62 // Bumerang

3.3K 276 18
                                    

Baru seminggu—setelah Ocha mengetahui bahwa ia tengah mengandung dan berniat merahasiakannya untuk saat ini. Tapi keberuntungan tidak berpihak padanya. Semuanya sudah terbongkar, bahkan secepat yang ia duga.

Ocha mendesah lesu, bagaimana respons Rangga setelah ini? Apa akan menolak seperti Elen? Pasalnya, wanita tua itu terus menatap sinis ke arah Ocha selama di dalam ruang pemeriksaan.

Sedangkan di luar ada Ringgo dan Lova yang sedang menunggu. Kemudian mereka berdua langsung berdiri dari duduknya saat Ocha, Rangga, dan Elen baru saja keluar dari ruang pemeriksaan.

"Gimana?" tanya Lova pada ketiganya.

"Sudah Mamah duga, dia hamil." Elen menyilangkan kedua tangannya di dada, kemudian atensinya beralih pada Rangga. "Kamu harus segera ceraikan dia, dan tidak perlu bertanggung jawab atas hal yang bukan kamu perbuat."

Rangga bergeming, sedangkan Ocha memilih untuk duduk, kedua kakinya serasa tidak sanggup untuk menopang dirinya sendiri.

"Itu anak Rangga, Oma!" bantah Rangga, kedua tangannya mengepal untuk menahan rasa kesal agar tidak sampai kelewat batas. Terlebih lagi, ia sedang berhadapan dengan Omanya sendiri.

"Kamu gak perlu berpura-pura untuk mengakui itu, Rangga!" Oma berseru, menatap nyalang ke arah Ocha. "Ceraikan dia, dan fokus lanjutkan pendidikan kamu. Setelah mapan, baru kamu memilih perempuan yang layak untuk pendamping hidup kamu. Perempuan yang jauh lebih baik!"

"Tau apa Oma soal layak dan gak layak?" tanya Rangga menyanggah.

"Oma cuma mau yang terbaik untuk cucu Oma."

"Terbaik menurut Oma, belum tentu terbaik untuk Rangga." Rangga menghela napas sejenak. "Dan tolong, Oma gak usah ikut campur sama kebahagiaan yang udah Rangga pilih."

"Kebahagiaan apa? Jangan 'kan dia mau urus kamu, urus diri sendiri aja gak becus! Udah punya suami, tapi hamil sama pria lain, pria berandalan pula."

"Mamah." Lova terlonjak kaget, tidak menyangka jika mertuanya mengeluarkan kata menusuk seperti itu kepada menantunya. Lalu Lova merangkul Elen, ia harus segera membawanya pulang. Sebelum semuanya semakin menjadi-jadi. "Ayo Mah, kita pulang aja."

Elen menghembuskan napasnya kasar. "Ringgo, ayo kita pulang."

Sebelum pergi, Lova sempatkan untuk menoleh ke arah Rangga. Memberi senyuman hangat untuk menenangkan putra bungsunya itu, lalu mengisyaratkan untuk segera menenangkan Ocha yang sekarang semakin menunduk dalam.

Setelah kepergian Elen dan Lova, barulah Ocha menitikkan air mata yang sedari tadi ditahannya. Selain mendapat perkataan pedas dari Elen, ia juga kembali ditampar akan kejadian yang ingin dilupakan seumur hidupnya.

Buru-buru Ocha menghapus jejak air matanya. Ia tidak suka menjadi cengeng.

"Ga, itu bener benih lo?" tanya Ringgo berbisik, cowok itu tengah berdiri di samping Rangga.

Ocha mendongak dan menatap Ringgo datar. Walaupun berbisik, suara Kakak iparnya itu masih bisa didengar.

"Eh, Ocha." Ringgo terkekeh. "Iya, gue—tau kok, itu benihnya Rangga. Eh maksudnya, calon anak Rangga, heheh."

"Soal taruhan jangan pura-pura lupa, ya, Adek laknatku. Kamera gue tunggu," kata Ringgo yang kali ini benar-benar berbisik dengan kedua tangan didekat telinga Rangga. Agar Ocha tidak dapat mendengar lagi.

Ringgo menepuk bahu Rangga dengan keras. "Gue cabut duluan, tuh si Oma udah berkoar-koar di parkiran." Setelahnya, Ringgo meninggalkan koridor rumah sakit yang lengang.

Rangga ikut duduk di samping Ocha, tangannya terulur untuk mengusap-usap puncak kepala cewek itu. "Jangan nangis, udah ayo kita balik."

Ocha hanya mengangguk, diam tak memprotes saat Rangga merangkulnya untuk menuju parkiran.

Hingga keduanya sampai di parkiran, Rangga langsung memakaikan helm ke kepala Ocha. "Omongan Ringgo sama Oma gak usah dimasukin ke hati. Lagian 'kan, lo ngejalanin hidup bareng gue, bukan bareng mereka."

"Tapi mereka bagian dari hidup lo, Ga. Gimana caranya gue bisa tenang dan bersikap biasa aja, di saat bagian dari hidup lo itu nolak kehadiran gue."

"Oma cuma belum bisa nerima, Cha. Bukan berati gak akan." Rangga berusaha menenangkan.

"Emangnya, lo gak mau mempertimbangkan permintaan Oma?" tanya Ocha dengan sorot mata yang sulit diartikan oleh Rangga.

"Maksud lo?"

Ocha bergumam panjang, takut jika Rangga akan marah. "Cerain gue."

"Gak akan pernah." Rangga menekankan setiap kata yang diucapnya, lalu cepat-cepat melepas jaket yang dipakainya dan menyerahkan pada Ocha. "Pake."

Udara malam ini bertambah dingin, pasalnya sore tadi hujan turun sangat deras.

Mereka berdua menaiki motor gede milik Rangga. "Udah siap?"

"Udah."

"Masa?"

"Iya."

"Kalau udah siap tuh gini." Rangga melingkarkan tangan Ocha di pinggangnya.

"Apaansih, Ga." Meskipun nadanya sedikit ketus, tapi untuk kali ini Ocha tak mau banyak protes.

Rangga pun mulai menjalankan motornya.

"Gue salah ya?" tanya Ocha.

"Salah kenapa?"

"Semua masalah ini karena gue. Coba aja malem itu gue gak gegabah pulang sendiri, dan gue gak—"

"Nggak, lo gak salah. Semuanya salah gue," potong Rangga.

"Semua ini salah gue."

"Salah gue," sahut Rangga.

"Salah gue," kekeh Ocha.

"Yaudah salah lo," putus Rangga akhirnya.

"Dih, kok gitu." Ocha cemberut.

"Tadi kekeh nyalahin diri sendiri. Pas gue bilang salah lo, malah jadi bete." Rangga mendengus sebal. "Serba salah emang jadi cowok."

Ocha tersenyum samar.

"Yaudah, kalau gitu gak usah ada yang salah," kata Rangga kemudian.

"Oke." Ocha menopang dagu di bahu Rangga, walau kurang nyaman karena dirinya juga memakai helm.

Kedua mata Ocha menatap apapun di sepanjang jalan, tapi pikirannya kembali terngiang perkataan Elen di koridor rumah sakit tadi. Tajam dan menusuk. Dirinya juga seakan kembali terlempar pada kejadian malam itu—satu malam yang ternyata menjadi bumerang saat ini.

🐁🐈

Next part, pertanyaan-pertanyaan kalian bakal terjawab 🌝

See u!

Bekasi, 11Des20.

Married with Enemy [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang