54 // Si Menyebalkan

3K 293 9
                                    

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN~

SEMOGA SUKA.

HAPPY READING!!

🐁🐈

Ocha membolak-balikkan buku resep yang baru saja dibelinya tadi siang. Menebeng pada Rangga saat cowok itu hendak pergi ke kafe.

Ocha bingung hendak memilih menu apa. Pasalnya ia sama sekali tidak tahu makanan favorit Rangga. Yang Ocha tahu, semua jenis makanan dilahap oleh cowok itu.

Akhirnya Ocha memilih tiga menu untuk dimasak hari ini.

Saatnya perang di dapur.

♥♥♥

Ocha melirik jam dinding. Rangga masih belum pulang. Cowok itu tidak menepati janjinya. Berulang kali menelepon, tetapi nomornya tetap tidak aktif.

Menghela napas panjang, berusaha sabar untuk menunggu Rangga sebentar lagi.

Senyum Ocha mengembang saat mendengar suara motor memasuki pekarangan rumah. Buru-buru ia berlari dan membuka pintu, senyumnya semakin melebar saat sosok Rangga tengah melepas helm fullfacenya.

Rangga berjalan mendekati Ocha.

"Kok baru balik jam segini?" tanya Ocha sambil membuntuti Rangga setelah menutup pintu kembali. "Katanya mau balik jam lima."

Rangga melirik jam dinding, menunjukkan pukul delapan lewat lima menit. Artinya ia telat tiga jam dari jam pulang yang dijanjikan pada Ocha.

"Sorry, tadi banyak yang diurus."

Ocha manggut-manggut. "Gue udah masak buat lo. Gue angetin lagi deh makanannya. Lo sekarang mandi dulu sana." Lalu Ocha berjalan menuju ruang makan.

"Iya." Rangga menaiki anak tangga untuk pergi ke kamarnya. Membersihkan diri sesuai perintah Ocha barusan.

Setelah selesai menghangatkan makanan. Ocha duduk bersantai di sofa depan TV. Perutnya sudah sangat keroncongan karena memaksa untuk menunggu Rangga agar makan malam bersama. Memang dasar bucin—budak cinta.

Beberapa menit kemudian Rangga turun dengan mengenakan kaos dan celana pendek. Mereka berdua duduk dibangku dan saling berhadapan.

"Lo kenapa?" tanya Ocha heran.

Rangga menggeleng.

"Lo gak kesambet 'kan, Ga?" tanyanya memastikan. Pasalnya, raut muka Rangga terlihat sangat datar saat cowok itu memasuki rumah ini.

"Enggaklah."

Ocha mengendikkan kedua bahunya. "Ya siapa tau aja, lo 'kan abis dari luar rumah."

Rangga menikmati makan malamnya dalam diam.

Ocha mengunyah makanannya perlahan, sambil terus menatap Rangga intens.

"Jangan-jangan lo abis papasan sama setan?" tanya Ocha semakin tidak jelas. Ia bahkan sampai bergidik karena diamnya Rangga. "Fix, sih. Tebakan gue kali ini bener. Gimana wujudnya, Ga?"

"Lonjong-lonjong berbungkus kain putih," sahut Rangga, lalu cowok itu mengendikkan dagunya. "Tuh, kayak yang di belakang lo."

Ocha mengusap tengkuknya. Kalau ada yang menakuti, jelas jawabannya Ocha akan takut. Berbeda kondisi jika tidak ada yang menakuti, jelas ia akan jadi orang terdepan yang paling berani.

"Sejak kapan lo indigo?"

"Sejak lo banyak tanya," jawab Rangga sekenanya.

"Ish!" tandas Ocha kesal bukan main. "Lagian lo aneh, diem mulu. Biasa juga ngajak gue ribut."

"Ngajak ribut marah-marah, giliran gue diem lo banyak tanya. Terus gue harus gimana?" tanya Rangga.

"Diem aja lebih bagus, tapi gue harus tau alasannya." Lalu Ocha menyuap makanan ke dalam mulutnya.

"Gue males ngomong."

Ocha menelan makanan dalam mulutnya terlebih dahulu, baru membuka suara. "Gak percaya gue. Rangga yang resenya sampe kedarah daging, masa diem cuma karena males ngomong."

Rangga bergeming.

Ocha mengangkat garpu dan mengarahkan ke Rangga, menunjuk cowok itu dengan mengancam. Seakan-akan, garpu ditangannya adalah sebuah pisau. "Jujur lo sama gue, abis ketemu makhluk macem apa?"

Rangga meletakan sendok dan garpu tanda bahwa ia selesai makan, lalu segera meneguk air putih sampai tandas tak tersisa. "Apasih, Cha. Udah cepet abisin tuh makanan lo." Cowok itu berdiri dan beranjak pergi dari ruang makan.

"Wei anaknya papi Ardi, gue belum selesai ngomong helah." Ocha mendengus, kedua matanya menatap piring Rangga yang sudah habis tak tersisa, lalu beralih menatap piringnya yang masih tersisa setengah porsi dari yang ia ambil.

Apa memang benar dirinya banyak tanya? Tapi Ocha masih dilanda rasa penasaran atas diamnya Rangga. Dengan cepat ia segera menghabiskan makanannya, lalu meneguk air putih. Kemudian Ocha sempatkan diri untuk mencuci piring bekas makan mereka berdua.

Setelahnya, berjalan mendekati Rangga dan duduk di sofa samping cowok itu.

Ocha menatap Rangga dengan saksama, lalu kedua matanya beralih mengikuti arah pandang cowok itu—menatap televisi yang menyala. Bisa ditebak, pikiran Rangga sedang melayang entah ke mana, walau matanya tertuju pada layar televisi.

Ocha semakin mengernyitkan kening, segera punggung tangannya ia letakkan di dahi Rangga.

"Lo gak sakit," kata Ocha kemudian.

"Yang bilang gue sakit siapa?" tanya Rangga lalu memainkan ponselnya.

Ocha mengendikkan kedua bahunya. "Lo bener-bener abis ketemu makhluk yang serem ya, Ga?"

"Iya."

"Kalau bukan poci, siapa dong? Masa mbak melati," kata Ocha menyamarkan panggilan untuk makhluk gaib. Takut jika disebut, makhluk itu akan muncul.

"Bukan," sahut Rangga.

"Terus?" Ocha berpikir sejenak. "Aha, gue tau!"

"Apa?"

"Mantan."

"Berarti lo makhluk serem ya, Cha? Lo 'kan mantan gue," celetuk Rangga.

Ocha mencibir. "Ya bedalah, gue sekarang bukan mantan lo lagi."

"Iya, iya, pacar."

"Dih, enggak."

"Tapi kemarin kita baru jadian," ucap Rangga tak terima atas jawaban Ocha.

"Terpaksa," jawab Ocha.

Rangga melirik sinis, membuat Ocha langsung menyengir lebar.

"Terus lo abis ketemu siapa? Mantan lo 'kan banyak." Ocha menepuk dagunya berulang kali dengan jari telunjuk.

"Bukan siapa-siapa."

Ocha mendecak malas. Sia-sia bertanya banyak, ia tidak mendapat jawaban yang akurat atas ke-kepoannya. Memang dasar Rangga si manusia menyebalkan.

🐁🐈

Bekasi, 23Nov20.

Married with Enemy [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang