Vaya meremas tangannya sedari tadi. Begitu pula dengan jantungnya yang tak kunjung normal.
Ini bukan karena penyakitnya kumat, tapi, karena ucapan Dito minggu lalu.
Sudah seminggu mereka tidak bertemu. Karena jadwal ujian mereka yang berbeda.
Vaya mendapatkan jadwal pagi, sedangkan Dito siang.
Dan laki-laki itu tidak mengirimkannya pesan, selama seminggu penuh.
"Kenapa sih, Dek?" tanya Tama sambil menjatuhkan bokongnya di sebelah Vaya.
Gadis itu menghela napas, lalu menatap Tama.
"Keliatan aneh ya, Bang?" tanya Vaya.
Tama mengerutkan keningnya, lalu mengangguk. "Dari tadi Abang perhatiin, kamu gelisah sendiri. Ada masalah?"
"Engga sih, Bang. Cuma ... Aya lagi grogi aja." ucap Vaya sambil menyandarkan kepalanya di bahu Tama.
Pria itu mengusap kepala sang adik. "Grogi gimana? Cerita dong, siapa tau Abang bisa bantu bikin kamu ga grogi lagi."
Vaya menatap remasan tangannya, lalu mendongak menatap Tama sejenak.
"Perasaan Abang sekarang gimana?" tanya Vaya ambigu.
Tama menatap Vaya dengan alis terangkat. "Kok malah jadi nanya perasaan, Abang? Kan Abang lagi nanya sama kamu, Ay. Kenapa kamu grogi?"
"Jawab aja dulu, Bang." ucap Vaya.
"Pertanyaan kamu itu mengambang, Ay. Coba lebih spesifik, perasaan Abang yang kayak gimana yang kamu maksud?"
"Setelah kepergian Mba Andin ...," Vaya menggantung ucapannya. Melihat reaksi Tama.
Pria itu tidak menampilkan reaksi apapun, melainkan menatapnya dengan tatapan biasa. Seolah-olah pertanyaan itu tidak berpengaruh padanya.
"Perasaan Abang tetap sama?"
Tama diam sejenak, lalu beralih menatap laptop yang tengah menampilkan film terbaru.
Helaan napas keluar dari mulut Tama. "Engga, Ay. Semua sudah berubah."
Vaya menegakkan kepalanya, melihat Tama dengan penuh minat.
"Maksud Abang, perasaan untuk Mba Andin udah ga ada?"
"Begitulah," ucap Tama tidak peduli.
Vaya berdecak. "Kok Abang kayak ga peduli sih?! Ini Mba Andin loh Bang, masa jawabnya cuma gitu!"
Tama menatap Vaya bingung, lalu mengelus lengan Vaya sayang. "Hei, kamu kenapa emosian? Tenang Sayang, tenang dulu."
"Habisnya Abang kayak udah ga peduli lagi sama, Mba Andin." ucap Vaya pelan.
"Aya ... dengerin Abang. Andin udah bahagia di sana. Masa Abang di sini, terus-menerus dirundung kesedihan? Kamu pikir, Andin bakal bahagia ngeliat Abang? Dan ngeliat kamu masih sedih, dan stuck di masa lalu? Engga Aya ... Andin pasti sedih ngeliat perjuangannya yang sia-sia."
Vaya menghela napas panjang. Untung perasaannya saat ini tengah bagus, jika tidak, tangisnya pasti sudah pecah.
"Berarti sekarang, Abang mencintai seseorang?" tanya Vaya dengan mata berbinar.
Tama terkekeh pelan. "Kenapa kamu semangat gitu, hm?"
"Aya kan pengen punya kakak cewek lagi, selain Mba Cinta, dan tentunya istri Abang dong." ucap Vaya sambil tertawa.
"Siapa Bang, yang beruntung itu?" desak Vaya.
Tama menarik hidung Vaya gemas. "Jangan kepo."
Bunyi bel menghentikan aktifitas mereka. Tama mengerutkan keningnya seraya bangkit mendekati pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAINS & SOS [✓]
Teen Fiction[ DISARANKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] ••• "Gue fobia sama anak IPS!" "Kenapa lo fobia sama gue?" "Lo siapa?" "Gue fobia lo." "Lo anak IPS?!" "Kenapa lo alergi anak IPS?!" "Bukan urusan lo!" "Ini urusan gue, karena gue anak IPS." "GUE BAKAL BIK...