"Tante Vava!" panggil bocah laki-laki ketika berada di kamar bernuansa aesthetic, di atas ranjang tampak seorang gadis yang masih asik bergelung di dalam selimutnya, ia bahkan tidak terusik dengan suara cempreng milik bocah tersebut.
Bocah itu terlihat sangat kesal, karena tidak di acuhkan oleh gadis yang dipanggilnya tante tadi. Lalu, dia bergerak mendekatinya, menaiki ranjang yang di bantu dengan kursi belajar.
Dia mendudukkan tubuhnya di atas perut gadis itu, lalu menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Dia berteriak lantang, tepat di wajah gadis itu.
"TANTE VAVA!!"
Gadis itu tersentak kaget, dan terbangun dari tidurnya. Dengan reflek, mendudukkan dirinya. Sehingga, membuat bocah kecil itu terjatuh dari atas tubuhnya.
"Aduh, Rafa kok teriak sih? Tante Aya jadi kagetkan," gerutu Vaya setengah kesal. Lalu, dia membawa bocah yang di panggil Rafa itu ke pangkuannya.
"Afa ngambek sama Tante Vava," ujar bocah kecil itu, sambil memalingkan wajahnya menghindari tatapan Vaya.
"Bukannya yang ngambek itu harusnya Tante ya? Kenapa malah jadi Afa yang ngambek?"
"Suka-suka Afa dong," ketus Rafa.
Dasar bocah, umur dua tahun aja ngeselin nya minta ampun, apalagi dewasa nanti.
Vaya menghela napas panjang, lalu menarik senyum lebarnya.
"Tante minta maaf ya?" pasrah Vaya, sambil memasang wajah memelas.
"Maafin ga ya?" ujarnya sambil mengetukkan jari ke dagunya. Lalu dia menatap Vaya dengan menyipitkan kedua matanya, "Afa bakalan maafin Tante. Dengan syarat ... selama satu minggu, Tante harus tidur di rumah Afa."
Vaya membelalakkan matanya.
Selama satu minggu dia harus bersama bocah ini? Yang benar saja, dia tidak ingin hari liburnya terganggu karena bocah kecil ini.
"Engga Rafa! Tante ga mau!" bentak Vaya sambil memutar bola matanya malas.
Jika biasanya anak seumuran Rafa akan berteriak, dan menangis ketika dibentak. Berbeda halnya dengan Rafa, bocah kecil itu menatap tajam Vaya, lalu dia menjauhkan tubuhnya, dan turun dari ranjang.
Dia berjalan ke arah pintu kamar Vaya yang terbuka lebar, lalu menghentikan langkahnya ketika berada tepat di pintu.
Tanpa membalikkan badannya, bocah itu menolehkan kepalanya ke samping, sehingga hanya memperlihatkan sebelah wajahnya saja. Dia menatap Vaya melalui ekor matanya, lalu menyeringai.
Apa ada bocah berumur dua tahun yang seperti Rafa? Mustahil, bahkan bocah seumuran dia masih ada yang belum bisa bicara.
"Afa cuma mau bilang ini ke Tante, tolong Tante simak baik-baik." tutur Rafa, "Afa bakalan bilang ke Nenek Yuri, kalau Tante masih simpan obat itu di bawah bantal Tante. Oh iya, Tante bahkan masih sering menggunakannya."
Vaya terdiam kaku mendengar penuturan Rafa yang tepat sasaran.
Bukannya tidak ada yang tahu tentang obat itu? Tapi Rafa?
Tinggal tinggal diam, gadis itu berlari keluar kamar, lalu menuruni anak tangga. Netranya menyapu ruang tamu, di sana terdapat seluruh keluarganya.
Ingat, seluruhnya.
Dengan langkah kaki yang pelan, iya berjalan mendekati mereka yang masih asyik bersenda gurau.
"Papa," sahut Vaya lirih.
Seorang laki-laki yang merasa terpanggil menatap ke arah Vaya, dia tersenyum lalu merentangkan tangannya lebar-lebar.
Vaya berlari lalu menubruk tubuh laki-laki itu, lalu terisak di dalam pelukan laki-laki yang ia panggil papa.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAINS & SOS [✓]
Ficção Adolescente[ DISARANKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] ••• "Gue fobia sama anak IPS!" "Kenapa lo fobia sama gue?" "Lo siapa?" "Gue fobia lo." "Lo anak IPS?!" "Kenapa lo alergi anak IPS?!" "Bukan urusan lo!" "Ini urusan gue, karena gue anak IPS." "GUE BAKAL BIK...