"Thanks ya, Za." ucap Vaya sambil menyerahkan helm pada Reza.
Reza menganggukkan kepalanya, lalu mengambil helm tersebut.
"Iya, sama-sama."
"Mau mampir dulu?" tanya Vaya basa basi.
"Lain kali deh, sekalian minta hati lo." tutur Reza sambil meletakkan helm yang dipakai Vaya tadi di depannya.
Vaya menatap Reza canggung. "Iya-iya, hati ayam rica-rica di Rajanya Ayam."
Reza tersenyum tipis, lalu menghidupkan mesin motornya.
"Gue pulang dulu, jangan kangen." ucap Reza sambil menaikkan kaca helm full face nya.
Vaya mendengkus, lalu melambaikan tangannya.
"Hati-hati!" teriak Vaya ketika Reza menggas motornya.
Reza memutar kepalanya, menghadap ke belakang.
Laki-laki itu menganggukkan kepalanya, sambil membalas lambaian tangan gadis itu.
Vaya memutar tubuhnya, lalu melangkahkan kaki memasuki rumahnya.
"Pulang sama siapa?" tanya Tama sambil menatap Vaya tajam.
Vaya menelan salivanya susah payah, yang terasa kering tiba-tiba.
"Em-- itu, sama teman Bang."
"Laki-laki?"
Vaya menganggukkan kepalanya pelan.
Semenjak kejadian di masa lalu, Tama sangat over protective dengannya. Namun, Indra membuat Tama mau tidak mau melanjutkan pendidikan di negri orang.
"Kamu lupa sama yang Abang bilang dulu, Dek?" tutur Tama sambil melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.
Vaya ikut menyusul Tama, gadis itu berada satu langkah di belakang Tama.
Tama sangat jarang memanggilnya dengan sebutan dek. Itulah makanya Vaya menatap abangnya was-was.
"Maaf, Bang." ucap Vaya sambil menghentikan langkahnya, ketika Tama tiba-tiba menghentikan langkah.
Sekarang mereka berada di ruang tamu.
Tama tidak merubah posisinya, dia masih membelakangi Vaya.
Helaan napas terdengar di indera pendengaran Vaya.
"Abang ga butuh maaf, yang Abang butuhin penjelasan dari kamu. Apa kejadian di masa lalu, ga bikin kamu kapok?"
Penuturan Tama yang terdengar tenang, namun membuat Vaya terisak.
Dia tidak menyukai abangnya yang begini, biarlah laki-laki itu memarahinya.
"Aya ...." Vaya tidak sanggup mengeluarkan suaranya. Karena rasa sesak di dadanya, membuatnya semakin terisak.
Tama memutar tubuhnya, lalu mendekap Vaya sambil mengelus punggung gadis itu yang naik turun.
"Maaf, Abang ga bermaksud bikin kamu nangis. Tapi, Abang ga mau kamu kenapa-kenapa, Ay."
Vaya memeluk Tama tak kalah eratnya.
"Maafin Aya, Bang. A-aya ...."
Tama mengecup pucuk kepala Vaya, lalu mengelus kepala belakang adiknya.
"Jangan nangis, Ay."
Vaya semakin menenggelamkan wajahnya di dada bidang Tama.
Yuri yang baru saja menuruni anak tangga, menatap bingung kedua anaknya yang saling berpelukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAINS & SOS [✓]
Подростковая литература[ DISARANKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] ••• "Gue fobia sama anak IPS!" "Kenapa lo fobia sama gue?" "Lo siapa?" "Gue fobia lo." "Lo anak IPS?!" "Kenapa lo alergi anak IPS?!" "Bukan urusan lo!" "Ini urusan gue, karena gue anak IPS." "GUE BAKAL BIK...