66 // Bila Rasaku Ini Rasamu

3.2K 296 64
                                    

Jangan lupa setel lagu di atas, ya!!
.
Btw, lagu mellow kalian apa?
.
Dan, cerita ini mau end di part ke berapa? 🌚

Makasih yg udh mau jwb

🐁🐈

Setelah selesai berganti baju, ditambah dengan cardigan yang membalut dirinya, Ocha berjalan menuju tempat makan bersama Meyka dan Cara. Di sana juga sudah ada Rangga beserta teman satu kelasnya.

Tempat makan bertema outdoor itu menyuguhkan pemandangan sunset yang sebentar lagi tiba. Sambil menunggu, satu kelas menikmati makanannya sambil sesekali bergurau menciptakan tawa.

Setelah mereka semua telah mengenyangkan perut dan menikmati pemandangan sunset. Beberapa sebagian balik ke tenda untuk menyiapkan tempat api unggun. Karena mereka harus membuat galian pasir sebagai fondasi, sebelum menumpuk kayu dan menjadikannya api unggun.

"Wil, wil," panggil Pahlevi. "Lo kalau disuruh pilih antara mantan sama pacar. Lo pilih mana?"

"Ya jelaslah, gue pilih orang yang gue cintai!" jawab Awil mantap.

"Kalau pilih mantan, berarti masih cinta mantan, ya?" tanya Pahlevi memancing. Sedangkan di meja seberang, Rangga menatap dengan sorot arti memberi peringatan.

Menghiraukan tatapan membunuh dari sahabatnya. Awil tetap menjawab santai. "Ya, mungkin. Belum bisa move on artinya."

"Ya gue sih jelas pilih mantan yang cantik dan kalem. Daripada pacar yang galaknya kayak macan betina lagi pms." Pahlevi menimpali.

Dua cowok itu langsung tertawa dengan topik pembahasan yang sengaja dibicarakan untuk menyindir.

Ocha benar-benar sedang dalam kondisi mood yang buruk. Tidak berminat untuk membalas ocehan kedua temannya itu. Dan akhirnya, dirinya memilih untuk balik ke tenda.

"Loh, kok pergi?" tanya Cara yang baru saja balik dari toilet bersama Meyka.

Dua cewek itu menatap Awil dan Pahlevi dengan sorot arti menuntut penjelasan.

Rangga yang kesal langsung melempar kotak tisu ke arah dua sahabat laknatnya itu, lalu ikut balik ke tenda.

"Kenapa sih?" tanya Cara pada dua cowok yang masih cengengesan itu.

Awil dan Pahlevi kompak mengedikkan kedua bahunya. Membuat Meyka dan Cara mendecak, lalu segera menyusul Ocha.

♥♥♥

Hampir tengah malam, mereka satu kelas masih duduk mengitari api unggun. Dua orang bermain gitar—yang memang sengaja dibawanya dari rumah, sisanya bernyanyi. Sesekali lelucon dilontarkan untuk menciptakan suasana bahagia.

Berbeda dengan Ocha, di saat momen seperti ini, dirinya malah melamun. Terus terngiang akan kalimat yang pernah Rangga lontarkan sebelumnya.

"Gue tolongin dia bukan berarti gue pilih dia, Cha."

"Iya, iya. Gue janji bakal tolong lo kalau kecebur lagi."

"Maksud gue, gue pilih buat selamatin lo nanti, jika seandainya hal itu kejadian lagi."

"Tapi kalau gue jatuh terus ditimpa ombak? Lo tau 'kan gue gak bisa berenang?"

"Ya gak akanlah. Kalau pun iya, gue pasti selamatin lo, Ochayang."

Ocha menghela napas panjang, berusaha mengusir jauh kalimat bullshit yang seakan sudah terekam jelas di benaknya. Ia tidak perlu membesarkan masalah kecil seperti ini.

Akhirnya Ocha bisa ikut ke dalam suasana yang dibangun temannya. Sesekali tangannya melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Masih ada waktu lima belas menit sebelum pergantian tanggal, bulan, dan tahun. Di mana tepat hari ulang tahun Rangga.

Mengubur perasaan gundahnya, ia tidak boleh mengecewakan Rangga di hari yang spesial bagi cowok itu. Lagi pula, Ocha sudah menyiapkan kado untuk Rangga dan berniat menjadi pengucap pertama. Tidak mungkin jika rencananya gagal hanya karena rasa cemburu.

"Gue mau ke toilet bentar." Rangga berdiri dari duduknya, lalu pergi.

Lima menit kemudian, Rangga belum juga balik. Ocha berniat untuk mencarinya.

"Gue mau ke Rangga dulu," kata Ocha sambil berdiri dari duduknya. Lalu pergi begitu saja.

"Gue ikut!" sahut Meyka.

"Udahlah, kita di sini aja," saran Cara.

"Tapi nanti kalau Ocha di apa-apain sama Ra—"

"Positive thinking, Mey. Mereka mungkin butuh waktu berdua." Cara menambahi, membuat Meyka akhirnya terpaksa menurut.

Ocha masih menunggu Rangga yang tak kunjung keluar dari toilet.

"Dia ke mana sih?" tanyanya bermonolog. Akhirnya memilih untuk menyusuri tepi pantai. Menikmati terpaan angin malam yang sejuk, membuat rambut panjangnya berkibar tertiup angin.

Ocha mengernyit saat melihat batu besar yang berada di tepi pantai. Lalu berjalan mendekat. Sesekali matanya kembali melihat jam. Satu menit lagi, tapi dirinya belum juga menemukan Rangga.

"Tunggu bentar."

Itu suara Sesil. Ocha pelan-pelan mendekat, lalu mengintip. Dan benar, di sana ada Sesil dan juga—Rangga.

Sesil melirik jam tangan, lalu tersenyum menatap Rangga. "Tiga ... dua ... satu. Happy birthday, my honey!" Kemudian cewek itu berjinjit dan mencium bibir Rangga sekilas, berbarengan dengan suara kembang api yang seakan merayakan momen itu.

Ocha mundur dua langkah, membalikkan badan dan langsung berlari kecil menuju tenda. Bibir bawahnya ia gigit kuat-kuat untuk melampiaskan rasa sakit dan juga berusaha menahan air matanya. Pemandangan yang sangat tidak pantas untuk di tangisi, bukan?

Ocha buru-buru masuk ke dalam tendanya. Mengusap kasar jejak air mata yang ternyata tak bisa ditahan lebih lama.

Menyadari kedatangan Ocha. Meyka dan Cara menghampiri masuk ke dalam tenda.

"Cha, lo kenapa?" tanya Meyka seraya menepuk pelan bahu Ocha yang sedang dalam posisi tidur miring ke kiri.

Ocha menggeleng. Meyka maupun Cara tahu betul bahwa sahabatnya itu sedang menangis. Walau tidak bersuara, bahu Ocha sedikit terguncang.

"Ocha, cerita sama gue," kata Meyka sedikit memaksa. Pasalnya, ia jarang melihat Ocha menangis. Walau sedang kesal atau dalam mood buruk, sahabatnya itu tipe orang yang selalu memasang wajah jutek atau memilih untuk bercerita sambil mencak-mencak. Bukan memilih untuk meluapkannya dengan menangis.

"Gue mau sendiri," kata Ocha dengan suara seraknya.

"Udah, Mey. Biarin Ocha tenang dulu. Mending sekarang kita keluar, biar yang lain gak pada kepo ke sini." Cara selalu menjadi penengah.

Meyka mendengus. Walau kesal karena Cara selalu melarangnya, akan tetapi sahabatnya yang satu itu ada benarnya juga. Meyka tidak boleh egois dengan memaksa Ocha menceritakan semuanya, di saat cewek itu lebih memilih menyendiri untuk menenangkan perasaannya.

"Yaudah deh," kata Meyka akhirnya, lalu tangannya terulur untuk mengusap lengan atas Ocha, seakan menyalurkan kekuatan untuk sahabatnya itu. "Udah lo jangan nangis, gue sama Cara jadi ikut sedih."

Ocha tidak menjawab.

"Gue sama Cara keluar, ya."

Ocha kembali mengusap kasar jejak air matanya. Padahal ia sudah berusaha untuk tidak mempermasalahkan Rangga yang lebih memilih Sesil—dua kali—dari pada dirinya.

Tapi untuk yang kali ini, biarkan Ocha sedikit egois.

🐁🐈

Bekasi, 17Des20.

Married with Enemy [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang