Gerutuan terus terdengar, pasalnya sekarang Ocha tengah terjebak disituasi yang tak pernah ia harapkan. Berduaan dengan Rangga, membuatnya selalu kesal setengah mati.
Hari ini mereka berangkat untuk liburan ke puncak. Para cowok membawa mobil masing-masing. Awil dengan Meyka, Pahlevi dengan Cara, dan sialnya Ocha harus bersama Rangga. Diantara Awil atau pun Pahlevi tidak ada yang mau menebenginya, takut kalau Ocha merusak acara berduaan mereka.
Sialan emang, Ocha sudah merutuknya mati-matian. Dua cowok itu harus diberi pelajaran sesampainya mereka semua di vila nanti. Tangannya sudah gatal, ingin cepat-cepat menjadikan dua cowok itu samsak. Tak akan Ocha beri ampun sampai dirinya sudah puas melampiaskan emosinya.
Ocha terperanjat dari lamunan, lalu menatap roti rasa cokelat yang mendarat dipahanya, kemudian beralih menatap Rangga yang duduk di kursi pengemudi. Siapa lagi pelaku yang membuyarkan lamunannya kalau bukan Rangga.
"Apaan lo?" tanya Ocha ketus.
"Suapin dong," katanya sambil menatap Ocha sekilas.
"Hah?"
"Suapin roti itu," lanjutnya.
"Idih, ogah banget. Makan sendiri, punya tangan juga." Ocha melempar roti itu kembali ke Rangga.
"Gue lagi fokus nyetir, Chacha."
"Stop panggil gue Chacha, nyebelin banget lo." Ocha terus menggerutu, rasanya sangat malas mendengar nama panggilan itu.
Rangga terkekeh. "Yaudah mangkanya suapin."
"Gak mau!" tolak Ocha keras. Rangga benar-benar memancing emosinya.
"Chacha," kata Rangga meledek.
Ocha menghela napas panjang, tangannya bergerak mengelus dada berusaha menahan emosinya, dan menahan mulutnya agar tidak mengumpat.
"Suapin Chachaaaaa."
Dengan cepat Ocha mengambil kembali roti itu, dan langsung memasuki roti beserta bungkusnya ke dalam mulut Rangga yang sedang terbuka lebar.
"Mampus lo, makan tuh makan," geram Ocha.
"Sialan lo Cha, kapan sih lo lemah lembut lagi sama gue?" tanyanya sedikit kesal karena sikap jail Ocha barusan.
"Gak mau lagi dan gak akan pernah. Ngerti lo?" Ocha mendekatkan sedikit kepalanya ke telinga Rangga, supaya cowok itu mendengar jelas dan tak akan menanyakan hal yang serupa lagi.
Rangga langsung mendorong pelan kepala Ocha dengan tangan kirinya agar menjauh, membuat Ocha mendengus sebal.
"Sialan lo!" rutuk Ocha.
Rangga terkekeh.
"Sinting emang," makinya lagi.
Mereka saling terdiam, tapi tak berlangsung lama. Karena satu menit kemudian Rangga kembali membuka suara.
"Cha," panggil Rangga.
"Apaan lo, gak boleh nanya-nanya."
"Sial emang." Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya, kenapa Ocha bisa tahu kalau dirinya ingin menanyakan sesuatu. "Serius gue mau nanya."
Ocha memutar bola mata malas, mana ada kata serius dalam kamus Rangga. Hidupnya selalu dibawa dengan candaan, hal yang paling Ocha benci pada cowok itu.
"Definisi gue dimata lo?" tanya Rangga to the poin.
Ocha berdehem panjang, jari telunjuknya ia ketuk di dagu berulang kali. "Apa ya."
"Lagi mikirin jawaban yang wah pasti," ucap Rangga penuh percaya diri.
"Definis lo itu ... " Ocha menggantungkan ucapannya. "Najis."
"Hah?"
"Tau najis gak lo? Satu kata yang mendefinisikan lo menurut gue," kata Ocha menohok.
"Sialan lo, Cha. Untung gue sa—" Rangga menggantungkan ucapannya saat kedua matanya bertemu dengan mata milik Ocha, seperti tatapan ingin menerkam mangsa.
"Sabar ngadepin lo," lanjut Rangga sambil menyengir.
Ocha mencibirkan bibirnya, rasanya ia ingin cepat-cepat sampai pada tempat tujuan. Rangga sudah menguras kesabarannya.
Rangga tersenyum miring. "Wah jalannya sepi nih."
Ocha diam, sangat segan walau sekadar meladeni ucapan cowok itu. Seketika Rangga menghentikan mobilnya ke tepi jalan, lalu mendekatkan wajahnya ke Ocha.
Ocha menjauhkan diri. "Heh mau ngapain lo? Maju se-senti lagi gue bogem nih muka jelek lo." Tangannya sudah mengepal di depan wajah Rangga, siap meninju cowok itu jika berani macam-macam.
Rangga semakin mendekatkan wajahnya, cowok itu tidak lagi memasang ekspresi tengilnya, melainkan ekspresi datar. Sehingga atmosfernya terasa berbeda, membuat tubuh Ocha menegang seketika.
"Jauh-jauh sana." Ocha mendorong sekuat tenaga untuk menjauhkan tubuh Rangga. Tak ada hasil, pertahanan cowok itu sangat kuat.
Rangga masih menampilkan ekspresi datarnya, kemudian bibirnya dimajukan seperti orang ingin mencium.
"Ga," panggil Ocha. "Gak lucu sumpah, sana jauh-jauh." Ocha memalingkan wajahnya, tangannya terus berusaha mendorong tubuh Rangga.
"Hahaha."
Seketika tawa Rangga menggelegar, membuat Ocha langsung memukuli Rangga bertubi-tubi. Cowok itu ternyata hanya mengerjainya, tapi untunglah, Ocha bisa bernapas lega.
"Lucu banget muka lo, anjir." Rangga tak bisa menghentikan tawanya, bahkan perutnya sampai sakit karena terus tertawa geli.
"Gue lapor polisi mampus lo," kesal Ocha.
"Lapor apa hah?" tanya Rangga seraya menjalankan kembali mobilnya.
"Lapor pasal pelecehan. Main mau nyosor-nyosor aja." Ocha geram bukan main, cowok itu tak ada henti-hentinya bersikap jail.
Hanya satu yang Ocha harapkan saat ini, cepat sampai pada tujuan.
🐁🐈Bekasi, 20Jun20.
KAMU SEDANG MEMBACA
Married with Enemy [TERBIT]
Teen Fiction[SEGERA TERBIT] ⚠PLAGIATOR, HUSSS ❗Beberapa part di hapus demi kepentingan penerbitan "NIKAH?" tanya Rangga dan Ocha berbarengan, keduanya saling melirik satu sama lain. "ENGGAK!" bantah keduanya tegas. Apa jadinya jika partner ribut a.k.a musuh beb...