Vaya menjatuhkan wajahnya di antara lipatan tangannya yang berada di atas meja.
Tepukan pada bahunya, membuat gadis itu mengangkat wajahnya.
"Kamu gapapa, Ay?" tanya Bila sambil duduk di sebelah Vaya.
Gadis itu menggeleng pelan. "Gapapa kok, Bil. Cuma kurang tidur aja."
Bila menganggukkan kepalanya.
"Kamu yakin kan, bisa main basket?"
Vaya mengangguk ragu. "Cuma aku yang belum ikut. Mau ga mau, ya, aku harus ikut serta kan."
Bila menghela napas panjang. "Aku dapat kabar, kalau Yana masuk rumah sakit."
"Ke-kenapa?" tanya Vaya khawatir.
"Kurang tau Ay, soalnya ga ada yang tau kabar dia."
Bila mengalihkan pandangannya, menatap papan tulis.
"Aku pikir kita udah sahabatan, tapi kenapa masih ada tembok tak kasat mata di antara kita ya?" tutur Bila sambil tertawa sumbang.
Vaya meringis mendengar penuturan gadis itu.
Apa yang dikatakan Bila sepenuhnya, adalah benar. Terlalu banyak jarak, dan batasan di antara mereka.
"Aku ingin kita saling terbuka, dan bicara dari hati ke hati. Tapi ... rasanya mustahil ya, Ay." Bila beralih menatap Vaya lurus.
"Kamu anggap aku sahabat kan, Ay?" Tidak lama setelahnya gadis itu tertawa pelan. "Maaf ya, aku malah seenaknya ngeklaim kalian sebagai sahabat aku."
Vaya menggeleng, lalu menggenggam tangan Bila.
"Maafin aku ya, Bil. Ini semua gara-gara aku. Jika aja, aku ga terlalu berlebihan dengan trauma yang aku miliki. Tentunya masa-masa SMA kita, ga akan begini. Lebih tepatnya masa SMA aku." tutur Vaya sedih.
Bila mengelus punggung tangan Vaya, dengan tangannya yang menganggur.
"Ini semua takdir, Ay. Kita hanya bisa berusaha, dan berdoa. Sedangkan penentu segalanya hanya, Tuhan."
"Kamu udah ngerasa baikan sekarang kan, Ya?" tanya Bila.
Vaya mengangguk. "Makasih ya Bil, makasih ... banyak. Kamu masih mau menjadi teman aku, disaat aku masih ragu sama kamu dan yang lainnya."
"Gapapa kok, Ay. Aku ngerti kok gimana rasanya jadi kamu. Karena semua orang pasti punya masalah, yang tentunya berbeda-beda. So, it's okay. Ga usah terlalu dipikirkan."
"Tapi Yana," ucap Vaya sambil menghela napas gusar. "Apa Yana membenci aku, Bil?" tanyanya kembali, khawatir.
"Entahlah Ay, aku kurang tau. Tapi menurut penglihatan aku, Yana ga akan membenci kamu. Dia begitu tulus berteman dengan kamu, Ay. Dan aku yakin, sekarang pun dia tengah memikirkan kamu. Apa kamu udah maafin dia, atau kamu malah membenci dia." tutur Bila dengan senyuman lebarnya.
Vaya menatap Bila lega. "Semoga ya, Bil. Semoga ... apa yang kamu katakan semuanya terwujud. Aku benar-benar terlalu jahat sama Yana, selama ini."
Bila menganggukkan kepalanya, sambil mengaminkannya.
"Semua orang pernah berbuat salah, jadi kamu ga perlu ngerasa bersalah terus-menerus, Ay. Yang terpenting sekarang, kamu udah percaya kan sama kita?"
Vaya tersenyum hangat, sambil mengangguk.
Bila terkekeh pelan. Lalu tatapannya berubah menjadi ingin tau, ketika Vaya masih melebarkan senyumnya.
"Kayaknya ada bau-bau kebahagiaan nih, hayo bahagia dalam rangka apa ini?" goda Bila sambil mencolek lengan Vaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAINS & SOS [✓]
Teen Fiction[ DISARANKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] ••• "Gue fobia sama anak IPS!" "Kenapa lo fobia sama gue?" "Lo siapa?" "Gue fobia lo." "Lo anak IPS?!" "Kenapa lo alergi anak IPS?!" "Bukan urusan lo!" "Ini urusan gue, karena gue anak IPS." "GUE BAKAL BIK...