Ocha turun dari motor gede milik Rangga, lalu cowok itu membantu melepas kaitan helm yang Ocha kenakan. Setelahnya, Rangga melakukan hal yang sama.
Rangga melingkarkan tangannya di pundak Ocha. Lalu langkahnya tertahan karena Ocha masih diam ditempat.
"Kenapa?" tanya Rangga.
Ocha menggeleng.
"Yaudah ayo masuk," ajaknya.
Ocha menghela napas panjang, memberanikan diri masuk ke dalam rumah kediaman keluarga Ardilova. Di sana, semuanya sibuk mempersiapkan untuk makan malam.
Ocha menyalami tangan Lova, kemudian beralih ke wanita tua yang diyakini bahwa itu Oma Elen seperti yang diceritakan Rangga.
"Oh, jadi ini istri kamu, Rangga?" tanya Elen sambil tersenyum, tapi entah kenapa Ocha merasakan ada nada tak suka dikalimat pertanyaan itu.
Rangga menjawab sekenanya.
Setelah itu, mereka semua mengumpul di meja makan. Hanya ada lima orang di sana—Ocha, Rangga, Lova, Elen dan Ringgo.
Ocha menghela napas lega saat melihat menu makanan yang terhidang di depannya. Setidaknya, tidak ada makanan dengan bau yang menyengat. Lalu tangannya hendak mengambil centong nasi—berniat menyendok makanan untuk Rangga terlebih dahulu.
"Gue aja yang ambilin," kata Rangga mengambil alih centong di tangan Ocha.
Cowok itu segera menyendokkan nasi beserta lauk-pauk ke dalam piringnya dan piring untuk Ocha.
"Harusnya istri yang ambilin makan, kok ini malah kebalik," sindir Elen.
"Oma sirik ya ... gak ada yang ambilin makan," celetuk Rangga sambil terkekeh.
"Rangga," tegur Lova memperingati untuk lebih sopan.
"Suka nih gue yang kayak gini," timpal Ringgo, kemudian kicep karena mendapat pelototan dari Elen. Tapi segera cowok berambut gondrong itu mengalihkan suasana. "Oma tersayangku, sini-sini Ringgo ambilin makan buat Oma."
"Santuy Oma, jangan tegang begitu." Rangga kembali terkekeh, emang dasar cucu laknat.
Mereka semua menikmati makan malam dalam sunyi. Rangga begitu fokus menikmati makanannya. Berbeda dengan Ocha, ia merasa tak nyaman karena terus mendapat tatapan dari Elen. Entah apa arti tatapan itu, Ocha merasa seperti kehadirannya tak diinginkan.
Ringgo pun menangkap seperti ada kilatan tak suka di mata Elen, cowok itu beralih melirik Ocha yang sedang menyantap makanan dalam kegelisahan. Kembali melirik Elen lalu Ocha, terus seperti itu membuat asumsi timbul dalam benak Ringgo. Ada yang gak beres.
Kemudian Ringgo mengutuk adik laknatnya itu. Bisa-bisanya asik menikmati makanan, di saat istrinya sedang mendapat tatapan terpojok dari Elen.
Hingga makan malam pun selesai. Mereka berkumpul di ruang keluarga. Akan tetapi, Elen sedang berada di dapur entah berbuat apa.
"Liat, Oma bawa apa." Wanita tua yang masih gagah itu ikut bergabung di ruang keluarga. Di belakangnya, terdapat Bi Inah yang membawa nampan berisi durian yang sudah dibelah menjadi beberapa bagian.
"Woah, duren. Mantap!" Ringgo langsung mencomot durian yang terlihat montok baginya.
"Mantap!" Rangga ikut mencomot durian itu.
Ocha bergeming, ia bukan orang yang membenci buah berkulit tebal dan berduri itu. Bukan pula pencinta buah durian. Akan tetapi, bau durian saat ini terasa sangat menusuk indra penciumannya. Yang entah kenapa kali ini menimbulkan gejolak mual di dalam perutnya.
Ocha harus tahan.
"Ayo, ayo. Dimakan," kata Elen.
"Lo gak suka?" Rangga menoleh pada Ocha, satu alisnya terangkat.
"Lagi gak pengin."
Rangga tersenyum jail. "Ah, masa sih?" Lalu mengambil satu durian lagi, senyumnya semakin lebar. "Gak usah malu-malu, Cha."
Mata Ocha membelalak saat dengan isengnya Rangga mendekatkan buah durian itu ke arahnya. Ocha menggeleng kuat saat cowok itu memaksa untuk dirinya membuka mulut.
"Dikit aja, dikit."
Ocha tetap merapatkan bibirnya.
"Rangga, udah jangan dipaksa," kata Lova menasihati.
"Gak papa, makan aja. Gak usah malu-malu kalau di sini. Oma biasa punya cucu yang malu-maluin soalnya." Elen angkat suara.
"Heh?" Ringgo tersadar, dengan kedua tangan yang memegang durian, cowok itu menatap Elen karena tersindir. Tapi tak terlalu memedulikan, Ringgo tetap melanjutkan makan.
Akhirnya, dengan sikap super jail Rangga. Ocha mencicipi buah durian itu. Menahannya mati-matian karena rasanya detik itu juga ia ingin mengeluarkan semua isi perutnya.
Huek. Ocha segera menutup mulutnya, ini tak dapat ditahan lagi. Tanpa izin, Ocha melenggang pergi menuju kamar mandi. Membuat empat orang di sana saling melirik.
Rangga segera mengambil tisu untuk membersihkan tangannya. Lalu cowok itu menyusul Ocha menuju kamar mandi umum dekat dapur.
Tok. Tok. Tok.
"Cha," panggil Rangga.
Tidak ada sahutan di dalam sana, hanya ada suara orang yang tengah mengeluarkan isi perut.
"Cha, lo kenapa?" Rangga mengetuk pintu kamar mandi lebih keras.
"Benar dugaan Oma," kata Elen yang sudah berdiri tiga langkah di belakang Rangga.
Rangga menengok, menatap penuh tanya. "Maksud Oma apaan?"
"Oma sudah tau tentang berita itu," jawab Oma, "Lagi pula, kenapa keluarga Ocha menuntut cowok berandalan itu atas kasus pelecehan, bukan pemerkosaan?"
Lova dan Ringgo ikut menyusul. Mendengar perkataan Elen, Ringgo terkejut. Segera cowok itu memundurkan diri satu langkah, lalu berdiri di belakang Lova—bersembunyi.
"Bang, lo yang bilang ke Oma?" tanya Rangga beralih pada Ringgo.
Dengan tubuhnya yang tinggi melebihi Lova, cowok yang bersembunyi di belakang Maminya itu tetap terlihat. Lalu tanpa dosanya, menyengir lebar. "Gue keceplosan."
Rangga mengepalkan kedua tangannya erat, siap melayangkan tinju pada Abangnya yang super duper bermulut bawel. Bahkan giginya sampai gemeletuk saking kesalnya.
"Mi, liat tuh Rangga." Ringgo memegang kedua pundak Lova, seperti menjadikannya tameng.
"Rangga, udah sabar." Suara lembut itu kembali menasihati. Lova sebenarnya juga heran, ia merasa bahwa Rangga anak sulungnya, sedangkan Ringgo anak bungsunya. Mereka seperti tertukar.
Rangga mendengus sebal. Kalau tidak ada Maminya, akan ia hajar habis-habisan Abang terkutuknya itu.
"Cha, keluar." Suara Rangga menginstruksi.
Ocha pun akhirnya keluar dari kamar mandi. Cewek itu menunduk lesu.
"Lo kenapa?"
Ocha menggeleng.
"Tunggu apalagi, kita pergi ke dokter kandungan sekarang."
Ocha mendongak tepat setelah Elen mengusulkan ide buruk itu.
"Ocha gak hamil," sahut Rangga.
Elen mengendikkan kedua bahunya. "Buktiin aja."
"Oke."
Ocha refleks menoleh ke arah Rangga, menatap cowok itu seolah mengisyaratkan untuk tidak menyetujui ide dari Elen.
"Lo gak perlu takut." Rangga menggenggam tangan kiri Ocha yang terasa dingin. "Ada gue."
🐁🐈
Bekasi, 11Des20.
KAMU SEDANG MEMBACA
Married with Enemy [TERBIT]
Teen Fiction[SEGERA TERBIT] ⚠PLAGIATOR, HUSSS ❗Beberapa part di hapus demi kepentingan penerbitan "NIKAH?" tanya Rangga dan Ocha berbarengan, keduanya saling melirik satu sama lain. "ENGGAK!" bantah keduanya tegas. Apa jadinya jika partner ribut a.k.a musuh beb...