yan? Aku ga dengar, suara kamu makin pelan." protes Vaya, sambil mendekatkan dirinya ke Yana.
"Eh? Emang aku ngomong apa sih tadi? Lupa Vay hehe ...," balas Yana sambil menggaruk tengkuknya tak gatal.
Vaya memukul pelan lengan Yana, sambil menggeleng tak percaya.
Bisa-bisanya Yana lupa? Yang benar saja.
Ketika Yana memasuki kamar mandinya untuk membersihkan diri, Vaya merebahkan tubuhnya di ranjang Yana. Netranya tidak sengaja menangkap bingkai foto, di atas nakas sebelah ranjang.
"Foto keluarga ya?" gumam Vaya pelan, sambil memperhatikan foto yang sedikit buram.
Gadis kecil yang berada di sebelah kanan laki-laki dewasa itu adalah Yana, karena rambut sebahunya agak bergelombang. Sedangkan gadis kecil yang seumuran Yana, yang berdiri di samping kiri wanita dewasa itu, siapa? Vaya mengerutkan keningnya.
"Sepertinya gadis ini tidak asing? Pernah lihat dimana ya?" tanya Vaya sambil mengusap, tepat pada wajah gadis berambut lurus sepunggung itu, berharap dapat melihat wajahnya. Namun tidak berpengaruh sedikitpun, karena fotonya memang buram, dan ditutupi kaca, jadi percuma saja di gosok.
"Vaya," suara Yana membuat Vaya gelagapan.
Padahal ia tidak melakukan hal apapun yang memasuki privasi Yana bukan? Tapi kenapa ia merasa tidak enak ketika ketahuan memegang bingkai foto ini.
Dengan hati-hati ia meletakkan kembali bingkai foto itu ke tempat semula, lalu memutar badannya menatap Yana. "Iya, kenapa Yan?"
Sesaat Vaya melihat mata Yana menajam melihat bingkai foto yang dipegang Vaya tadi, lalu beralih menatapnya lembut. "Kamu duluan ke bawah sana, Nenek udah nyiapin makanan khusus buat kamu katanya."
"Oh ... oke, ga bareng aja ke bawah nih?" ajak Vaya.
"Duluan aja, aku mau ngeringin rambut dulu bentar," tolak Yana sambil mengambil hair dryer.
Vaya mengangguk mengiyakan, lalu melangkahkan kaki keluar kamar. Tidak lama setelah Vaya meninggalkan kamar, Yana pun bangkit lalu meletakkan hair dryer ke tempat semula. Gadis itu melangkahkan kaki, menuju nakas di dekat ranjangnya.
Tangannya mengambil bingkai foto tadi, dan meletakkannya ke dalam laci nakas lalu ia kunci. "Hft ... hampir saja."
Gadis itu berjalan meninggalkan kamarnya, menyusul Vaya ke bawah.
To Be Continued
Salam Hangat🌹
Luviasalsabila
KAMU SEDANG MEMBACA
SAINS & SOS [✓]
Teen Fiction[ DISARANKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] ••• "Gue fobia sama anak IPS!" "Kenapa lo fobia sama gue?" "Lo siapa?" "Gue fobia lo." "Lo anak IPS?!" "Kenapa lo alergi anak IPS?!" "Bukan urusan lo!" "Ini urusan gue, karena gue anak IPS." "GUE BAKAL BIK...