Ocha melihat jam ungu yang melingkar dipergelangan tangan kirinya, waktu masih menunjukkan jam enam pagi. Ia mendesah lega karena pasti Rangga belum sampai di depan rumahnya.
Ocha bergegas untuk keluar kamar, lalu berjalan menuju ruang makan. Di sana ada Bang Satria dengan pakaian rapinya, bersiap untuk berangkat ke toko.
Toko yang sudah mempunyai beberapa cabang itu diwariskan untuk Ocha dan Satria. Tapi untuk saat ini, toko roti yang diberi nama SO Bakery itu diurus oleh Satria dan Ola—Mimom Ocha, karena Ocha harus fokus dengan sekolahnya terlebih dahulu.
"Ini masih pagi, udah mau berangkat sekolah?" tanya Ola.
"Iya." Ocha ikut bergabung di ruang makan, kemudian tangannya mengambil satu roti berselai cokelat dan langsung melahapnya.
"Mau berangkat sekarang aja deh." Ocha bangkit dari duduknya, masih dengan mengunyah roti.
"Gak mau makan nasi goreng dulu? Tuh lagi dibuatin," kata Ola.
Ocha langsung menghampiri Ratna. "Waahh ... Mau dong."
"Boleh."
"Tapi mau makan di sekolah aja," sambung Ocha.
"Iya, nih disiapin," kata Ratna.
"Kak Ratna emang the best deh," puji Ocha sambil menampilkan cengirannya.
"Bisa banget ya muji, kalau ada maunya," celetuk Satria yang masih duduk ditempatnya.
"Hih biarin," kata Ocha setelah menghabiskan rotinya, Ocha langsung menerima kotak berwarna ungu yang disodorkan Ratna. Ia bergegas memasukkannya ke dalam tas.
Setelah berpamitan, Ocha dengan cepat melesat keluar rumah. Tapi langkahnya tertahan saat melihat sebuah penampakan di pagi hari. Seorang cowok dengan rambut acak-acakan tengah bersandar pada motor gedenya.
"Ngapain lo di sini, semut rangrang?" tanya Ocha ketus.
"Jemput lo," katanya singkat.
Ocha mengernyitkan dahinya heran, cowok itu semalam habis kesambet apaan? Aneh banget karena masang wajah dingin.
Ocha menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba terasa gatal. "Eh, gue naik kendaraan umum aja."
"Udah ayo cepet," kata Rangga langsung menyalakan motornya. Ia menyodorkan helm berwarna ungu, akan tetapi berbeda dari yang semalam.
Tak mau banyak protes, Ocha langsung menaiki motor gede milik Rangga. Suasana kali ini terasa sangat canggung. Rangga berbeda, tidak lagi menampilkan wajah menyebalkannya.
Ocha memperhatikan mata Rangga dari kaca spion sebelah kiri, mata cowok itu terlihat sangat sayu.
Ocha jadi geram sendiri, kalau begini keadaannya ia lebih memilih Rangga yang jahil—ups, ralat, maksudnya yang banyak bicara, tidak diam saja seperti robot begini.
Niatnya ingin bertanya, tapi diurungkan. Takut jika ujung-ujungnya malah berdebat. Ocha memilih untuk bungkam.
"Eh eh, awas Gaa!" pekikan nyaring Ocha menyadarkan Rangga. Kedua tangannya bahkan sudah mengcengkeram erat bahu cowok itu.
Napas Ocha sampai memburu, detak jantungnya berdegup tak karuan saat ini. Untungnya Rangga tepat waktu untuk mengerem, karena kalau tidak, motornya sudah pasti menabrak seorang kakek yang hendak menyeberang jalan.
Dan lagi, keberuntung masih berpihak pada keduanya, saat jalanan masih sepi. Kalau ramai, pasti keduanya sudah dikeroyok atau bahkan dihakimi secara massal.
Ocha dengan cepat turun dari motor, langsung menghampiri sang kakek dan menanyai kondisinya. Lalu meminta maaf berkali-kali.
Setelah insiden hampir menabrak seorang kakek sudah selesai. Ocha kembali menghampiri Rangga yang malah duduk terdiam dimotornya.
"Lo kenapa sih, Ga?" tanya Ocha yang kali ini tidak mengganti nama Rangga dengan nama hewan.
Rangga menggeleng pelan. Ocha juga tidak mau banyak tanya. Akhirnya mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju sekolah.
🐁🐈
KAMU SEDANG MEMBACA
Married with Enemy [TERBIT]
Teen Fiction[SEGERA TERBIT] ⚠PLAGIATOR, HUSSS ❗Beberapa part di hapus demi kepentingan penerbitan "NIKAH?" tanya Rangga dan Ocha berbarengan, keduanya saling melirik satu sama lain. "ENGGAK!" bantah keduanya tegas. Apa jadinya jika partner ribut a.k.a musuh beb...