Sedari tadi, gadis itu berdecak sambil menghela napas berat.
Laki-laki di depannya ini, benar-benar tidak memiliki akal pikiran.
"Pergi!" sentak Vaya sambil menatap Dito tajam, untuk ke sekian kalinya.
Karena ketika ia membuka matanya, wajah Dito tepat beberapa senti di depannya.
Vaya mendorong wajah Dito kuat, namun laki-laki itu malah dengan santainya duduk kembali di kursinya, sambil menaikkan sebelah kakinya di atas paha kirinya.
Sedangkan Dito, masih tetap mempertahankan senyumnya. Memperlihatkan deretan giginya yang rapi.
"Cantik banget sih, gadisnya Dito."
Vaya memasang wajah, ingin muntah.
"Lo benar-benar ga ngerti bahasa manusia ya!?" ucap Vaya sambil menunjuk Dito tepat pada wajahnya.
Dito menurunkan telunjuk Vaya, lalu dia kecup telapak tangan Vaya.
"Jangan marah-marah, kamu makin cantik soalnya."
Gadis itu menarik kasar tangannya sambil berdecak.
"Kamu lapar ga? Mau makan apa? Obat udah di minum kan? Atau kamu mau apa gitu?"
Vaya membola matanya. "Gue mau lo pergi!"
"In your dream, Dear. Mana mungkin aku ninggalin kamu sendirian." tolak Dito, menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, sambil mengangkat dagunya tinggi-tinggi.
"Dulu lo ninggalin gue ga masalah tuh," remeh Vaya.
"Aku punya alasan," balas Dito enteng.
Gadis itu menatap Dito tajam. "Gue ga peduli!"
"Yakin ga peduli? Aku tau ... kamu ingin tau, tapi batu sih jadi perempuan." ledek Dito, sambil menarik sudut bibirnya menyeringai.
Vaya berdecak kesal. Ingin rasanya menimpuk wajah jelek itu dengan tiang infusnya.
"Janji dulu sama aku," ucap Dito dengan wajah serius.
Vaya mendiamkan Dito. Mengabaikan laki-laki itu.
"Yakin ga mau dengar semuanya?"
Gadis itu masih tetap dengan pendiriannya. Mengabaikan keberadaan Dito tentunya.
"Ya udah, aku pulang." ucap Dito lalu bangkit dari duduknya.
"Eh ... jelasin dulu, Dito! Ga bertanggung jawab banget sih lo jadi cowok!" teriak Vaya kesal.
Dito terkekeh pelan, lalu kembali duduk dengan tenang. "Digertak dulu, baru nurunin gengsi."
"Ya udah, pergi sana." ucap Vaya sambil merebahkan tubuhnya, lalu memiringkan tubuhnya membelakangi Dito.
"Yah, Sayang ... jangan ngambekan dong. Nanti malah makin cantik, kan aku juga yang gemas," rengek Dito.
Vaya mengabaikan tingkah Dito yang sangat berlebihan itu.
Dito menarik lengan Vaya tiba-tiba, membuat Vaya kembali menghadap Dito.
Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti, bahkan deru napas keduanya saling menerpa.
"Napas Sayang," bisik Dito sambil menyeringai.
Vaya mengerjabkan matanya, lalu membelalakkan mata, sambil mendorong Dito dari hadapannya.
Vaya berdecak malu, dan berusaha menahan diri agar benar-benar tidak menimpuk Dito dengan tiang infus.
Dito tertawa, sambil menyugar rambutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAINS & SOS [✓]
Novela Juvenil[ DISARANKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] ••• "Gue fobia sama anak IPS!" "Kenapa lo fobia sama gue?" "Lo siapa?" "Gue fobia lo." "Lo anak IPS?!" "Kenapa lo alergi anak IPS?!" "Bukan urusan lo!" "Ini urusan gue, karena gue anak IPS." "GUE BAKAL BIK...